PERLAKUAN sewenang-wenang terhadap penahanan seorang tersangka sejak diberlakukannya KUHAP, sebenarnya tidak mesti terjadi lagi. Peraturan itu jelas memberi batasan waktu bagi polisi, Jaksa, maupun hakim, bila mereka menahan terdakwa. Namun, tampaknya maksud baik inilah yang ternyata sering disalahgunakan para tersangka. Di Jepara, Jawa Tengah, misalnya, tiga terdakwa dalam kasus penganiayaan sadistis di Desa Mindahan kini membuat pusing penegak hukum di sana. Mereka menghilang ketika akan dieksekusi. Ketiganya, November 1986, terpaksa dilepaskan jaksa dari tahanan karena masa penahanan habis dan Mahkamah Agung terlambat memperpanjang surat penahanan. Kasus yang terjadi di Jepara itu memang pantas membuat penegak hukum di sana sibuk. Sebab, pembunuhan yang dilakukan Sodikun dan kawan-kawan mungkin tidak ada duanya. Sodikun, kepala desa, bersama kedua terhukum lainnya terbukti telah menganiaya Sapar, seorang yang disangka maling ayam, dengan cara yang tidak terbayangkan manusia biasa. Sebelah tangan Sapar diikatkannya ke pohon, sementara tangan yang sebelah ditariknya dengan truk. Akibatnya? Tubuh Sapar berderak ketika ajal meninggalkannya (TEMPO, 20 Juli 1986). Pengadilan Negeri Jepara memvonis Sodikun dan Muhadi 5 tahun, sementara Muslim 3 tahun penjara. Di pengadilan banding putusan buat Muhadi dan Muslim diperkuat sementara Sodikun diperberat menjadi 7 tahun. Perkara pun memasuki tingkat kasasi. Menurut KUHAP, instansi itu berwenang menahan terdakwa selama 50 hari dan bisa memperpanjang selama 60 hari sampai vonisnya turun. Tapi begitulah, setelah masa penahanan 50 hari lewat, vonis belum kunjung turun, sementara perpanjangan penahanan rupanya terlupa. Akibatnya, itu tadi, Sodikun dan kawan-kawannya terpaksa dilepaskan jaksa dari tahanan, 22 November 1986. Baru dua minggu setelah mereka dibebaskan, surat perpanjangan penahanan dari Mahkamah Agung sampai ke Jepara. Celakanya, di mana terdakwa? Ketiganya sudah menghilang dari desanya. Baru tiga bulan kemudian, pelaku utama, Sodikun, bisa ditangkap lagi ketika mengisi bensin di salah satu kios. Tapi Muhadi dan Muslim lenyap bagai ditelan bumi. Urusan semakin rumit ketika putusan Mahkamah Agung turun, April 1987, yang isinya menolak permohonan kasasi terdakwa. Artinya, vonis pengadilan tinggi diperkuat peradilan tertinggi itu, dan ketiga terhukum harus menjalani hukuman. Itulah sebabnya, sampai kini pihak kejaksaan masih sibuk mencari Muhadi dan Muslim. Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jepara, Abdul Madjid, menyesalkan hilangnya para terdakwa. Ia beranggapan, itu terjadi karena keterlambatan putusan MA. "Demi jalannya hukum, hendaknya setiap hakim yang memeriksa perkara memperhitungkan masa berlakunya penahanan," katanya. Namun, ia paham, banyak kasus yang harus ditangani MA. "Kabar yang kami terima, di sana kini ada sekitar 15 ribu perkara yang perlu ditangani," tuturnya. Di Kuningan, Jawa Barat, akibat masa penahanan dibatasi, sebuah sidang pembunuhan "tukang teluh" itu kini terkatung-katung. Dua terdakwa menghilang karena ia mendapat kesempatan lepas dari tahanan juga karena masa penahanan habis - ketika perkaranya tengah berlangsung. Dua tersangka pembunuhan - Dadang (30 tahun) dan Rochman (32 tahun) juga dilepaskan dari tahanan awal Desember lalu setelah hak pengadilan negeri untuk menahan selama 90 hari habis. Sementara itu persidangan berlarut-larut karena sebagian besar saksi yang sedesa dengan kedua terdakwa - dan setuju dengan tindakan mereka - tidak memenuhi panggilan hakim. Kedua warga Sagaranten, Kuningan, ini 10 Mei 1987 disangka membunuh Sahruman, sekretaris desa, yang dibenci penduduk karena dipercayai sebagai tukang teluh yang suka memeras dan memperkosa istri orang. Ia memang mati dikeroyok massa. Tapi polisi yang menyidik kasus itu menduga Dadang dan Rochman pelaku utama kasus itu, kendati seluruh warga Desa Sagaranten mengaku sebagai pelaku pembunuhan Sahruman. "Selama tiga hari berturut-turut, penduduk Sagaranten, laki perempuan, tua dan muda, termasuk wanita menyusui, datang ke Polsek Ciwaru, mengaku pembunuhnya," ujar Hartono, tukang ojek di sana. Aksi solidaritas semacam itu berlanjut ketika perkara disidangkan hakim. Tak seorang saksipun bersedia hadir di pengadilan ketika sidang berlangsung. Akibatnya, Dadang dan Rochman terpaksa dilepaskan dari tahanan. Dan ia pun minggat. Lebih celaka lagi, kini penduduk desanya mengadakan gerakan tutup mulut, dan tak seorang pun mengaku tahu di mana Dadang dan Rochman berada. Sebenarnya, terdakwa atau terhukum yang lolos karena masa penahanan habis sudah dipelopori suami-istri Cut Mariana dan Bachtiar, terpidana kejahatan narkotik di Medan pada 1984. Dua penjahat narkotik itu, yang dihukum pengadilan banding 15 dan 10 tahun penjara karena memperdagangkan 161 kg ganja, terpaksa dilepaskan dari tahanan ketika kasusnya tengah diproses di tingkat kasasi. Mahkamah Agung belakangan mengukuhkan putusan pengadilan banding. Tapi suami-istri itu meminta penangguhan pelaksanaan hukuman, karena mengajukan grasi. Ternyata, begitu grasinya ditolak Presiden, mereka telah raib entah ke mana. Memang sesempurna apa pun produk hukum, selalu ada lubang-lubangnya. Dan pelaku kejahatan selalu bisa memanfaatkan lubang itu, sesempit apa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini