Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rahmat Effendi terkenal sebagai wali kota yang mendapat banyak penghargaan.
Rahmat terkenal sebagai kepala daerah penjaga toleransi dan kebebasan berkeyakinan.
Laporan korupsi sudah lama mengalir ke KPK.
TAK ada lagi tamu yang bertandang ke rumah Rahmat Effendi sejak penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkapnya pada Rabu, 5 Januari lalu. Pada Rabu, 12 Januari lalu, hanya tiga laki-laki tampak duduk dan mengobrol di teras rumah Rahmat di perumahan Pekayon Indah, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Biasanya, rumah pribadi Rahmat selalu ramai oleh para tamu. Sejak KPK mencokoknya karena dugaan menerima suap pembebasan lahan dan dagang jabatan, keluarganya tak mengizinkan siapa pun bertandang. “Nanti akan kami sampaikan ke keluarga dan kuasa hukumnya,” kata Rustono, satu di antara lelaki yang duduk di teras rumah Rahmat, kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keluarga Rahmat berdiam dalam rumah dan tak mengizinkan siapa pun menemui mereka, termasuk wartawan. “Kami masih berduka,” tutur Ade Puspitasari, putri sulung Rahmat. Ia anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat dari partai yang sama dengan ayahnya, Partai Golkar.
Bukan pertama kali Rahmat berurusan dengan komisi antirasuah. Pada 2010, ketika masih menjabat Wakil Wali Kota Bekasi, dia sempat dilaporkan kepada KPK atas dugaan penggelapan dana insentif DPRD Kota Bekasi 2004-2009 senilai Rp 526 juta. Pada periode tersebut, Rahmat menjabat Ketua DPRD Bekasi. Di berbagai kesempatan, Rahmat membantah tuduhan itu.
Menurut laporan Gerakan Penegak Keadilan atau Gepeka, dana insentif itu bermasalah karena diambil dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bekasi. Laporan itu tak berlanjut. Rahmat lolos dari jerat hukum. Pada 2011, dia naik jabatan karena Wali Kota Bekasi sebelumnya, Mochtar Mohammad, terjerat perkara korupsi.
Setelah menggantikan Mochtar, dia dua kali terpilih menjadi Wali Kota Bekasi pada 2013-2018 dan 2018-2022. Namun kontroversi terus mewarnai perjalanan karier politiknya.
Misalnya pada awal Januari 2022, sebelum KPK mencokoknya, masyarakat Kota Bekasi meributkan alokasi anggaran Pemerintah Kota Bekasi Rp 1,1 miliar untuk pembelian karangan bunga. Rahmat berkilah setiap hari ia mendapat puluhan undangan yang tidak mungkin semuanya dihadiri. Sebagai gantinya, ia mengirim karangan bunga.
Masalahnya, karangan bunga itu hanya satu contoh penganggaran ganjil dalam APBD. Wakil Ketua KPK 2015-2019, Thony Saut Situmorang, mengatakan lembaganya sering menerima laporan dugaan korupsi selama Rahmat menjabat wali kota. “Banyak aduan baik dari lembaga kemasyarakatan maupun perorangan,” ujarnya pada Jumat, 14 Januari lalu.
Informasi ini diamini Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Ia mengatakan lembaganya sudah lama mendapat laporan dugaan korupsi Rahmat. Karena itu, sejak 2021, penyelidik KPK memantau gerak-gerik Rahmat hingga akhirnya menangkapnya dengan tuduhan menerima suap proyek pengadaan lahan.
Sejumlah koleganya tidak percaya Rahmat terlibat korupsi. “Saya kaget hingga gemetar mendengar kabar Bang Rahmat ditangkap KPK. Setahu kami, dia pemimpin yang baik dan dekat dengan masyarakat,” ujar Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia Bekasi Mardani Ahmad.
Mardani cukup dekat dengan Rahmat. Keduanya sering bertemu membahas persoalan kepemudaan di Bekasi. Dia juga pernah menulis buku berjudul Rahmat Effendi yang berisi kiprah Rahmat selama memimpin Bekasi.
Mardani mengklaim Rahmat banyak mengubah wajah Bekasi. Dari menata infrastruktur, meningkatkan jaminan kesehatan dan pendidikan, hingga menjaga toleransi antar-umat beragama. “Itu sudah diakui banyak lembaga,” ujarnya pada Jumat, 14 Januari lalu. “Pak Rahmat banyak mendapat penghargaan soal toleransi.”
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, 30 Maret 2017/TEMPO/STR/Frannoto
Pada 2017, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memang memberikan penghargaan kepadanya sebagai salah satu kepala daerah yang berperan menjaga kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada 2020, ia menerima piagam penghargaan sebagai tokoh toleransi 2020 dari Perkumpulan Wartawan Media Kristiani Indonesia.
Kiprah Rahmat dalam menjaga toleransi beragama juga diakui oleh Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Bekasi Abdul Manan. “Dia aktif bertemu para pemimpin umat berbagai agama untuk menyerukan toleransi. Dia berharap Bekasi menjadi kota yang harmonis untuk siapa saja,” tutur Abdul Manan.
Satu yang membuatnya terkenal adalah ketika Rahmat Effendi menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) sejumlah gereja di Bekasi. Salah satunya Gereja Katolik Santa Clara di Bekasi Utara. Sebelumnya, umat Katolik Bekasi sudah puluhan tahun tak bisa mendirikan gereja. “Lebih baik tembak kepala saya ketimbang mencabut IMB gereja itu,” ucap Rahmat ihwal pendirian Gereja Santa Clara kala tersebut.
Tokoh masyarakat yang menjadi anggota jemaat Gereja Katolik Santa Clara, Rasnius Pasaribu, mengakui konsistensi Rahmat Effendi dalam membela kelompok minoritas beragama. Hasilnya, pada 11 Agustus 2019, gereja selesai dibangun dan diresmikan oleh Rahmat Effendi. “Saya ingat beliau empat kali menghadapi demo warga untuk membela kami,” ujar Rasnius.
Rahmat Effendi juga banyak memperoleh penghargaan di bidang tata kelola pemerintahan. Pada 2019, berbagai penghargaan dari pemerintah dan pihak swasta bertubi-tubi diberikan kepadanya. Salah satunya adalah penghargaan kategori layanan kesehatan ramah anak dari Gubernur Jawa Barat.
Perhatian Rahmat Effendi di bidang kesehatan masyarakat diakui Ketua Umum Solidaritas Masyarakat Bekasi Budy Ariyanto. Ia mengaku memiliki banyak kenangan bersama Rahmat ketika mendampingi warga miskin yang sedang sakit.
Salah satunya peristiwa pada 2017. Saat itu, seorang bayi mengalami pengentalan otak dan mesti dirujuk ke salah satu rumah sakit di Jakarta. Tapi rumah sakit meminta jaminan Rp 50 juta.
Keluarga tak sanggup membayar. “Saya melapor ke Rahmat Effendi, hari itu juga dia memerintahkan Dinas Kesehatan menjemput pasien untuk dirawat di Bekasi. Seluruh pembiayaan ditanggung pemerintah kota. Nilainya Rp 100 juta rupiah lebih,” ujar Budy.
Program Kartu Sehat Berbasis Nomor Induk Kependudukan memang merupakan salah satu program andalan Pemerintah Kota Bekasi di masa Rahmat Effendi. Meski banyak warga Bekasi yang menikmati, program ini menyebabkan pengeluaran Pemerintah Kota Bekasi membengkak dan sempat berutang lebih dari Rp 100 miliar ke sejumlah rumah sakit pada 2018.
Semua nilai positif itu pupus ketika KPK menangkapnya dengan tuduhan paling nista dalam politik Indonesia hari ini. Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan korupsi kerap menggoda kepala daerah karena memiliki kewenangan menentukan kebijakan dan menganggarkan proyek pembangunan.
Tak mengherankan, kata Abdul, ada kepala daerah seperti Rahmat Effendi yang tergoda menerima suap atau menggangsir anggaran, terutama di masa akhir jabatan. “Korupsi biasanya terjadi untuk mengembalikan biaya kampanye pemilihan kepala daerah,” ujarnya.
AGUNG SEDAYU, LINDA TRIANITA, AVIT HIDAYAT, ADI WARSONO (BEKASI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo