Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tempo.co, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menegaskan pentingnya menjunjung tinggi prinsip keadilan bagi korban dan pelaku yang menyeret IWAS alias Agus, seorang pria difabel, tersangka kekerasan seksual di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Masyarakat harus menghormati proses hukum tanpa memberikan stigma atau asumsi yang dapat merugikan para pihak," ujar Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati dalam keterangan tertulisnya, Kamis 5 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, kekerasan seksual adalah kejahatan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk oleh penyandang disabilitas. Oleh karena itu, pendekatan yang profesional dan adil menjadi sangat penting dalam mengungkap kebenaran.
“Kita harus mendukung korban dalam pengungkapan kebenaran dan memberikan ruang bagi pengalaman mereka untuk menjadi sumber fakta utama dalam perkara ini."
Ia menekankan pentingnya aparat penegak hukum untuk memahami bagaimana pelaku dengan kondisi disabilitas dapat melakukan tindak pidana, sebagaimana dilaporkan korban.
Sebelumnya, Kepolisian Daerah NTB mengatakan, penetapan tersangka terhadap Agus dilakukan setelah kepolisian melakukan berbagai tahapan proses penyelidikan sesuai ketentuan yang berlaku.
Polisi menyebut, korban mengaku diancam dan dimanipulasi sehingga dia terpaksa melakukan hubungan seksual dengan tersangka. Pelaku, kata kepolisian, melakukan tipu muslihat dan mengancam akan membongkar aib korban kepada orang tuanya.
Meski Agus merupakan difabel, namun Agus diketahui tetap bisa melakukan berbagai aktifitas fisik. Seperti naik motor, makan, main band, main musik dan menyelam.
Sri Nurherwati juga mengingatkan pentingnya penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS yang bertujuan untuk memulihkan hak-hak korban dan memberikan perlindungan dari risiko viktimisasi.
Di sisi lain, bagi tersangka LPSK mendorong diterapkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini mengamanatkan pemberian akomodasi yang layak sesuai dengan ragam disabilitas pelaku.