Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLEMIK penanganan dugaan korupsi Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Basarnas menunjukkan penyelesaian kejahatan yang dilakukan anggota militer aktif makin sulit. Sebelumnya, upaya Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap korupsi pengadaan helikopter AW 101 juga tak tuntas karena penanganannya dialihkan kepada Tentara Nasional Indonesia dengan acuan mekanisme penanganan kasus dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Pasal 42 Undang-Undang KPK, lembaga ini berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Ketentuan ini sejalan dengan prinsip negara hukum yang menempatkan setiap warga negara diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembedaan sistem peradilan yang didasari latar belakang profesi menimbulkan kelas sosial dan ketimpangan hukum pada masyarakat. Untuk itu, agenda reformasi sistem peradilan militer yang sudah cukup lama tertunda, yang merupakan salah satu agenda penting dalam reformasi sektor keamanan sebagai mandat gerakan Reformasi 1998, perlu secara konkret diwujudkan.
Reformasi sistem peradilan militer yang mulai didorong pada 1998 tak saja menjadi salah satu agenda penting Reformasi Sektor Keamanan, sekaligus menjadi agenda reformasi hukum di Indonesia. Reformasi sistem peradilan militer diatur oleh Undang-Undang 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer untuk memastikan terwujudnya perlindungan hak asasi manusia dan keadilan masyarakat.
Reformasi sistem peradilan militer juga mandat sejumlah aturan hukum lain, seperti Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII Tahun 2000 dan Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004. Pasal 3 ayat 4 huruf a Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 menyatakan “Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.” Selain itu, Pasal 65 UU TNI menyatakan, “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”
Reformasi sektor keamanan tidak bisa dilepaskan dari penataan ulang fungsi, struktur, dan kultur institusi penanggung jawab bidang pertahanan untuk diselaraskan dengan sistem dan tata nilai demokrasi yang menjamin penghormatan atas prinsip-prinsip hak asasi manusia. Reformasi sektor keamanan bertujuan menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) di sektor pertahanan keamanan dan menciptakan lingkungan yang aman dan tertib sehingga menopang tujuan negara menyejahterakan dan memakmurkan rakyat.
Dalam konteks reformasi hukum, reformasi peradilan militer bertujuan mendorong penguatan negara hukum (rechstaat). Sebagai negara hukum, Indonesia seharusnya mengadopsi sistem hukum dan aturan penyelenggaraan negara yang diukur berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum yang meliputi antara lain: (1) supremacy of law (kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah hukum); (2) equality before the law (persamaan di hadapan hukum); dan (3) konstitusi yang bersumber dari hak asasi dan perlindungan hak asasi manusia.
Berdasarkan ciri-ciri negara hukum itu jelas sistem peradilan harus dibangun dengan mengacu pada pilar-pilar negara demokrasi konstitusional. Prinsipnya, semua warga negara harus diperlakukan sama di muka hukum dan terwujudnya independensi lembaga peradilan, tak terkecuali penyelenggaraan peradilan dalam lingkungan peradilan militer. Hal tersebut juga berarti peradilan harus bebas dan tidak memihak serta tidak ada pengaruh kekuasaan atau kekuatan apa pun.
Lebih dari itu, revisi Undang-Undang Peradilan militer juga bertujuan mempertegas batas-batas yurisdiksi peradilan umum dan peradilan militer serta menjaga independensi dan fairness lembaga peradilan yang merupakan prasyarat bagi warga negara memperoleh dan mempertahankan hak-haknya. Hal ini dibutuhkan untuk menjaga dan melindungi kualitas kewarganegaraan yang demokratis. Sebab, lembaga peradilan memiliki peran vital dalam menjaga dan melindungi hak asasi manusia. Sistem peradilan yang independen, tidak terkooptasi oleh kekuasaan lain, serta menjamin due process of law merupakan conditio sine qua non bagi perlindungan hak asasi manusia.
Selain alasan-alasan di atas, urgensi reformasi peradilan militer juga tidak lepas dari banyaknya masalah dalam praktik peradilan militer selama ini. Peradilan militer yang berlaku saat ini merupakan produk hukum warisan rezim otoritarian Orde Baru. Rezim ini menjadikan militer sebagai aktor dominan dalam ketatanegaraan Indonesia yang mempengaruhi proses pengambil kebijakan masa itu. Dengan begitu, pembentukan peradilan militer bias kepentingan rezim otoriter Soeharto dan militer. Dominasi militer di era Orde Baru menjadikan peradilan militer sebagai sarana menutup-nutupi kejahatan yang oleh anggota militer (impunitas).
Aspek keadilan dalam sistem peradilan militer selama ini merupakan persoalan yang banyak disorot publik. Banyak kalangan menganggap selama ini peradilan militer merupakan bagian dari permasalahan penegakan hukum. Berbagai kasus dalam peradilan militer telah mendapat perhatian cukup luas dari publik ketika peradilan militer menjadi safe haven bagi anggota militer yang melakukan tindakan kriminal.
Di dalam sistem peradilan militer juga tidak ada kejelasan mengenai jaminan hak-hak sipil bagi anggota militer ketika mereka berurusan dengan hukum militer, seperti hak didampingi pengacara, hak mengetahui alasan penangkapan dan/atau dakwaan, hak tidak diintimidasi dan disiksa, hak menghubungi dan bertemu keluarga, dan lain-lain. Anggota militer, bagaimanapun, juga warga negara yang memiliki hak-hak sama di hadapan hukum, sebagaimana warga negara lain. Negara memiliki kewajiban menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut.
Dalam realitasnya, upaya reformasi sistem peradilan militer mulai digulirkan sejak awal Reformasi 1998. Keinginan kuat mengubah Undang-Undang Peradilan Militer dimulai sejak disahkannya Tap MPR VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan Tap MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Kedua ketetapan MPR tersebut memberikan implikasi tidak hanya fungsi dan kewenangan TNI dan Polri yang dipisahkan dan akan dibahas dalam regulasi tersendiri. Ketetapan tersebut juga memandatkan penyelenggara negara mengubah sistem peradilan militer.
Namun perubahan dasar pengaturan peradilan militer hingga kini tidak kunjung tuntas. Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009 pernah mengajukan Rancangan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Peradilan Militer. Namun proses pembahasan buntu, terutama menyangkut dua substansi: yurisdiksi peradilan militer dan peradilan koneksitas. Ada resistansi cukup tinggi dari pemerintah dengan menolak perubahan tersebut.
Tidak tuntasnya reformasi sistem peradilan militer membuat militer memiliki rezim hukum sendiri dalam mengadili anggotanya yang terlibat suatu tindak pidana. Hal tersebut menunjukkan sistem peradilan militer masih menempatkan secara berbeda kedudukan anggota militer dengan warga negara lain di hadapan hukum. Akibatnya, prinsip negara hukum yang menempatkan setiap orang sama di muka hukum menjadi tidak berlaku.
Reformasi sistem peradilan militer merupakan wujud harmonisasi tata hukum nasional, khususnya diferensiasi yang tegas antara yurisdiksi peradilan militer dan peradilan umum. Peradilan militer saat ini rentan terhadap campur tangan (intervensi) elite militer karena secara kelembagaan peradilan militer melekat pada institusi TNI. Dalam peradilan militer, hakim, oditur, bahkan penasihat hukum berasal dari instansi yang sama
Reformasi peradilan juga bertujuan membangun dan memperkuat kekuatan pertahanan (militer) yang modern serta profesional. Dengan reformasi peradilan militer, berbagai penyimpangan akan bisa diadili dalam peradilan umum (juga peradilan tindak pidana korupsi) sehingga impunitas di kalangan tentara bisa diakhiri. Itu artinya, jika ada kasus korupsi pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista), para pelakunya bisa langsung ke peradilan tindak pidana korupsi, bukan koneksitas, sehingga lembaga seperti KPK akan leluasa bekerja mengungkapnya.
Implikasinya, mereka yang mau bermain dan melakukan penyimpangan dalam pengadaan alutsista, perawatan, asuransi, dan lainnya akan berpikir dua kali sebelum melakukan korupsi. Hal ini akan berdampak pada kapasitas alutsista dalam kondisi yang terbaik sehingga para prajurit tidak perlu khawatir terjadi kecelakaan ketika menggunakannya. Konsekuensinya, pertahanan (militer) akan makin kuat dan modern.
Agenda reformasi sistem peradilan militer sebenarnya menjadi agenda politik pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ia menempatkan isu ini dalam Nawacita periode pertama. Namun, hingga hampir selesainya periode kedua pemerintahannya, tanda-tanda revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tidak kunjung terlihat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Reformasi Sistem Peradilan Militer"