Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seluas mata memandang hanya ada kebun sawit yang berbukit. Kamis siang pekan lalu, tak terlihat penduduk yang melintas di jalan yang membelah perkebunan Muara Batang Gadis, Mandailing Natal, Sumatera Utara, itu. Hanya truk pengangkut biji sawit yang sesekali hilir-mudik dengan deru mesin yang bergemuruh melintasi jalan yang belum beraspal tersebut.
Menuju area sawit di Desa Suka Makmur, sejumlah penjaga yang berdiam di sebuah pos penjagaan melarang siapa pun yang tak jelas kepentingannya masuk ke sana. Suka Makmur inilah satu-satunya jalan masuk "resmi" memasuki kebun sawit. Zulham Nasution, penjaga portal, juga melarang orang asing masuk ke perkebunan. Menurut dia, kawasan itu milik Koperasi Pengembangan Universitas Sumatera Utara (KP USU), bukan milik umum. "Hanya orang KP USU yang boleh masuk," katanya.
Setahun belakangan, KP USU giat membuka lahan di area tersebut. Sudah sekitar 400 hektare hutan yang mereka babat untuk dijadikan kebun sawit. Saat ini mereka sudah memasuki tahap pembibitan. Rencananya bibit akan disemai di lahan 10 ribu hektare yang berada di empat desa, yakni Desa Suka Makmur, Manuncang, Tabuyung, dan Singkuang Dua. Namun, di mata pemerintah setempat, penggarapan ini dinyatakan ilegal. "Mereka tak punya izin," ujar Bupati Mandailing Natal Hidayat Batubara kepada Tempo.
Pada 1998, Kementerian Kehutanan mengeluarkan izin prinsip, izin pengelolaan lahan, kepada KP USU untuk menggarap hutan di Mandailing Natal buat kebun sawit. Sebelum pemecahan wilayah pada 1999, daerah ini masih bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Kemudian Badan Pertanahan Nasional Tapanuli Selatan mengeluarkan izin lokasi seluas 10 ribu hektare. Baru pada 2004, KP USU mengajukan izin usaha perkebunan dan disetujui Bupati Mandailing Natal kala itu, Amru Daulay. Izin ini berlaku hingga Januari 2012.
Bupati M. Hidayat Batubara, yang menggantikan Amru, pada Mei 2012 tak memperpanjang izin. Sebulan kemudian ia malah membuat surat keputusan mencabut izin usaha KP USU di kabupaten yang berbatasan langsung dengan Sumatera Barat itu. Padahal traktor, backhoe, dan alat-alat berat lain kadung didatangkan ke sana. KP USU menggugat SK itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Medan agar dibatalkan. Lewat pengacara Adnan Buyung Nasution, KP USU memenangi gugatan ini pada November 2012.
Saat kasus ini masih di pengadilan, Hidayat melaporkan KP USU ke Kepolisian Resor Mandailing Natal karena pada saat yang sama traktor dan alat-alat berat milik KP USU tetap membabat hutan. Aktivitas ini, kata Hidayat, adalah pelanggaran berat. "Itu penebangan liar," ujar bupati yang menang mutlak dalam pemilihan kepala daerah Mandailing Natal pada 2011 ini.
Pada 19 Maret, Kepala Satuan Reskrim Polres Mandailing Natal Ajun Komisaris Arifin Fachreza mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara kasus ini. Kepolisian menganggap ini bukan kasus pidana, melainkan pelanggaran administrasi. "Lima saksi ahli menyatakan hal itu," katanya. Alasan lain, ujar Arifin, merujuk pada putusan PTUN yang membatalkan SK Bupati Mandailing Natal yang mencabut izin usaha perkebunan KP USU.
Kalah dua kali tak membuat Hidayat putus asa. Ia mengajukan permohonan banding atas putusan PTUN Medan. Selama proses ini, ujar dia, seharusnya KP USU tak boleh beraktivitas di Muara Batang Gadis karena tanah itu dalam status quo. Alasan mencabut izin perkebunan KP USU, katanya, koperasi yang diisi bekas dosen dan pejabat di kampus negeri itu telah bertahun-tahun menelantarkan lahan tersebut.
Menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional Mandailing Natal Dismanto Tarigan, BPN pusat memang pernah mengeluarkan pengukuran resmi atau kadastral di atas lahan yang hendak dikelola KP USU. Kadastral ini kemudian menjadi rujukan pengeluaran izin prinsip dan izin usaha perkebunan. Tapi KP USU sejak 1999 hingga 2001 tak juga membebaskan lahan ini, yang masih digarap warga, yang kebanyakan menanaminya dengan pohon karet. "Hak KP USU sudah gugur," katanya.
Pemerintah Mandailing Natal juga menuding KP USU hingga kini tak juga menggelar proyek kebun plasma kepada warga sekitar. Padahal Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan mewajibkan syarat ini. Salah seorang warga Muara Batang Gadis, Efe Roni Hia, mengatakan delapan hektare tanah garapan miliknya yang selama ini ditanami pohon karet tak jelas nasibnya karena berada di area yang diklaim KP USU. "Sampai sekarang tidak ada ganti rugi," ujarnya.
Ketua KP USU Chairuddin P. Lubis mengatakan pihaknya bertujuan mulia dengan mengelola lahan di Mandailing Natal. Nantinya, bila perkebunan ini sudah menghasilkan, manfaatnya akan dikembalikan ke masyarakat dengan akan dibangunnya fasilitas kesehatan, pendidikan, dan perekonomian warga di area itu, meski selama bertahun-tahun pihaknya menemui banyak hambatan. "Kepemilikan warga di lahan empat desa itu tumpang-tindih," kata mantan Rektor USU ini.
Rebutan tanah di Mandailing Natal itu kemudian berkembang menjadi isu bahwa kedua pihak sama-sama ditunggangi perusahaan sawit raksasa. Hidayat menuding Asian Agri Group yang sebenarnya bernafsu menguasai lahan itu. KP USU, ujar dia, bukan koperasi kaya, apalagi strukturnya terpisah dengan kampus. "Asian Agri menawarkan suap lewat seseorang dan meminta anggota DPR untuk merayu saya agar mau bekerja sama," kata Hidayat.
Tudingan ini dibantah Lidya Veronica Ginting dari Media Relation Asian Agri Group. Ia mengakui pihaknya memang bekerja sama dengan KP USU untuk menyokong kesejahteraan para dosen. Ia membantah telah menawarkan suap. "Kami selalu menerapkan standar manajemen yang baik dan taat peraturan," ujarnya.
Kabar miring juga menerpa Hidayat, yang sejak dulu menjadi pengusaha sawit. Sumber Tempo mengatakan dia ngotot mencabut izin KP USU karena ada pihak lain yang juga ngebet untuk mengambil lahan di sana. Perusahaan itu adalah PT Agro Lintas Nusantara. Perusahaan ini disebut-sebut memiliki hubungan erat dengan perusahaan agrobisnis besar Malaysia. PT Agro bahkan berinisiatif memberi sangu Rp 1 juta per keluarga kepada 1.900 keluarga yang lahannya dikuasai KP USU.
Komisaris PT Agro Irawan Lau mengatakan perusahaannya memiliki lahan sawit 5.200 hektare di Mandailing Natal. Ia tak memungkiri berhasrat menguasai lahan yang diklaim milik KP USU tersebut, termasuk membagikan uang untuk merebut hati masyarakat. "Tanah itu bukan kami rebut karena tidak ada izin yang resmi di atas lahan yang diklaim KP USU," kata Irawan. Perang untuk memperebutkan lahan sawit ini bakal panjang karena kedua pihak tampaknya sama-sama memiliki cukup "amunisi".
Mustafa Silalahi, Soetana Monang Hasibuan (Mandailing Natal)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo