Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota staf Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu muncul kembali, mengingatkan Bagus Irawan bahwa sidang segera dimulai. Tapi, Selasa pekan lalu, sang hakim tetap tak beranjak dari kursinya. Dari balik meja yang terletak di sudut ruang kerjanya, Bagus seperti menumpahkan kekesalan atas apa yang sedang ia alami. ¡±Ini pembunuhan karakter,¡± katanya kepada Tempo. "Karier saya 25 tahun sebagai hakim tak ada artinya," dia melanjutkan.
Siang itu Bagus memang sedang tak bergairah. Desas-desus di kantor dan berita di media beberapa hari terakhir sangat mengusik pikirannya. Apalagi, belakangan, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali menegaskan bahwa empat hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah dihukum. "Ada sanksi keempatnya dikeluarkan," ujar Hatta, Senin pekan lalu.
Bersama Bagus Irawan, hakim yang kini namanya menjadi pembicaraan ramai di kalangan hakim tersebut adalah Agus Iskandar, Noer Ali, dan Sutoto Adiputro. Tiga orang pertama adalah majelis hakim yang memutus pailit PT Telkomsel tahun lalu. Agus Iskandar ketuanya. Yang lain anggotanya. Adapun Sutoto hakim pengawas putusan pailit tersebut.
Mahkamah Agung mencabut lisensi hakim niaga mereka. Keempatnya memang masih bisa "memegang palu" kasus pidana dan perdata umum. Namun mereka terlarang mengadili kasus-kasus di Pengadilan Niaga. "Ini termasuk sanksi berat. Kami dianggap tak mampu menjalankan tugas," kata Bagus.
Sanksi berikutnya, nah ini yang juga membuat mereka "terguncang": dipindahkan ke luar Jawa. Bagus dimutasi ke Mataram, Agus ke Pekanbaru, Noer ke Palu, dan Sutoto ke Jambi. "Itu sama saja dengan dibuang," ucap kolega Bagus yang tak mau disebut namanya. Selama ini, kata hakim senior itu, bertugas di Jakarta menjadi incaran hakim daerah yang ingin kariernya lebih moncer. Masuk Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bisa disebut jenjang mendapat tiket untuk karier lebih tinggi.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Ridwan Mansyur menerangkan, keempat hakim itu dikenai sanksi karena berperilaku tak profesional. "Karena unprofessional conduct." Mereka, ucap Ridwan, menetapkan biaya kurator dengan melanggar peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Mereka juga melanggar Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. "Ini peringatan bagi hakim lain agar berhati-hati," ujarnya.
Gugatan pailit yang diadili Bagus dan kawan-kawan merupakan buntut sengketa PT Telkomsel dan PT Prima Jaya Informatika. Pada 2011, dua perusahaan ini meneken kontrak kerja sama. Perusahaan telekomunikasi pelat merah itu menunjuk Prima sebagai distributor Kartu Prima—kartu perdana dan kartu voucher isi ulang khusus bergambar atlet nasional. Selama dua tahun masa kontrak, Prima dibeÂbani target menjual minimal 10 juta lembar kartu perdana dan 120 juta lembar kartu isi ulang. Prima pun bertugas membentuk Komunitas Prima dengan anggota setidaknya 10 juta pelanggan.
Baru berjalan setahun, hubungan Telkomsel dan Prima Jaya retak. Telkomsel menilai Prima tak mencapai target yang disepakati. Soalnya, Prima hanya bisa menjual 524 ribu lembar kartu perdana dan voucher isi ulang. Selain itu, Prima dituding gagal membangun komunitas pelanggan Kartu Prima. Telkomsel pun memutus kontrak dengan Prima.
Prima meradang. Perusahaan ini menuding kesalahan justru ada di pihak Telkomsel. Menurut Prima, target tak tercapai lantaran Telkomsel tak mau mengabulkan dua kali pemesanan (purchase order) voucher isi ulang senilai Rp 5,6 miliar pada Juni 2012. Karena pesanan mereka tak dikabulkan, Prima menuding Telkomsel berutang Rp 5,6 miliar.
Setelah mengirimkan dua surat teguran (somasi) kepada Telkomsel, pertengahan Juli tahun lalu, Prima mendaftarkan gugatan pailit ke Pengadilan Niaga. MelaÂdeni gugatan itu, Telkomsel menunjuk kuasa hukum dari kantor pengacara Amir Syamsuddin dan kawan-kawan. Amir, pengacara senior, kini menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dua bulan kemudian, majelis hakim Pengadilan Niaga mengeluarkan putusan mengejutkan: menyatakan Telkomsel pailit. Untuk melaksanakan putusan itu, hakim menunjuk Feri S. Samad dan kawan-kawan sebagai kurator. Feri dan timnya diusulkan Prima Jaya. Majelis hakim pun menunjuk Sutoto Adiputro sebagai hakim pengawas putusan pailit.
Tak terima dipailitkan, Telkomsel mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Kali ini mereka menunjuk kuasa hukum baru, Ricardo Simanjuntak dan kawan-kawan. Selain dikenal sebagai pengacara, Ricardo menjabat Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia.
Dalam memori kasasinya, Telkomsel, antara lain, mendalilkan utang Rp 5,6 miliar yang diklaim Prima mengada-ada. Prima mengklaim utang karena Telkomsel menolak dua purchase order mereka. Menurut Telkomsel, utang-piutang itu tak pernah terjadi. Telkomsel tak memenuhi kedua pesanan itu justru karena Prima belum membayar pesanan voucher pada Mei 2012 senilai Rp 4,8 miliar.
Pada 21 November 2012, Mahkamah Agung membatalkan putusan pailit Pengadilan Niaga. Tapi pihak yang bersengketa, juga kurator, baru menerima salinan putusan pada 10 Januari 2013.
Ketua hakim kasasi, Abdul Kadir Mappong, menilai hakim Pengadilan Niaga salah menerapkan hukum. Mahkamah lantas mengadili sendiri kasus itu dan menolak permohonan pailit Prima. Hakim kasasi mewajibkan Prima menanggung biaya perkara sebesar Rp 5 juta. Namun hakim kasasi tak menyinggung sedikit pun biaya jasa kurator. Padahal, menurut Pasal 17 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, majelis hakim yang membatalkan putusan pailit yang menetapkan biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator.
Sehari setelah para pihak menerima salinan putusan kasasi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2013 yang mengatur imbalan bagi kurator. Peraturan ini mencabut keputusan Menteri Kehakiman sebelumnya—terbit pada 1998—yang juga mengatur honor bagi kurator.
Pasal 2 peraturan baru antara lain menyebutkan, bila permohonan pailit ditolak di tingkat kasasi atau peninjauan kembali, banyaknya imbalan ditetapkan hakim. Imbalan bagi kurator lalu dibebankan kepada pemohon pailit (kreditor). Sedangkan menurut peraturan lama, imbalan jasa kurator dibebankan kepada debitor alias termohon pailit.
Soal siapa yang menanggung biaya kurator, Undang-Undang Kepailitan pun menyimpan peluang beda tafsir. Menurut pasal 17 undang-undang itu, biaya kurator dibebankan kepada pemohon pailit (kreditor) atau kepada pemohon dan debitor.
Menteri Amir tak membantah jika peraturan baru itu disebut lebih melindungi Telkomsel. Kepada Tempo beberapa waktu lalu, dia mengaku mengeluarkan peraturan itu setelah diingatkan Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto. Menurut Amir, Kuntoro meminta dia segera menyempurnakan peraturan imbalan kurator agar Telkomsel tak rugi besar.
Mengklaim bekerja sejak Pengadilan Niaga menyatakan Telkomsel pailit, pada 22 Januari 2013, Feri dan kawan-kawan menuntut penetapan biaya kurator kepada Pengadilan Niaga. Mereka meminta hakim menetapkan biaya kurator satu persen dari aset Telkomsel—sekitar Rp 58,7 triliun.
Bila merujuk pada peraturan menteri, menurut Feri, imbalan kurator untuk perusahaan dengan aset di atas Rp 500 miliar adalah dua persen. "Kami tak meminta imbalan maksimal. Yang penting, pengeluaran kami diganti," ujar Feri. Sejak mengurus pailit Telkomsel, Feri mengaku sudah mengeluarkan dana sekitar Rp 250 juta.
Pada 31 Januari, hakim Agus dan kawan-kawan menetapkan biaya kurator Rp 293,6 miliar—setengah persen dari aset Telkomsel. Pengadilan Niaga lantas membagi rata beban biaya kurator antara Telkomsel dan Prima. Masing-masing diminta membayar Rp 146,8 miliar.
Dengan alasan berbeda, Prima Jaya dan Telkomsel menolak membayar imbalan kurator. "Tagihan kami saja tak dibayar, dari mana kami mau bayar fee itu?" kata pengacara Prima Jaya, Kanta Cahya, kepada Tempo beberapa waktu lalu.
Pada 11 Februari lalu, Feri dan kawan-kawan mencoba menagih imbalan kurator kepada Telkomsel. Feri memberi Telkomsel waktu empat hari. Namun permintaan itu ditolak mentah-mentah. "Mengapa klien kami yang harus bayar?" ujar kuasa hukum baru Telkomsel, Andri W. Kusumah, kala itu. Dia pun merujuk pada peraturan menteri baru, yang membebankan imbalan kurator kepada pemohon pailit.
Sikap Telkomsel menolak membayar biaya kurator disokong berbagai pihak. Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, misalnya, menyarankan Telkomsel melawan kurator yang meminta imbalan jasa "selangit" itu. Adapun Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana meminta Komisi Yudisial memeriksa hakim yang menunjuk kurator pailit PT Telkomsel. Dukungan serupa juga mengalir dari kalangan politikus Senayan.
Laporan soal para hakim yang memutus aneh kasus Telkomsel itu juga sudah masuk Komisi Yudisial, tapi Komisi tak bisa memeriksa. Menurut Wakil Ketua Komisi Yudisial Imam Anshori Saleh, laporan tersebut tak bisa ditindaklanjuti karena Komisi tak berhak memeriksa putusan hakim. "Kalau diperiksa Mahkamah Agung, itu justru bagus," kata Imam.
Mahkamah memang yang turun tangan. Awal Maret lalu, Badan Pengawas Mahkamah Agung memanggil empat hakim niaga tersebut. Tim Badan Pengawas pun mencecar Bagus dan kawan-kawan soal penetapan imbalan kurator. Bagus dan ketiga kawannya menyatakan, saat menetapkan persentase imbalan kurator, mereka mengacu pada peraturan menteri dan UU Pailit. "Kami siap dihukum bila menentukan fee di atas dua persen," ujar Bagus.
Rupanya penjelasan Bagus dan kawan-kawan tak bisa meyakinkan Badan Pengawas dan petinggi Mahkamah Agung. Mereka menilai para hakim itu salah menerapkan aturan sekaligus tidak profesional. Hanya, Mahkamah tak melihat dan tak menemukan ada imbalan di balik putusan kontroversial tersebut. Alhasil, para hakim itu pun hanya terkena sanksi "dibuang" dan tak lagi diizinkan menangani kasus sengketa niaga. "Ya, kami tidak mencium ada bau suapnya," kata juru bicara Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur.
Jajang Jamaludin, Muhammad Rizki, Febriyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo