Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baiq Nuril Maknun tak kuasa menahan tangis saat pertama kali mendengar kabar putusan Mahkamah Agung menghukum dirinya enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan bui. Perempuan 40 tahun itu mendapat kabar dari sang suami, Lalu Muhamad Isnaini. ”Putusan itu seperti guncangan gempa yang datang berulang kali,” ujar Nuril, Kamis pekan lalu.
Warga Desa Telagawaru, Kecamatan Labuapi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, ini mengatakan gempa yang silih berganti pada tiga bulan lalu seperti kembali menghampirinya. Putusan kasasi yang diketuk majelis pimpinan hakim agung Sri Murwahyuni dengan anggota Maruap Dohmatiga Pasaribu dan Eddy Army itu, menurut Nuril, begitu mengentak jiwanya.
Ia tak menyangka Mahkamah Agung menganulir putusan Pengadilan Negeri Mataram yang memvonisnya tak bersalah pada 26 Juli tahun lalu. Karena putusan itu, ibu tiga anak ini meyakini perlawanan kasasi penuntut umum tak akan dikabulkan MA. ”Saya tidak menyangka putusan -seperti ini,” kata Nuril dengan mata berkaca-kaca.
Diketuk pada 26 September lalu, putus-an kasasi menyatakan Nuril bersalah melakukan tindak pidana mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Majelis menganggap Nuril terbukti melanggar Pasal 27 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Majelis hakim menilai rekaman percakapan antara Nuril dan Muslim, kepala sekolah tempat dia mengajar, Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Mataram, memenuhi syarat sebagai ”dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan”. Rekaman itu memang berisi pernyataan Muslim yang melakukan perundungan seksual kepada Nuril secara verbal. Dengan bukti rekaman itulah Muslim dilaporkan ke atasannya di Dinas Pendidikan Kota Mataram dan diberi sanksi.
Muslim mengadukan guru honorer di sekolah yang dipimpinnya itu ke Kepolisian Resor Mataram, 17 Maret 2015. Ia menuding Nuril telah merekam pembicaraan keduanya enam tahun lalu. Majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram pimpinan Albertus Husada yang menangani perkara ini kemudian memvonis bebas Nuril. ”Dari hasil pemeriksaan, tak ditemukan data terkait dengan dugaan kesengajaan dan tanpa hak mendistribusikan informasi yang bermuatan asusila,” ujar Albertus saat membacakan putusan itu.
Menurut hakim, pihak yang mendistribusikan hasil rekaman tersebut adalah rekan kerja Nuril ketika ia masih menjadi tenaga honorer di SMAN 7 Mataram. -Pertimbangan ini, menurut majelis Pengadilan Negeri, didasari penilaian hasil -pemeriksaan Tim Digital Forensik Kepolisian RI.
Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, mengatakan majelis kasasi memvonis Nuril bersalah karena perbuatan pidana yang dilakukan memenuhi unsur dakwaan jaksa. ”Bu Nuril terbukti mendistribusikan rekaman bermuatan melanggar kesusilaan itu sehingga sampai ke beberapa orang,” ujarnya.
Pemberitahuan putusan itu baru sampai ke pengacara Nuril pada Jumat dua pekan lalu melalui Pengadilan Negeri. Pengacara Nuril lantas memberitahukan ihwal putus-an ini kepada kliennya. Koordinator pengacara Nuril, Joko Sumadi, mengatakan pihaknya sampai pekan lalu belum menerima salinan putusan.
Dari pemberitahuan Mahkamah Agung, kata Joko, ada kejanggalan atas putusan tersebut. Ia mengatakan seharusnya yang disangka mengedarkan rekaman percakapan adalah Imam Mudawin, guru SMAN 7 Mataram. Alasannya, menurut Joko, Mudawin yang ditengarai menyebarkan rekaman itu setelah mendapatkannya dari Nuril. ”Sejak penyidikan di polisi sudah aneh -karena Nuril yang dijadikan tersangka,” ujarnya.
Putusan kasasi ini menuai banyak kecaman dari sejumlah kalangan. Regional Coordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menggalang petisi ”Bebaskan Ibu Nuril dari Jerat UU ITE” di dunia maya. Sampai pekan lalu, ada 33 ribu lebih warganet yang meneken petisi tersebut. Ada juga orang di media sosial menggalang dana untuk Nuril agar dia bisa membayar denda sebesar Rp 500 juta. Penggalangan dana yang dimulai pada 14 November lalu itu sudah mencapai Rp 75 juta lebih.
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan putusan itu melawan aturan Mahkamah Agung sendiri. Tahun lalu lembaga yudikatif tertinggi itu menerbitkan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Pasal 3 huruf b menyebutkan bahwa hakim mesti mengidentifikasi situasi perlakuan tidak setara yang diterima perempuan dalam persidangan.
Dalam kasus Nuril, menurut MaPPI, hakim tidak mempertimbangkan posisinya sebagai korban pelecehan verbal. ”Pelecehan seksual secara verbal yang dialami Nuril bukan yang pertama. Sudah kesekian kali sejak 2012,” demikian pernyataan resmi MaPPI yang dikirim kepada Tempo. ”Ini seharusnya dipertimbangkan hakim.”
Suhadi menanggapi santai kritik atas putusan itu, termasuk soal tudingan hakim yang tidak mempertimbangkan Nuril -sebagai korban perundungan seksual. ”Dugaan pelecehan seksual itu perkara lain. Apa sudah dilaporkan, siapa yang dilaporkan?” katanya. Ia mengatakan independensi hakim harus dihormati dalam mengambil putusan.
SORE itu, Agustus 2012, Baiq Nuril Maknun tengah berada di rumahnya di Telagawaru saat menerima panggilan telepon dari Muslim. Melalui telepon, Muslim menceritakan pengalaman pribadinya yang seolah-olah baru saja melakukan hubungan seksual dengan seseorang. Sesuai dengan dokumen putusan Pengadilan Negeri Mataram, kalimat Muslim diawali dengan umpatan kepada Nuril karena ia datang terlalu cepat ke Hotel Puri Saron Senggigi, Mataram.
Sebelum menerima panggilan telepon Muslim, Nuril mengaku memang menemui Muslim di Hotel Puri. Di sana Muslim sedang berdua dengan Landriati, atasan Nuril di Tata Usaha SMAN 7 Mataram. Nuril mendatangi hotel itu atas permintaan Muslim. Sepulang Nuril dari hotel, Muslim meneleponnya. ”Persidangan di pengadilan terungkap bahwa dalam rekaman itu Muslim menceritakan kepada Bu Nuril soal gaya berhubungan badan dia,” ujar Joko Sumadi.
Kepada Nuril, Muslim bercerita blakblakan. ”Saya hanya dikasih sekali, tapi sampai satu jam. Eee, saya goyang tidak keluar-keluar. Kenapa tidak keluar-keluar barang ini? Eee, kuat sekali kuda Sumbawa ini,” ucap Muslim kepada Nuril seperti terungkap di pengadilan. ”…Sudah pakai tempel pe**s di payu**ra, tapi tidak bisa-bisa,” katanya.
Banyak kalimat tak senonoh yang disampaikan Muslim kepada Nuril. Muslim mengakui percakapan itu di pengadilan. Tapi ia berdalih cerita tersebut bukan soal pengalaman persetubuhannya di Hotel Puri pagi itu. Ia mengatakan kalimat tersebut terungkap karena terpengaruh fantasi seksual akibat keseringan menonton film porno saat studi di Australia. ”Pada malam hari baru dapat tidur apabila sudah berfantasi seksual,” ujar Muslim.
Tempo dua kali mendatangi kediaman Muslim di Kampung Bugis Ampenan, Mataram, tapi ia tidak di rumah. Di kantor Dinas Pemuda dan Olahraga Mataram, tempat Muslim bekerja sebagai Kepala Bidang Kepemudaan, ia juga tidak berada di sana. Nomor telepon selulernya aktif, tapi ketika dihubungi tidak diangkat. Pengacara Muslim, Gabriel G. Tokan, mengatakan kliennya pernah mengajukan upaya damai dengan syarat membayar uang damai sebesar Rp 1 miliar. ”Tapi tidak ditawar. Berarti tidak ada niat damai,” kata Gabriel di pengadilan, tahun lalu.
Nuril merekam semua ucapan Muslim ini. Joko Sumadi mengatakan Nuril sempat memperdengarkan rekaman itu kepada Imam Mudawin, guru SMAN 7 Mataram. Setelah mendengarnya, Mudawin membujuk Nuril agar memberikan rekaman itu. Mudawin beralasan hendak mengadukan kelakuan Muslim tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mataram. ”Akhirnya Bu Nuril menyerahkan rekaman itu,” ujarnya.
Menurut Joko, proses pemindahan data rekaman dari ponsel Nuril ke laptop milik Mudawin ini yang dituntut jaksa. ”Padahal saksi-saksi menyebut yang memindahkan adalah Mudawin,” kata Joko. Adapun Mudawin dalam kesaksiannya di pengadilan menuding Nuril yang memindahkannya. Ia juga mengaku memberikan rekaman itu kepada Muslim lewat Mulhakim, guru SMAN 7 Mataram.
Jaksa penuntut pada Kejaksaan Negeri Mataram, Ketut Sumedana, mengatakan rumusan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diajukan dalam memori kasasi disebutkan bahwa Nuril yang membuat rekaman itu dan mendistribusikan ke sebuah laptop. ”Di dalam rumusan pasal itu, dia yang membuat dan mendistribusikan,” tutur Sumedana, Jumat pekan lalu.
Joko mengatakan fakta dalam persidangan di Pengadilan Negeri yang diduga tidak dipertimbangkan hakim kasasi, di antaranya keterangan saksi, akan dijadikan bukti baru mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Bukti baru juga diharapkan dari hasil kajian terhadap keterangan ahli dari Kementerian Komunikasi dan Informatika yang diduga dipelintir jaksa penuntut dalam memori kasasi. ”Setelah menerima putusan, kami ajukan PK,” ucapnya.
Rencana pengajuan permohonan peninjauan kembali ini tidak menghalangi rencana jaksa penuntut mengeksekusi Nuril. Jaksa penuntut memanggil Nuril agar menghadap ke Kejaksaan Negeri Mataram, Rabu pekan ini. Sumedana mengatakan pemanggilan ini untuk mengeksekusi pu-tusan kasasi tersebut. ”PK tidak menghalangi eksekusi,” kata Sumedana.
RUSMAN PARAQBUEQ (JAKARTA), M. AHYAR NUR, ABDUL LATIF APRIAMAN (MATARAM)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo