Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT paripurna laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksana tugas Wali Kota Malang, Jawa Timur, Sutiaji, di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada Senin pekan lalu batal digelar. Musababnya, dua puluh dua anggota DPRD Malang terbang ke Jakarta memenuhi panggilan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK hendak memeriksa mereka sebagai saksi untuk Mochamad Anton, Wali Kota Malang nonaktif yang menjadi tersangka suap pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan kota itu pada 2015.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DPRD Malang saat itu hanya beranggotakan 27 orang. Pada April lalu, 18 anggota DPRD periode 2014-2019 lain ditahan KPK karena menjadi tersangka pengesahan anggaran yang menjerat Anton. Komisi juga menetapkan Ya’qud Ananda Gudban dari Partai Hanura sebagai tersangka. Ya’qud mundur sebagai anggota DPRD karena mencalonkan diri sebagai Wali Kota Malang pada Februari lalu. Lima bulan kemudian, Nirma Chris Desinidya menggantikan Ya’qud. Menurut Tata Tertib DPRD Malang, sidang Dewan memenuhi kuorum jika dihadiri paling sedikit dua pertiga anggota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mengatasi hal ini, Kementerian Dalam Negeri membuat diskresi rapat Dewan di Malang tetap mencapai kuorum kendati hanya dihadiri 27 orang. Dengan 22 anggota Dewan pergi ke Jakarta pada Senin, tinggal tersisa 5 orang. "Keputusan tak bisa diambil," ujar Wakil Ketua DPRD Malang Abdurrahman, Kamis pekan lalu.
Abdurrahman tidak tersangkut kasus ini karena ia menjadi anggota DPRD Malang pada Maret 2017. Ia masuk menggantikan Rusmuji, koleganya di Partai Kebangkitan Bangsa, yang meninggal. Satu lagi Nirma Chris Desinidya, yang menggantikan Ya’qud Ananda Gudban.
Adapun Subur Triono dari Partai Amanat Nasional pernah diperiksa KPK dan masih berstatus saksi. Dua orang sisanya adalah politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Priyatmoko Oetomo dan Tutuk Haryani. KPK pun pernah memeriksa mereka. Pada Senin pekan lalu, penyidik juga memanggil dua orang ini. Keduanya tidak datang karena tengah sakit.
Setelah memeriksa 22 anggota Dewan itu, pada hari yang sama KPK menetapkan mereka sebagai tersangka. Bukan hanya itu, KPK langsung menahan mereka di lima rumah tahanan. Dengan penahanan ini, Abdurrahman mengatakan ia terpaksa membatalkan semua agenda rapat yang telah dijadwalkan Badan Musyawarah DPRD. Apalagi, kata dia, dari lima orang yang tersisa, hanya tiga anggota DPRD yang aktif berkantor karena dua lainnya sedang sakit. "Tak ada rapat kerja," ujarnya.
Pelaksana tugas Wali Kota Malang, Sutiaji, mengatakan penahanan para anggota Dewan itu membuat pembahasan APBD Perubahan 2018 dan Rancangan APBD 2019 berhenti di tengah jalan. Wakil Wali Kota Malang ini khawatir kondisi itu bisa berdampak pada pelayanan terhadap masyarakat. "Jika APBD terbengkalai, akan mempengaruhi pembangunan dan anggaran keuangan," kata politikus Demokrat ini. Bersama Sofyan Edy Jarwoko, Sutiaji memenangi pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Malang. Keduanya akan dilantik pada 20 September mendatang.
Abdurrahman mengatakan Sekretariat DPRD telah bersurat kepada semua partai agar mempercepat proses penggantian antarwaktu kadernya yang tersangkut kasus korupsi di KPK. Ia mengatakan partai-partai seharusnya mempercepat proses penggantian karena mereka dibatasi aturan penggantian antarwaktu, yang hanya bisa dilakukan paling lambat enam bulan sebelum masa kerja DPRD periode 2014-2019 usai. Masa tugas mereka berakhir pada Agustus tahun depan.
Menurut Abdurrahman, partainya tengah menyiapkan empat nama pengganti koleganya yang terjerat korupsi. "Sedang dibahas," ujar anggota Dewan Syura PKB Kota Malang ini.
PDI Perjuangan juga tengah membahas rencana penggantian anggotanya di DPRD Malang. Dewan Pengurus Pusat PDIP turun tangan meminta pengurus daerah mempercepat pemilihan nama. "DPP PDIP menginstruksikan segara mengambil langkah taktis agar roda pemerintahan tak terganggu,"?kata Ketua PDIP Kota Malang I Made Rian Diana Kartika.
SUBUR Triono mengernyitkan dahi ketika mengingat-ingat lagi pertama kali ia menerima uang dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Malang M. Arief Wicaksono, Juli 2015. Ketika itu, menjelang Idul Fitri, Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional di DPRD Malang, Mohan Katelu, menghubungi politikus PAN ini. Lalu Mohan meminta Subur agar menemui Arief di kediamannya.
Subur betul-betul memenuhi permintaan Mohan tersebut. Saat itu pula Arief memberikan uang sebesar Rp 12,5 juta kepada Subur. "Waktu itu saya anggap pemberian uang tersebut untuk tunjangan hari raya karena menjelang Lebaran," ucap Subur saat ditemui di ruangan Komisi A DPRD Kota Malang, Jumat pekan lalu.
Setelah menerima uang dari Arief, Subur mendapat informasi bahwa beberapa koleganya sesama anggota Dewan ternyata menerima uang yang jumlahnya jauh lebih besar. Menurut kabar yang diperolehnya, setiap anggota Dewan menerima sekitar Rp 50 juta untuk pengesahan APBD Perubahan 2015. Dewan kerap menyebut uang ini sebagai duit pokok pikiran atau pokir.
Merasa ada perlakuan yang tidak adil, Subur kesal. Ia pun mengajukan protes kepada Arief. Setelah protes tersebut, Arief akhirnya memberinya uang lagi. "Pak Arief menambah Rp 5 juta," ujar Subur.
Setelah mendapat tambahan dari Arief, Subur tak pernah lagi menggubris masalah pemberian uang tersebut. Ia memilih diam walau jumlahnya masih lebih sedikit dibanding yang diterima anggota Dewan lain. Subur mulai memikirkannya lagi ketika tiba-tiba dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi, awal tahun lalu. Saat itu tim penyelidik KPK mengatakan kepadanya sedang memeriksa dugaan penerimaan uang oleh anggota DPRD Kota Malang.
Subur mengaku tim KPK sampai memperlihatkan sejumlah bukti dugaan penerimaan uang oleh anggota Dewan itu. Bukti-bukti tersebut antara lain berupa potongan rekaman percakapan sejumlah orang yang membicarakan adanya permintaan dan pemberian uang kepada anggota DPRD.
Karena bukti-bukti yang diperlihatkan tim penyelidik tersebut, Subur gemetaran dan mulai dilingkupi rasa takut. Ia akhirnya memilih mengembalikan uang yang diterimanya dari Arief Wicaksono sebesar Rp 13 juta kepada KPK. "Saya keder dan takut sehingga mengembalikannya," ucapnya.
Dari pemeriksaan itu, Subur juga mengetahui bahwa banyak anggota DPRD Malang yang dimintai keterangan tim penyelidik KPK. Dia sempat membujuk teman-temannya agar mengembalikan uang yang diterima ke KPK. Tapi semuanya enggan menuruti ajakan Subur ketika itu. Subur menduga, karena mengembalikan lebih awal, ia terlepas dari sangkaan korupsi di KPK.
Tak lama berselang setelah pemeriksaan Subur, KPK menetapkan Arief Wicaksono sebagai tersangka suap terkait dengan pembahasan APBD Perubahan Kota Malang 2015 dan proyek pembangunan jembatan Kedungkandang senilai Rp 30 miliar. Ketua PDIP Malang ini disangka menerima uang suap sebesar Rp 950 juta.
Dari angka itu, Rp 700 juta di antaranya diterima Arief dari Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Pengawasan Bangunan Kota Malang Jarot Edi Sulistyono serta Sekretaris Daerah Kota Malang Cipto Wiyono. Tujuan pemberian ini untuk memuluskan pembahasan APBD Perubahan 2015. Sisanya, Rp 250 juta, diterima Arief dari Direktur PT Hidro Tekno Indonesia Hendarwan Maruszama. Ketiga penyuap Arief ini juga dijadikan tersangka. Di persidangan, Arief mengakui kesalahannya.
Juni lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya memvonis Arief lima tahun penjara serta mencabut hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik selama dua tahun. Adapun Jarot Edi divonis dua tahun delapan bulan penjara dan Hendarwan dihukum dua tahun bui. Sedangkan perkara Cipto Wiyono masih bergulir di pengadilan.
Belakangan, diketahui ternyata uang yang diterima Arief dari pejabat Pemerintah Kota Malang tadi juga dibagi-bagikan kepada anggota Dewan Malang lain. Sebanyak 19 anggota DPRD menerima, termasuk Subur Triono. Uang yang diterima Subur dari Arief inilah yang dikembalikan Subur ke KPK, awal tahun lalu.
Bagi-bagi duit ini yang membuat 18 anggota DPRD Malang dan Ya’qud Ananda Gudban dijadikan tersangka oleh KPK pada Maret lalu. Wali Kota Malang Mochamad Anton juga menjadi tersangka. Peran Anton adalah menyuap anggota DPRD Malang. Anton, Ya’qud, dan 18 anggota Dewan ini telah ditahan. Berkas perkara mereka telah dilimpahkan ke tahap penuntutan.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan mereka diduga menerima duit terkait dengan APBD Perubahan Kota Malang 2015 dan dana pengelolaan sampah pada APBD Malang 2016. "Penyidik mendapatkan fakta yang didukung alat bukti berupa keterangan saksi, surat, dan barang elektronik terkait dengan keterlibatan mereka," kata Basaria.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan, ketika memeriksa para tersangka itu, penyidik menemukan sejumlah bukti baru. Bukti-bukti itu berupa pengakuan para tersangka dan saksi saat pemeriksaan serta keterangan saksi-saksi di persidangan kasus Arief Wicaksono. Sejumlah bukti mengarah pada penerimaan duit oleh 40 anggota DPRD Kota Malang. Salah satunya terkait dengan APBD Perubahan 2015.
Menurut Febri, duit yang diterima 40 anggota DPRD Malang itu mencapai Rp 5,8 miliar. Setiap anggota Dewan diduga menerima Rp 145 juta.
Rusman Paraqbueq, Eko Widianto (Malang)
Korupsi Massal Anggota Dewan
PENGESAHAN Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di sejumlah provinsi dan kabupaten atau kota diwarnai praktik sogok-menyogok. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah meminta "uang ketok" dan jatah anggaran untuk memuluskan pengesahan RAPBD. Tak hanya di Kota Malang, kasus suap massal anggota Dewan juga terjadi di pelbagai daerah.
1. Kota Malang
Kasus: Suap pengesahan Rancangan APBD Perubahan 2015 Kota Malang
Penyuap: Mochamad Anton, Wali Kota Malang periode 2013-2018 (tersangka)
Penerima: 41 anggota DPRD Malang (tersangka dan sudah ditahan)
Besaran suap:
- Anggota: Rp 12-50 juta per orang
- Pimpinan: Rp 200 juta per orang
Tahun perkara: 2018
Modus: Duit suap agar DPRD menyetujui anggaran sejumlah proyek tahun jamak (multiyears), di antaranya proyek drainase dan Islamic center
Sumber duit: Ijon proyek di dinas-dinas ke sejumlah kontraktor
2. Jambi
Kasus: Suap pengesahan Rancangan APBD Provinsi Jambi 2018
Penyuap: Zumi Zola, Gubernur Jambi 2016-2021 (terdakwa)
Penerima: 53 anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019 (Disebutkan dalam surat dakwaan Zumi. Sebagian besar anggota DPRD belum ditetapkan sebagai tersangka.)
Besaran suap: Rp 16,4 miliar (total suap)
Tahun perkara: 2017-2018
Modus: DPRD menghambat pengesahan APBD 2017 dan 2018 sehingga diberi uang pelicin oleh gubernur
Sumber duit: Ijon proyek di dinas-dinas ke sejumlah kontraktor
3. Sumatera Utara
Kasus: Suap persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk tahun anggaran 2012-2014 dan persetujuan perubahan APBD tahun 2013-2014
Penyuap: Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumatera Utara periode 2009-2014 (divonis 4 tahun penjara)
Penerima: 38 anggota DPRD periode 2009-2014
Besaran suap: Rp 300-350 juta per orang
Tahun perkara: 2015-2018
Modus: Anggota DPRD menggunakan hak interpelasi terhadap kinerja Gatot Pujo
Sumber duit: Ijon proyek di dinas-dinas ke sejumlah kontraktor
4. Papua Barat
Kasus: Dugaan korupsi penyalahgunaan APBD Papua Barat tahun 2011 sebesar Rp 22 miliar
Terjerat: 44 anggota DPRD periode 2009-2014 (Divonis bebas pada tingkat kasasi Mahkamah Agung. Di pengadilan sebelumnya divonis bersalah dengan lama hukuman 1-2 tahun penjara.)
Besaran korupsi: Diduga Rp 450 juta per orang
Tahun perkara: 2013-2014
Modus: Sekretaris Daerah mengajukan dana pinjaman lunak dari PT Padoma selaku badan usaha milik daerah sejumlah Rp 22 miliar jatah untuk dibagikan kepada anggota DPRD
5. Sumatera Barat
Kasus: Korupsi APBD Sumatera Barat 2002 sebesar Rp 5,9 miliar
Terjerat: 43 anggota DPRD Sumatera Barat periode 1999-2004 (divonis 4-5 tahun penjara sampai kasasi Mahkamah Agung)
Tahun perkara: 2004-2005
Modus: Korupsi anggaran, di antaranya untuk biaya asuransi, dana taktis, sewa rumah, biaya telepon seluler, perjalanan dinas fiktif, dan uang kehormatan
Sumber: Dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi, Riset | Linda Trianita
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo