Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRIA yang selalu berjaga di meja resepsionis Hotel Hospederia Luis de Gongora di Cordoba itu memberikan peta dan menjelaskan arah menuju Mezquita-Cathedral (Masjid Katedral). Tak jauh, hanya sekitar 800 meter. Namun jalanan kecil seperti gang-gang yang berkelok-kelok, tidak bersistem blok, memang membuat orang gampang tersasar.
“Masjidnya ya di dalam katedral itu,” ujarnya. Dengan ramah dia menjelaskan bangunan yang menjadi salah satu tujuan utama pelancong di Kota Cordoba, Andalusia, Spanyol, tersebut.
Memang aneh. Masjid dan katedral bersatu dalam satu bangunan anggun dengan gaya arsitektur campuran Moorish, Gothic, Renaissance, dan Baroque. Bahkan warga yang akan mengikuti misa biasa mengatakan akan pergi bersembahyang di masjid. Pagi itu, pintu masuk Masjid Katedral terbuka lebar. “Boleh masuk,” kata petugas di pintu masjid. Ternyata, saat pagi, Masjid Katedral dibuka sebentar untuk umum tanpa tiket masuk alias gratis. Bila masuk pada pukul 10.00, pengunjung sudah kena tiket wajib seharga 10 euro.
Masjid Katedral Cordoba merupakan salah satu peninggalan kejayaan kaum muslim di Spanyol dan sekitarnya di Semenanjung Iberia yang tercatat di daftar situs warisan dunia UNESCO. Kota Cordoba, yang dulu menjadi salah satu pusat sains, ekonomi, dan budaya dunia pada masa muslim berkuasa, pun tercatat sebagai pusat sejarah versi UNESCO.
Interior Masjid Katedral Cordoba. -TEMPO/Purwani Diyah Prabandari
“Kami menghargai warisan Islam, termasuk semua infrastruktur yang dibuat. Mereka sangat maju pada waktu itu,” tutur Atase Perdagangan Kedutaan Besar Spanyol di Jakarta, Raul Merchan, dua pekan lalu.
Masjid Katedral awalnya sebuah kuil dewa Romawi, Janus, yang kemudian diubah menjadi gereja saat Visigoth menguasai Cordoba pada 572. Ketika muslim, dimulai dengan Dinasti Umayyah yang kabur dari Damaskus, mulai berkuasa pada 711, tempat ibadah ini digunakan bersama oleh kaum muslim dan Katolik. Namun, pada 784-786, Emir Abdul al-Rahman I membeli bagian gereja dan menghancurkan seluruh bangunan, yang kemudian dibangun lagi menjadi masjid baru. Masjid ini diperluas beberapa kali pada abad ke-9-10.
Pada 1236, pada masa Penaklukan Kembali (Reconquista), saat pasukan Katolik mulai merebut kawasan-kawasan muslim, masjid dialihfungsikan menjadi gereja Katolik Roma. Pada abad ke-16, Raja Carlos I menambah katedral Renaissance di dalamnya. Perubahan-perubahan fisik dilakukan, meski masih tersisa sebagian kecil seperti mihrab dan minaret, yang sekarang menjadi menara lonceng. Juga beberapa tulisan Arab dan gaya arsitektur di sebagian bangunan.
EKSPRESI kekaguman pasti terpancar dari muka para pengunjung begitu memasuki Masjid Katedral. Di pinggir ruangan, berjajar kapel-kapel terbuka dengan patung-patung dan ornamen khas Katolik yang ditutup dengan jeruji sehingga pengunjung tak bisa masuk. Di tengah, jajaran pilar keramik, granit, oniks, dan jasper berjumlah 856 (dari aslinya 1.293) yang begitu teratur langsung mengundang mata untuk mencoba menghitungnya. Satu, dua, tiga… sepuluh sampai tak sanggup lagi. Di bagian atasnya, menambah elok, lengkungan-lengkungan tapal kuda Moorish dengan sentuhan warna merah dan putih.
Di tengah ruangan penuh pilar tersebut terlihat gaya Renaissance. Altar tinggi khas Renaissance, atap Gothic, mimbar Baroque, serta tembok Renaissance ditandai dengan Salib Utara dan Salib Selatan harmonis dengan lengkungan-lengkungan gaya Islam.
Beberapa orang duduk diam di barisan kursi yang ada, berdoa atau sekadar menikmati keindahan bangunan dalam sunyi. Meski ada banyak orang, kebanyakan menikmati bangunan dengan diam atau berbicara pelan. Melangkah pun seolah-olah begitu berhati-hati, takut mengganggu. Masjid Katedral yang juga dikenal dengan nama Our Lady of the Assumption Cathedral ini memang masih berfungsi sebagai tempat ibadah umat Katolik. Misa pun rutin diadakan.
Melangkah ke sisi bagian belakang, terlihat pagar membatasi sebagian ruangan. Rupanya, inilah bekas masjid yang masih jelas. Di tembok ini terdapat mihrab dengan arsitektur dan ornamen khas Islam. Mihrab ini memiliki bentuk lengkung tapal kuda di atasnya dan dihiasi kaca bening dengan latar belakang keemasan yang membentuk seperti pita kaligrafi bermotif vegetasi.
Memandang atas, tampak kubah yang tak kalah eloknya. Warna keemasan dan kaligrafi ayat Al-Quran juga mewarnainya. Tak seperti di bagian gereja yang masih digunakan untuk misa, di bagian ini orang tidak boleh melaksanakan salat. Uniknya, mihrab tersebut tidak menghadap ke tenggara, ke Mekah, tapi ke selatan, seperti masjid-masjid di Damaskus—asal Dinasti Umayyah, yang mengawali kekuasaan muslim di Al-Andalus.
Eksterior masjid pun tak sepi dari jejak Moorish. Selain tembok-tembok luar yang ramai dengan warna arsitektur bangsa Moor dan kaligrafi Arab, di halaman dalam masjid terdapat kebun dengan pohon jeruk dan air mancur khas Moor yang dikenal sebagai Patio de los Naranjos. Di pojok depan kiri, berdiri megah menara lonceng setinggi 93 meter yang dulu minaret masjid.
Masjid Cordoba bukan satu-satunya masjid peninggalan bangsa Moor yang kemudian menjadi gereja setelah masa Reconquista atau perang perebutan kembali kekuasaan oleh pasukan Katolik. Menyusuri kota-kota di Spanyol yang dulu bagian dari Al-Andalus, kita masih bisa menemukan kisah-kisah masjid yang begitu marak pada Abad Pertengahan. Ada yang tinggal reruntuhan, ada yang telah menjadi gereja dan tanpa bekas masjid lagi, tapi tak sedikit yang menjadi gereja tapi dengan potongan-potongan arsitektur atau ornamen khas Islam yang terawat.
Di Cordoba, diperkirakan dulu terdapat 300-an masjid dan berarsitektur “tinggi” khas Islam saat kota ini menjadi salah satu kota terbesar di dunia. Keadaan tersebut membuat Cordoba setara dengan Konstantinopel, Damaskus, dan Bagdad. Namun yang tersisa jejak fisiknya tak banyak. Adapun Granada, juga di Andalusia, diperkirakan pernah memiliki 137 masjid dan bangunan lain. Di Toledo, sekitar 72 kilometer dari Madrid (ibu kota Spanyol), hanya tinggal beberapa bangunan bekas masjid yang masih terawat potongan-potongan sisa masjidnya. Kota kecil ini penuh dengan peninggalan yang menunjukkan umat Islam, Katolik, dan Yahudi hidup damai bersama. Pada arsitektur setiap bangunan tempat ibadah juga selalu bercampur gaya Islam, Nasrani, dan Yahudi atau salah satu dari keduanya.
Di Mezquita-Iglesia de El Salvador dan Cristo de la Luz contohnya. Cristo de la Luz, yang tadinya bernama Mezquita Bab-al-Mardun, dibangun pada 999 di dekat gerbang Kota Toledo. Pada 1186, masjid itu diganti fungsinya menjadi kapel. Tembok kiblat dan mihrab diubah.
Memasuki Cristo de la Luz, kita langsung disambut pilar-pilar dengan lengkungan tapal kuda yang mengingatkan pada Masjid Katedral Cordoba. Di sebelah kiri, patung Yesus atau Isa Almasih tegak di atas. Beberapa tulisan kaligrafi Arab masih terlihat di dinding dan lengkungan tapal kuda.
Adapun di Sevilla, ibu kota Andalusia, kita bisa menemukan jejak masjid di Catedral de Santa Maria de la Sede atau biasa disebut Katedral Sevilla. Katedral ini bekas masjid yang menjadi gereja pada 1248, tapi runtuh akibat gempa pada 1365. Pada 1401, didirikan bangunan katedral baru. Bekas bagian masjid yang masih tegak berdiri adalah minaret, yang sekarang menjadi menara lonceng gereja yang dikenal sebagai Menara La Giralda. Namun di beberapa bagian katedral juga tetap terawat sebagian kecil sisa masjid lain, seperti tulisan kaligrafi Arab di pintu keluarnya. Seperti Masjid Katedral di Cordoba, katedral ini masuk daftar situs warisan dunia UNESCO, bersama beberapa bangunan lain di Sevilla, di antaranya kompleks Alcazar di sebelahnya yang juga penuh “warna Moorish”.
Sisa kaligrafi islam di Cristo de la Luz, Toledo. -TEMPO/Purwani Diyah Prabandari
Tak mengherankan, banyak pelancong muslim ikut meriuhkan pariwisata di Spanyol. Menurut Raul Merchan, total pelancong di Spanyol tahun lalu sekitar 82 juta. “Penduduk Spanyol sendiri 47 juta,” katanya, sembari menambahkan bahwa di negerinya terdapat 45 situs warisan dunia.
Menyaksikan potongan-potongan peninggalan kejayaan Islam, pengunjung muslim kadang spontan ingin melaksanakan salat, terutama di Masjid Katedral Cordoba. Pada 2010, pernah ada pengunjung yang salat di bagian “masjid”. Petugas keamanan langsung menariknya.
Ada pula sekelompok muslim Spanyol yang meminta izin kepada otoritas gereja di Spanyol dan Vatikan agar muslim bisa bersembahyang di Masjid Katedral. Namun permintaan itu ditolak. Selain itu, ada upaya dari komunitas gabungan muslim dan sekuler agar bagian masjid lebih difungsikan sebagai monumen. “Kami tidak menginginkan bangunannya (kembali menjadi masjid), tapi bangunan tersebut lebih untuk publik,” kata Barbara Hayat Ruiz-Bejarano, Direktur Hubungan Internasional Institut Halal Spanyol.
Yang pasti, memang banyak penduduk muslim Spanyol yang tidak ingin berupaya membuat bekas masjid itu kembali menjadi masjid. “Itu bukan lagi milik kita,” ucap Presiden Yayasan Masjid Sevilla Ibrahim Hernandez.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo