Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sepotong Jejak Muslim Al-Andalus

KAUM muslim pernah berjaya di Al-Andalus, hampir seluruh Semenanjung Iberia, pada Abad Pertengahan.

16 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Umat muslim melaksanakan Salat Idul Adha di Cerro del Aceituna, San Miguel Alto, Granada, Agustus lalu. -TEMPO/Purwani Diyah Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pusat kekuasaannya, Cordoba—kini di Andalusia, Spanyol—menjadi pusat ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan ekonomi global. Namun Islam musnah seiring dengan kekalahan serdadu muslim oleh pasukan Castilla dan Aragon pada masa Reconquista. Tapi banyak peninggalan masih tersisa. Misalnya sentuhan arsitektur Islam atau Moor pada berbagai bangunan, dari istana hingga gereja, yang kini selalu riuh oleh pelancong. Di antaranya Alhambra di Granada dan Masjid Katedral di Cordoba, juga sejumlah bangunan di Toledo.

Namun, sejak diktator Francisco Franco meninggal pada 1975 dan Spanyol menjadi negara demokrasi, Islam kembali tumbuh. Akhir Agustus lalu, wartawan Tempo, Purwani Diyah Prabandari, menyusuri sepotong jejak kejayaan bangsa Moor tersebut di Spanyol dan menengok geliat komunitas muslim barunya.

JARUM jam mendekati tanda pukul 11 siang. Satu demi satu orang berdatangan dan berkerumun di depan bangunan di pinggir terminal di Sevilla, Spanyol, pada akhir Agustus lalu. Pintu gerbang dengan tulisan “Fundacion Mezquita de Sevilla” (Yayasan Masjid Sevilla) di atasnya masih tertutup rapat.

Setelah pintu dibuka, mereka menuju ruangan yang cukup luas di lantai dua. Ada partisi kayu berornamen yang membagi ruangan menjadi dua, yakni untuk jemaah perempuan dan jemaah laki-laki. Orang makin banyak berdatangan. Sejumlah perempuan mengenakan jilbab biasa. Ada pula yang berkerudung model turban, yang biasa dikenakan muslimah di Spanyol. Adapun di antara jemaah pria ada yang berkemeja, berkaus, dan satu orang mengenakan hem batik.

“Setiap Ahad kami mengaji,” kata seorang perempuan yang hadir awal pada hari itu.

Menjelang siang, mereka memang mendaras Al-Quran bersama-sama, tepatnya surat-surat pendek di pengujung kitab suci. Kebanyakan sudah hafal tanpa perlu menyimak Al-Quran atau lembaran-lembaran yang berisi surat yang dibaca. Awalnya saya sulit mengikuti mereka. Cara mendaras mereka begitu asing di telinga, dengan pemutusan bacaan ayat yang berbeda dengan cara membaca Quran yang saya pelajari di Indonesia. Setelah beberapa lama dengan saksama memelototi lembaran-lembaran surat pendek yang saya pegang, barulah saya bisa mengikuti.

Umat muslim melaksanakan Salat Idul Adha di Cerro del Aceituna, San Miguel Alto, Granada, Agustus lalu. Tempo/Purwani Diyah Prabandari

“Setelah mengaji, kami biasanya kumpul-kumpul santai,” ujar Aisha, seorang anggota jemaah.

Memang, acara pada Ahad menjelang siang itu, selain mengaji bersama, adalah kumpul-kumpul layaknya pertemuan keluarga besar. Banyak yang hadir membawa serta semua anggota keluarga, dari orang tua, orang dewasa, remaja, hingga anak-anak. Terlihat hubungan yang sangat dekat. Siang itu, beberapa orang memberikan kado kepada seorang bocah perempuan. “Dia berulang tahun,” tutur Fatima Azzahra Zamorano Garcia. Mereka potluck-an membawa camilan dan minuman yang dinikmati sembari mengobrol santai.

Tapi, siang itu, ada acara tambahan yang digelar di “musala” terbesar di ibu kota kawasan otonomi Andalusia tersebut. Begitu selesai mendaras Quran, para lelaki terlihat merangsek membuat kerumunan yang lebih kecil. “Ada yang mengucapkan syahadat,” seorang anggota jemaah perempuan memberi tahu saya dari jarak agak jauh. Partisi yang berdiri berornamen bolong-bolong sehingga jemaah perempuan juga bisa melihatnya.

Tak lama kemudian, jemaah mengucapkan takbir bersama: “Allahu akbar.”  Takbir tersebut menutup acara pembacaan syahadat, dan para pria pun menyalami sang mualaf yang baru saja mendeklarasikan diri menjadi muslim.

Presiden Yayasan Masjid Sevilla Ibrahim Hernandez menyatakan hampir setiap satu atau dua pekan ada orang yang mengucapkan syahadat di musala yang dikelola organisasinya itu. “Perkembangan umat Islam cukup pesat di sini,” ujarnya.

Menurut Ibrahim, sekarang terdapat sekitar 2 juta muslim di Spanyol. “Jadi sekitar 4 persen dari total populasi Spanyol.” Data ini diperkuat Barbara Hayat Ruiz-Bejarano, Direktur Hubungan Internasional Institut Halal Spanyol. “Sekitar 40 persen memegang paspor Spanyol,” katanya saat ditemui di Jakarta, dua pekan lalu.

Ruiz-Bejarano menambahkan, saat ini lebih dari 1.100 organisasi Islam terdaftar di Kementerian Kehakiman Spanyol.

LEBIH dari 360 tahun Spanyol “sunyi” dari komunitas muslim.  Hanya di dua kota yang berada di Afrika Islam tetap hidup, yakni di Melilla dan Ceuta. “Keduanya sangat dekat dengan Maroko,” ucap Raul Merchan, Atase Perdagangan Kedutaan Besar Spanyol di Jakarta, dua pekan lalu.

Masjid Agung Granada. Tempo/Purwani Diyah Prabandari

Padahal pada Abad Pertengahan kaum muslim berjaya di Al-Andalus, hampir seluruh kawasan di Semenanjung Iberia yang meliputi Spanyol, Portugal, dan sebagian kecil Prancis. Cordoba, yang menjadi pusat kekuasaan muslim, dikenal sebagai pusat budaya dan pengetahuan, juga ekonomi global, pada masanya.

Kejayaan di Iberia tersebut bermula pada 711, saat pasukan Berber atau Moro (Moor) dan Arab di bawah Tariq Ibnu Ziyad mulai menancapkan kekuasaan di kawasan ini. Meski dinasti penguasa berganti-ganti, kelompok muslim berkuasa di Al-Andalus selama 781 tahun hingga satu per satu daerah kekuasaan mereka jatuh ke tangan pasukan kerajaan-kerajaan Katolik, yang dikenal dengan masa Penaklukan Kembali (Reconquista). Pada 1081, Toledo jatuh, disusul Cordoba pada 1236 dan Sevilla pada 1248. Pada 1492, “benteng” terakhir, Granada, runtuh. Emir Granada, Abu Abdullah Muhammad XII, menyerahkan kekuasaan kepada Ratu Isabella I dari Castile dan Raja Ferdinand II dari Aragon.

Awalnya, dengan adanya Traktat Granada, penduduk muslim masih bisa tinggal di kawasan Semenanjung Iberia. “Populasi muslim di bawah penguasa Nasrani 5-30 persen, tergantung daerahnya,” kata Barbara Hayat Ruiz-Bejarano. “Tapi, pada 1525, semua orang muslim dipaksa dibaptis dan menerima Katolik.” Masjid-masjid pun dialihfungsikan menjadi gereja.

“Bau Islam” makin terkikis saat dilakukan pengusiran terhadap warga muslim yang sudah menjadi Katolik, yang dikenal sebagai Morisco (kripto-muslim). Sebelumnya, terjadi beberapa kali ketegangan lantaran mereka dipaksa mengikuti segala budaya Nasrani. Pada 1609, Raja Philip III mengeluarkan kebijakan pengusiran Morisco. Pada 1614, pengusiran berakhir. Muslim pun punah di sana, meski masih banyak peninggalan bertahan. “Misalnya makanan, bahasa, siesta (budaya tidur siang sebentar),” tutur Ibrahim Hernandez. Tentu juga gaya arsitektur bangunan.

Masjid Agung Granada. Tempo/Purwani Diyah Prabandari

Baru setelah diktator Francisco Franco meninggal pada 1975 dan Spanyol menapaki langkah transisi menuju demokrasi, komunitas muslim kembali tumbuh.  “Setelah ada Konstitusi 1978, Islam menjadi legal,” ucap Ruiz-Bejarano. 

Pada 1978, pemerintah Spanyol mengeluarkan konstitusi baru yang melindungi kebebasan berekspresi dan berkeyakinan. Negara juga dinyatakan non-confessional, bukan lagi negara agama. “Perubahan ini memicu pengenalan kembali Islam,” ujar Ruiz-Bejarano.

Sebelumnya, Spanyol adalah negara Katolik dan sangat kanan. Franco memimpin negeri yang pernah sangat terkenal dengan matadornya ini menggunakan otoritarianisme. Saat itu, kata Raul Merchan, “Spanyol negeri yang menutup diri.”

Pada 5 Juli 1980, Madrid melahirkan Undang-Undang Kebebasan Beragama yang kian menguatkan perkembangan penganut agama-agama non-Katolik, terutama Islam.  Pada tahun ini juga tercatat untuk pertama kalinya sekelompok muslim bersembahyang bersama secara terbuka di Mirador de San Nicolas, yang berjarak satu bangunan dari Masjid Agung Granada kini. “Mereka orang asli Skotlandia dan penganut tarekat sufi,” ujar Ruiz-Bejarano.

Bahkan, pada 1992, pemerintah menandatangani kesepakatan khusus dengan Komisi Islam Spanyol guna menjamin dukungan pemerintah terhadap kebebasan warga muslim menjalankan ajaran agama dan memiliki hak membangun masjid. Kesepakatan juga dijalin dengan komunitas evangelis dan Yahudi.

Menurut Ibrahim Hernandez, setelah ambruknya pemerintahan Franco, terjadi semacam revolusi, termasuk revolusi spiritual karena tadinya semua “dipaksa” memeluk Katolik. “Orang mencari jawaban dan banyak yang menemukannya dalam Islam,” katanya. “Karena itu, banyak orang yang kemudian memeluk Islam, sekitar akhir 1970-an dan awal 1980-an.” Tapi ternyata hal itu berlanjut hingga sekarang.

Musala Yayasan Masjid Sevilla, misalnya, banyak menerima orang yang bersyahadat. Hernandez sendiri adalah generasi kedua penduduk muslim Spanyol. Ayahnya yang pertama kali memeluk Islam dalam keluarganya. Istri Hernandez, Aisha, juga mualaf. Demikian pula Fatima Azzahra Zamorano Garcia, yang baru setahun memeluk Islam, dan suaminya.

Ruiz-Bejarano pun baru menjadi muslim pada 2002. Di masjid tempat dia aktif di Valencia, tercatat rata-rata 100 orang bersyahadat setiap tahun. Di berbagai musala atau masjid di Spanyol, para mualaf gampang ditemui. Misalnya saat saya mengunjungi Masjid Tauhid di Cordoba, yang lokasinya hanya sekitar 200 meter dari Mezquita-Cathedral (Masjid Katedral). Aisha Barnabeu mengisahkan kemuslimannya yang baru berumur beberapa bulan. “Saya merasa lebih damai dan tenang,” ucap perempuan 44 tahun ini. Jawaban yang hampir sama dinyatakan beberapa mualaf yang saya temui, seperti Fatima Azzahra.

Musala Yayasan Masjid Sevilla. Tempo/Purwani Diyah Prabandari

Siang itu, pada akhir Agustus lalu, di masjid yang letaknya tersembunyi di gang kecil dan terlihat seperti gang buntu bila dilihat dari ujung gang yang penuh dengan restoran dan toko cendera mata, Aisha Barnabeu berdiskusi tentang agama dengan Housna Mekhelef dan Wafa Chahbounia. “Saya sedang belajar mengenakan jilbab,” katanya.

Ruiz-Bejarano menambahkan, penduduk muslim kembali mendapat momentum tumbuh pesat setelah tragedi 11 September 2001, yang merobohkan World Trade Center di New York, Amerika Serikat. “Tragedi 11 September memicu ketertarikan pada Islam,” tuturnya.

Meski demikian, populasi muslim di Spanyol tetap tidak didominasi mualaf, terutama mualaf Spanyol. Sebanyak 60 persen muslim bukan warga negara Spanyol. Adapun dari 40 persen dari sekitar 2 juta muslim berpaspor Spanyol, menurut Ruiz-Bejarano, hanya 10 persen yang merupakan mualaf Spanyol atau mualaf Inggris yang lama tinggal di Spanyol.

Muslim pendatang, yang sudah berkewarganegaraan Spanyol ataupun warga asing, kebanyakan berasal dari Maroko dan Aljazair. Lainnya datang dari berbagai negara, di antaranya Somalia, Sudan, dan Pakistan. Wafa Chahbounia dan Housna Mekhelef, yang saya temui di Masjid Tauhid di Cordoba, berasal dari Maroko dan Aljazair.

Di Masjid Agung Granada, saya juga berbincang dengan penjaga masjid, Latif Thomson, yang keluarganya bermigrasi dari Inggris, dan Zeshaan Karim asal India.  “Kami pindah ke sini saat saya masih kecil,” ujar Thomson, yang kini berusia 20 tahun.

Tak mengherankan, musala dan masjid pun terus tumbuh. Menurut Ruiz-Bejarano, jumlahnya lebih dari 450. Bahkan beberapa media menyebutkan lebih dari 1.000. “Tapi yang besar hanya beberapa, seperti di Granada dan Madrid. Kebanyakan kecil seperti garasi,” ucapnya.

Ibrahim Hernandez juga menjelaskan bahwa kebanyakan musala adalah ruangan yang disewa komunitas muslim untuk beraktivitas, terutama sembahyang Jumat bersama yang merupakan kewajiban bagi pria. “Masjid Agung Granada satu-satunya masjid besar yang dibangun di tanah wakaf,” katanya.

Komunitas muslim Sevilla, menurut Hernandez, sedang dalam proses membangun masjid. Dia dan kawan-kawannya telah beberapa kali datang ke Indonesia untuk mensosialisasi rencana pembangunan itu sekaligus berupaya mengumpulkan dana. “Baju batik yang bapak itu kenakan oleh-oleh yang saya beli waktu ke Indonesia,” tuturnya sembari menunjuk satu-satunya orang yang mengenakan baju batik siang itu.

MESKI relatif tak mendapat banyak ancaman yang membuat surut nyali, bukan berarti kaum muslim Spanyol tak menghadapi tantangan. Misalnya dalam pembangunan masjid seperti yang diinginkan. “Membangun masjid sulit, tapi mendirikan musala tidak begitu sulit,” Hernandez menerangkan.

Dalam pembangunan musala, yang penting adalah menjaga kebersihan dan hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Sedangkan pendirian masjid sudah susah sejak proses mendapatkan tanah. Selain itu, ”Sulit mengumpulkan dana yang cukup, juga mendapat persetujuan dari masyarakat sekitar dan pemerintah,” ujar Hernandez. “Masjid Granada butuh waktu 25 tahun,” Latif Thomson menjelaskan lebih detail masalah pembangunan Masjid Agung Granada, yang dari halamannya pengunjung bisa menikmati Alhambra dan Pegunungan Sierra Nevada. Dalam pembangunan masjid, menurut Thomson, pengurus menghadapi berbagai masalah, dari urusan izin bangunan hingga soal ketinggian minaret. “Masyarakat pun awalnya menentang,” kata pria yang kadang bertugas menjaga masjid Granada ini. Tapi, akhirnya, masjid berdiri dengan minaret rendah.

Acara pensyahadatan muslim baru di musala Yayasan Masjid Sevilla. Tempo/Purwani Diyah Prabandari

Pandangan “miring” terhadap Islam alias islamofobia juga masih dihadapi muslim di negeri yang dulu dikenal dengan acara adu bantengnya ini. Apalagi dalam kondisi sekarang, ketika berkali-kali serangan teror dilakukan orang Islam di beberapa negara di Eropa. Di Spanyol, terjadi serangan di Madrid pada 2004 dan di Barcelona serta Cambrils pada 2017. Selain itu, belakangan, marak pengungsi dari Timur Tengah ke kawasan Eropa. “Setelah serangan di Barcelona, ada grafiti di sini,” kata Hernandez.

Beberapa mualaf mengisahkan berondongan pertanyaan kurang menyenangkan yang mereka terima. “Misalnya ’Kamu sekarang jadi radikal?’, ’Kamu jadi muslim karena suami?’,” ujar Fatima Azzahra.

Muslim perempuan yang mengenakan jilbab tak jarang sulit mendapatkan pekerjaan. “Saya sedang dalam proses menjadi polisi. Saya ingin berjuang untuk bisa menjadi polisi dengan tetap mengenakan jilbab,” ucap Azzahra.

Menurut Ibrahim Hernandez, kehidupan minoritas muslim di mana pun di dunia tidak mudah akibat cap teroris belakangan ini.  Jadi, ia melanjutkan, tantangan bagi muslim adalah mengubah persepsi masyarakat luas terhadap Islam dan muslim. “Saya percaya bahwa yang mesti kami lakukan bukan sembunyi atau menyatakan kami bukan ini, bukan itu. Tapi, sebaliknya, kami menunjukkan kepada orang-orang siapa kami dengan aktif dan bersih.”

Karena itulah, Hernandez menambahkan, masyarakat muslim Sevilla ingin membangun masjid. “Dengan begitu, ada tempat terbuka untuk menunjukkan siapa kami dan aktivitas kami. Semoga ini bisa mengubah persepsi terhadap Islam.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus