Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Rechtsverwerking: Jalan Keluar Mengurai Sengketa Lahan yang Ruwet

Ada solusi mengurai sengketa lahan yang ruwet. Hakim berani memakai Lembaga Rechtsverwerking.

18 Februari 2025 | 12.00 WIB

Sita Jaminan Sengketa Tanah
Perbesar
Sita Jaminan Sengketa Tanah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Sengketa lahan yang melibatkan kelompok Hercules di Kalideres tak kunjung rampung.

  • Sistem pertanahan di Indonesia membuka celah mereka yang terlibat sengketa tanah untuk saling gugat.

  • Konflik lahan sering kali hanya berputar di proses peradilan tanpa putusan eksekusi.

LUAS empat bidang tanah di pinggir Jalan Daan Mogot Kilometer 18, Kalideres, Jakarta Barat, itu 3,1 hektare. Untuk ukuran Jakarta, tanah ini sangat luas mengingat harga lahan makin tak masuk akal. Lahan ini yang menjadi obyek sengketa yang melibatkan Hercules Rozario Marshal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pengadilan Negeri Jakarta Barat telah menyita lahan tersebut pada 8 Februari 2025. Penyitaan ini berhubungan dengan sengketa lahan antara PT Nila Alam dengan Handy Musawan, Lulu Indrawati, serta Jauw Hok Goan. PT Nili Alam menjadi tergugat konflik ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Lahan itu sudah disengketakan sejak 2018. Handy Musawan, dibantu oleh Hercules dan anak buahnya, menduduki lahan tersebut pada 8 Agustus-6 September 2018. Polisi turun tangan dengan menyeret Handy dan Hercules ke pengadilan. Keduanya divonis 8 bulan penjara karena terbukti menduduki lahan tanpa izin.

Hercules Rozario Marshal menjalani sidang putusan atas penguasaan lahan PT Nila Alam, Kalideres, Jakarta Barat, di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 27 Maret 2019. Tempo/M. Taufan Rengganis

Setelah bebas, Handy—bersama Lulu dan Jauw Hok Goan—kembali menggugat kepemilikan lahan itu dengan alas hak empat buah Girik. Perkara itu didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan nomor perkara 423/Pdt.G/2024/PN.Jkt.Brt tertanggal 29 Mei 2024. Adapun pihak tergugat adalah PT Propco One, PT Prima Energy Persada, Rosalina Soesilawati Zaenal, dan Hartawan Zaenal. 

Saat petugas Pengadilan Negeri Jakarta Barat membacakan putusan sita jaminan, Hercules bersama anak buahnya datang kelasi lokasi tanah yang disengketakan. Mereka memasang plang pemberitahuan tentang putusan sita jamin tersebut. Mereka juga melarang segala bentuk aktivitas di atas lahan tersebut selama proses peradilan.

Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Barat Martin Ginting mengatakan pemasangan plang tersebut di luar penetapan pengadilan. Pengadilan hanya memposisikan obyek perkara dalam status quo. Karena itu, aktivitas di lahan tersebut masih diperbolehkan selama tidak mengubah status tanah. “Berada dalam status quo artinya tidak boleh dialihkan, tidak boleh dijaminkan,” kata Martin, Kamis, 13 Februari 2025.

Martin membantah telah melibatkan Hercules, Ketua Umum Gerakan Indonesia Bersatu atau Grib Jaya, dan kelompoknya dalam menjalankan sita jaminan tersebut. “Kami hanya didampingi kepolisian untuk membantu pengamanan,” ujarnya.

Pengacara Rosalina, Rivai Kusumanegara, mengatakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 90 PK/PDT/2003 tertanggal 26 Oktober 2004 memang menyatakan tanah Girik No C 1741 dan C 1740 adalah milik Thio Ju Auw serta Thio Ju Thiong.

Syahdan, Handy mengklaim sebagai penerima kuasa dan ahli waris dari Thio Ju Auw. Putusan inilah yang menjadi dasar bagi Handy dan Hercules menduduki tanah tersebut. Namun, kata Rivai, pada 2008, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan nomor 1679 K/PDT/2008 yang menyatakan tanah tersebut milik Rosalina dan Hartawan.

Menurut Rivai, Handy kembali mengajukan gugatan perdata ke PN Jakarta Barat dengan nomor perkara 975/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Brt. Namun gugatan ini ditolak hingga tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Meski demikian, Handy tidak mau menyerah. “Handy Musawan dkk kembali menggugat dengan register perkara 423/Pdt.G/2024/PN.Jkt.Brt,” ucapnya.

Pengacara Handy, Amos Cadu Hina, mengatakan kliennya yakin tanah itu milik Thio Ju Auw, Thio Ju Jiong, Thio Ju Ang, dan Thio Ju Pet Nio, sesuai dengan putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung pada 2004. Handy Musawan, Lulu Indrawati, dan Jauw Hok Goan mengklaim sebagai ahli waris pemilik lahan dengan alas hak girik tersebut. “Thio Ju Auw adalah ibu dari Handy dan Lulu, sementara Jauw Hok Goan adalah sepupu mereka,” tutur Amos.

Amos mengatakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 90 PK/PDT/2003 tertanggal 26 Oktober 2004 menyatakan tanah itu milik Thio bersaudara. “Tapi putusan tersebut tidak ada kekuatan eksekutorial sehingga tidak dapat dieksekusi,” katanya. “Jadi putusan ini ngambang saja. Menang tapi tidak bisa dieksekusi, sampai sekarang.”  

Amos mengatakan keikutsertaan Hercules dalam kasus itu sudah berjalan sejak 2018. Awalnya Handy memberikan surat kuasa kepada Hercules untuk mendampinginya merebut lahan tersebut. “Itu 2018 yang ada surat kuasanya,” ujarnya. “Tapi untuk yang sekarang tidak ada. Mungkin hanya karena sama-sama pernah masuk penjara, jadi Pak Hercules ikut turun.” 

Saat dimintai konfirmasi, Hercules mengklaim sebagai pemilik lahan itu. “Pengadilan sudah sita karena 80 persennya punya saya,” tutur Hercules.

Plang informasi penyitaan tanah seluas 31.920 meter persegi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat di Jalan Daan Mogot Kilometer 18, Kalideres, Jakarta, 8 Februari 2025. Tempo/Alif Ilham Fajriadi

Dosen hukum agraria Universitas Gadjah Mada, Ananda Prima Yurista, mengatakan persoalan sengketa tanah di Indonesia memang ruwet. Pihak-pihak yang beperkara bisa terus saling gugat di pengadilan. Karena itu, jarang sekali kasus sengketa lahan berakhir dengan eksekusi. “Sejauh yang saya tahu, kasus pertanahan itu akan selalu bolak-balik di proses peradilan,” katanya.

Menurut Nanda, persengketaan tanah bisa terus bergulir selama pihak-pihak yang mengaku memiliki hak atas tanah tersebut bisa membuktikan kepemilikannya. Bahkan alas hak berupa girik yang pencatatannya hanya di tingkat desa bisa digunakan untuk melawan sertifikat yang pencatatannya sudah di tingkat negara. “Secara normatif, selama penguasaan fisik, bisa saja girik menang,” ucap Nanda.

Ahli hukum agraria Universitas Trisakti, Irene Eka Sihombing, sependapat dengan Ananda. Menurut dia, publikasi negatif dalam sistem pertanahan di Indonesia membuka celah sengketa lahan. Dengan demikian, persoalan hanya berputar di proses peradilan tanpa ada kepastian eksekusi.

Karena itu, Irene mengusulkan agar sistem peradilan pertanahan di Indonesia diubah. Hakim yang menangani perkara pertanahan juga sudah harus mulai menggunakan Lembaga Rechtsverwerking. “Kalau hakim berani menerapkan Lembaga Rechtsverwerking, semestinya pemegang sertifikat itu dilindungi sepanjang perolehan sertifikatnya benar,” kata Irene.

Rechtsverwerking adalah doktrin hukum yang berlaku setelah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5/1960 terbit. UU Pokok Agraria yang mengacu pada hukum adat mengatur ada masa daluarsa lahan sepanjang tak diusahakan karena menyalahi fungsi sosial tanah. Karena itu, doktrin rechtsverwerking mengatur pembuatan sertifikat atas sebuah lahan sebagai pengakuan yang sah atas kepemilikannya.

Karena itu putusan Lembaga Rechtsverwerking, kata Irene, akan berpatokan pada kepemilikan sertifikat. Jika sudah memiliki sertifikat selama lima tahun secara berturut-turut tanpa ada gugatan, seharusnya tidak bisa dikalahkan oleh penggugat dengan alas hak apa pun. “Sekalipun ada yang mengaku dan meyakinkan bahwa itu tanah punya dia, kalau sudah absen selama lima tahun, ya, kehilangan hak menuntut,” ujar Irene.

Putusan Lembaga Rechtsverwerking harus dijadikan putusan final yang mengikat dan tidak bisa dilakukan banding. Masalahnya, kata dia, lembaga peradilan di Indonesia tidak boleh menolak perkara. Dengan demikian, perkara sengketa lahan akan terus terjebak di proses peradilan.

Lani Diana berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957. Memulai karier jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menulis untuk desk hukum dan kriminal

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus