Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Nola tilaar dan vonis saling-silang

Rumah nola tilar di cilandak dieksekusi sebagai barang sitaan. dalam perkara perdata ia berada di pihak yang menang. sedang dalam pidana, jurgen kunzel yang menang dan ny. eugene divonis 6 bulan penjara.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYANYI Nola Tilaar, 28 tahun, akhirnya harus hengkang dari rumahnya di Cilandak, Jakarta. Sebelumnya, rumah di atas tanah 400 m2 itu sudah dua kali tak juga bisa dikosongkan secara paksa oleh petugas kejaksaan, yang dibantu polisi. Sabtu pekan lalu barulah eksekusi atas putusan pidana Mahkamah Agung, yang memerintahkan penyerahan rumah di Cilandak itu pada bekas pasangan kumpul kebo Nola, Dr. Jurgen Kunzel, terwujud. Semula, Nola, yang pernah tenar lewat lagu Dansa Reggae, bersikukuh mempertahankan rumah yang akan jadi miliknya itu. Sebab, berdasarkan putusan perdata pengadilan banding, rumah tersebut milik ibunya, Nyonya Eugene Tilaar Maengkom. "Satu langkah pun saya tak mau hengkang dari rumah ini. Ini satu-satunya milik saya," teriak Nola sembari menangis histeris. Tak ayal lagi, ketegangan pun berkali-kali terjadi di antara petugas dan Nola, yang didampingi sanak-saudaranya. Sementara itu, penduduk sekitarnya berkerumun menyaksikan upaya eksekusi itu. Nola, yang kedua matanya sembab karena kerap kali menangis, tetap tak mau bergeming. Padahal, penyanyi asal Manado ini sempat jatuh terjerembab sewaktu didesak terus pada usaha eksekusi yang ketiga. Hampir tiga jam petugas kejaksaan belum berhasil membujuk pihak Nola. Salah seorang keluarga Nola mencoba kompromi dengan Jurgen Kunzel. Tapi Jurgen, yang menyaksikan eksekusi itu, tegas menjawab, "Tak ada jalan lain lagi, habis sudah. Problem ini sudah lebih enam tahun. Saya amat kesal," kata lelaki berusia 41 tahun itu, yang mengajukan permohonan eksekusi awal tahun ini. Akhirnya, dengan mengendarai sedan Citroen kuning, Nola bersama barang-barangnya meninggalkan rumah tersebut, tanpa menandatangani berita acara serah terimanya. Rumah berpagar besi warna hitam dengan pintu gerbang berinisial NT itu dibeli pada tahun 1980, bersamaan dengan sebuah rumah di Cempaka Putih, yang selanjutnya digadaikan pada Bank Rama. Ketika kedua rumah seharga Rp 210 juta itu dibeli, Nola masih berada di Jerman Barat, hidup bersama Jurgen Kunzel, yang dikenalnya sejak tahun 1978. "Kami berniat menikah dan sepakat akan membeli rumah di Indonesia. Uangnya, ya, dari hasil saya menyanyi, yang disimpan dan diatur Jurgen, selaku manajer saya," tutur Nola. Pelunasan pembayaran rumah tersebut dilakukan sejoli itu melalui ibu Nola, yang berada di Jakarta. Hingga sertifikat tanah kedua rumah itu atas nama si ibu. "Rumah Cilandak ini saya renovasi sampai menghabiskan biaya Rp 90 juta," ujar Nola, yang mengenakan kaus biru tua lengan pendek. Belakangan, hubungan Nola dengan Jurgen putus. Nola balik ke Indonesia. Jurgen pun menguntit, bukan untuk rujuk. Tapi malah memperkarakan Nyonya Eugene, pidana dan perdata. "Dulu saya bermaksud membuka usaha real estate di Jakarta. Karena saya warga asing, kami sepakat mengadakan joint venture. Rumah ini salah satu bentuk investasinya," ujar Jurgen, yang kini berada di Indonesia sebagai turis. Malah dalam akta Notaris Hartati Marsono, September 1981, rumah itu disebutkan milik Profunda SA/Jurgen Kunzel. Namun, setelah kedua rumah lunas dibayar, ternyata Nyonya Eugene mematikan akta itu dan membuat akta baru, yang menunjuk kepemilikan atas namanya. "Rumah ini sekarang kembali ke saya. Rencananya akan saya jual," kata Jurgen, yang mengaku bekerja sebagai penulis buku-buku agama. Karena itu, Jurgen menuding Nyonya Eugene melakukan penggelapan atas kedua rumah tadi. Tapi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, November 1983, Nyonya Eugene diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Namun, putusan ini, di tingkat kasasi, ternyata diperbaiki. Majelis Hakim Agung yang dipimpin Soerjono balik menghukum Nyonya Eugene dengan 6 bulan penjara, masa percobaan setahun. Kedua rumah itu pun diperintahkan agar dikembalikan pada Jurgen. Atas putusan itu, Nyonya Eugene mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK), Oktober 1986, tapi ditolak. Keputusan pengadilan perdata terjadi sebaliknya pada gugatan Jurgen atas kepemilikan rumahnya. Ia dikalahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Di pengadilan banding, putusan perdata itu juga dikuatkan April 1984. Sesuai dengan bukti aktanya, Nyonya Eugene dinyatakan sebagai pemilik kedua rumah sengketa. "Hak kepemilikan ditentukan dalam hukum perdata, bukan pidana," kata Hakim Tinggi Parman Soeparman, yang memutuskan perkaranya. Putusan ini menjadi berkekuatan tetap, karena Jurgen tak mengajukan kasasi. Adanya dua putusan pidana dan perdata yang sama-sama berkekuatan tetap itu membuat Nola dan ibunya tak habis pikir. Sebab, putusan mana yang diakui kepastian hukumnya? Kalau yang perdata, tentu saja melegakan. Tapi kenyataannya? Pihak kejaksaan tetap mengeksekusi putusan pidananya. Hingga rumah itu dikembalikan pada Jurgen, yang warga asing dan tak diperkenankan Undang-Undang Pokok Agraria memiliki tanah di sini. "Berarti tak ada kepastian hukum," ujar Junivert Girsang, pengacara Nyonya Eugene. Bahkan permohonan penangguhan eksekusi secara eksepsional ke MA oleh tim pengacara Nola yang lain, diketuai Sophian Kasim, belum ada tanggapan. Menurut Ketua Muda Bidang Pidana Umum Mahkamah Agung, Adi Andojo Soetjipto, perkara pidana dan perdata itu memang berdiri sendiri-sendiri. Tapi bukan berarti kedua putusan itu kontradiksi. "Barang bukti perkara pidana dikembalikan pada yang berhak. Kalau ada orang lain yang juga merasa berhak, bisa mengajukan bantahan secara perdata," ujar Adi Andojo. Bagi kejaksaan, selaku instansi pelaksana putusan, putusan pidana peradilan tertinggi itu bagimanapun juga harus dipatuhi. Apalagi, "Perkara perdatanya juga sudah dipertimbangkan dalam putusan PK pidananya," kata sumber TEMPO di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Eksekusi itu pun sebenarnya sudah terulur lama, lantaran Nyonya Eugene selalu berdalih akan menyelesaikan langsung dengan Jurgen. Happy Sulistyadi, Muchsin Lubis, dan Sidartha Pratidina (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus