INDONESIA Terbuka sedang digelar di Jakarta pekan ini. Dalam turnamen berhadial total US$ 100.000 itu, petenis Yayuk Basuki, yang baru sembuh dari sakit maag, tak menjanjikan apa-apa. Tapi, ''Saya tidak mau mengecewakan publik,'' katanya. Gara-gara maag, langkah Yayuk terhenti di perempat final Malaysia Open, Jumat lalu. Ia kalah tanpa tanding (walk over) atas Ann Grossman (AS). Penyakit itu mulai dirasakan Yayuk saat turun di ganda, berpasangan dengan Nana Miyagi, sehari sebelumnya. Mien Gondowijoyo, bekas pelatih Yayuk, kaget mendengar soal ini. Mien menganjurkan agar Yayuk segera dapat pelatih atau manajer. ''Untuk mengingatkan saat makan atau menemaninya berbincang-bincang di saat kritis,'' kata Mien. Sudah tiga bulan Yayuk tanpa pelatih. Bahwa ia menjuarai Volvo Open di Pattaya, Thailand, seminggu sebelumnya, itu antara lain karena Yayuk tampil tanpa beban. Ia mengandaskan Petty Fendick (AS), musuhnya di Jepang Terbuka yang mengalahkannya. Di final, Yayuk menekuk Marianne Werdel pemain bukan unggulan. Sukses tersebut mengulang suksesnya tahun 1991. ''Barangkali tempat ini memang cocok bagi saya,'' katanya. Peringkatnya pun melonjak dari 47 menjadi 36 WTA. Tapi banyak yang menyesali bahwa Yayuk, sebagai petenis pro, tanpa pelatih. Apa kata Yayuk? ''Semua orang di top 50 memang perlu pelatih untuk mengevaluasi permainan, latihan, dan macam- macam. Selama ini, saya mengontrol diri sendiri. Tapi, sampai di mana saya bisa mengontrol diri sendiri? Manusia kan ada batasnya,'' kata Yayuk Basuki kepada Siti Nurbaiti dari TEMPO di rumahnya, di kompleks Bumi Karang Indah, Jakarta Selatan, Minggu malam. Apa yang Anda rasakan sekarang tanpa pelatih? Main, ya, main. Saya nggak tahu kesalahan saya. Kemarin itu (di Pattaya) ada faktor keuntungan. Tanpa pelatih, saya bisa saja seenaknya latihan. Latihan itu nggak terarah. Porsi latihan saya, jika tidak sedang bertanding, 4-5 jam sehari, dan dua jam jika sedang bertanding. Di Pattaya Anda bisa menata emosi. Itu karena sudah bertunangan? Saya rasa nggak. Dari dulu emosi saya begitu. Cuma, tahun lalu saya emosional, saya ngoyo karena ingin menang. Ditambah ada tekanan dari klub, wartawan, dan semuanya. Saya kalah sedikit menjadi headline. Pihak ini bilang saya harus begini, yang satu bilang harus begitu. Jadi, saya merasa tertekan. Anda pernah bilang capek dilatih pelatih asing? Bukan capek. Mereka tak tahu orang Timur itu bagaimana. Orang Timur itu kan perasaannya halus. Bule kan masa bodo, lu-lu, gua-gua. Bukan soal disiplin. Saya justru senang disiplin. Saya nggak suka molor waktu. Masalahnya begini. Misalnya, saya diminta bermain tenis dengan menteri. Tapi pelatih saya bilang tidak bisa. Jadi, nggak ada titik temu, itu gambaran kecil. Sekarang latihan dengan siapa? Saya masih latihan dengan pelatih lama saya, Hery (Suharyadi, tunangannya) dan Sulis (Sulistiyono, bekas pelatihnya di Pelita Jaya yang mengundurkan diri tiga bulan lalu Red.). Di Thailand saya latihan dengan pemain asing. Soal mitra tanding nggak ada masalah. Saya ketemu mereka di lapangan, ya, begitu saja. Kok bisa kena maag di Malaysia? Saya rasa memang lagi bad luck. Di sana saya terlalu capek, dan larinya ke perut. Sewaktu di Thailand, kalau jalan-jalan kan nggak mikir makan apa. Makanan di sana pedas-pedas. Kalau sudah bertanding nggak mikir makan, hanya minum air. Jadi, sekarang saya memang harus hati-hati. Itu karena tak ada pelatih? Bisa juga begitu. Kalau ada pelatih kan bisa mengatur semuanya, bisa menemani saya makan selagi malas makan sendirian. Saya kena maag tahun 1986, sering juga kambuh kalau kecapekan. Hari pertama di Malaysia, saya sudah lemas. Sekarang Anda punya target? Bagaimana punya target, pelatih saja tak punya. Saya ini yakin dengan diri sendiri. Saya nggak punya rencana target sampai segini, misalnya. Latihan saja nggak teratur dan nggak ada yang mengarahkan. Punya gambaran pelatih ideal? Sulit. Tapi begini, orang kita itu nggak percaya dengan orang sendiri. Lebih percaya pada orang asing. Begitu juga di tenis. Padahal, belum tentu orang asing itu cocok, belum tentu pula mereka berkualitas. Kalau mau yang kualitasnya bagus, harus keluar banyak uang. Pelatih asing itu mahal. Down payment-nya saja sekitar US$ 75.000, gaji sebulan US$ 3.000, dan belum biaya lainnya termasuk apartemen, transpor. Saya rasa, saya tak lama di tenis. Sekarang saya sudah 23 tahun. Kalau saya masih 17, pelatih asing saya senang, karena waktunya masih panjang. Penyesuaian dengan pelatih asing itu paling tidak setahun. Saya tidak mau membuang waktu tanpa hasil, dan rusak. Sayang, kan? Jadi, kenapa saya tak dikasih orang yang sudah mengerti saya? Saya ini orangnya nggak macam- macam. Jadi, soal pelatih, saya belum tahu. Saya akan bicara sendiri dengan Pak Ical (bos klub Pelita Jaya). Kalau kemarin saya mengajak Suharyadi, saya pikir bisa menemani saya dan kebetulan waktunya kosong. Itu juga atas inisiatif saya, bukan dari klub. Sampai kapan main tenis? Saya coba tiga tahun lagi. Selain soal usia, faktor kebosanan pada saya juga ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini