Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ORANG Papua seperti invisible man, judul novel Ralph Ellison tentang orang-orang kulit hitam Amerika pada abad ke-20 yang tak dianggap. Sophie Chao, Indonesianis dari The University of Sydney, Australia, juga memakai istilah ini ketika menilai suara masyarakat Papua selalu terabaikan. Orang Papua, Sophie menerangkan, seperti tidak terlihat dan suaranya tak terdengar ketika pemerintah membuat kebijakan yang berdampak kepada mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat meneliti Suku Marind di Merauke selama sekitar 18 bulan, Chao melihat orang Papua punya hubungan khusus dengan tanah dan hutan. Menurut Chao, dalam kosmologi Marind, tumbuhan dan hewan seperti kerabat. Masyarakat memandang tanaman baru semacam sawit seperti penjajah karena mengambil alih tanah dan semua sumber daya alam mereka. Hasil penelitian antropologisnya ini terdokumentasi dalam buku In the Shadow of the Palms: More-Than-Human Becomings in West Papua yang terbit pada 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam konteks tersebut, kehadiran perkebunan sawit, proyek lumbung pangan, dan pengenalan beras sebagai pengganti sagu telah mengganggu kehidupan dan pandangan hidup masyarakat Papua. Sayangnya, hidup dari hutan sering kali dipandang sebagai kehidupan terbelakang atau primitif dan melahirkan pandangan diskriminatif terhadap orang Papua.
Rasisme ini telah dimulai sejak kedatangan penjelajah serta penjajah Eropa dan terus terjadi hingga kini. “Diskriminasi rasial yang terus berlangsung adalah salah satu pendorong utama banyak aktivis Papua menginginkan kemerdekaan,” kata Sophie dalam wawancara dalam jaringan dengan wartawan Tempo, Abdul Manan dan Iwan Kurniawan, Kamis, 10 Agustus lalu.
Dalam wawancara sekitar satu jam, Chao memaparkan prinsip hidup orang Marind, dampak kehadiran militer dan perkebunan sawit, serta nasionalisme ganda orang Papua. Ia juga menggarisbawahi bahwa sorotan kuat terhadap isu kemerdekaan membuat masyarakat, yang sebenarnya lebih menuntut hak hidup dan hak ekonomi, juga takut berbicara karena khawatir diasosiasikan dengan niat untuk berpisah dari Indonesia.
Apa temuan utama studi Anda di suku Marind?
Bagi mereka, lingkungan, hutan, bukan hanya sumber daya. Itu juga keluarga mereka. Mereka berbicara tentang tumbuhan dan hewan sebagai kerabat, saudara mereka. Ketika hutan diganti dengan perkebunan, bukan hanya lingkungan atau sumber daya yang hilang, tapi juga kekerabatan.
Kedua, seputar pencapaian pembangunan agrobisnis berbasis hak dan berkelanjutan di Merauke. Faktanya, banyak masyarakat tidak selalu menentang kelapa sawit. Tapi mereka menentang pembukaan perkebunan tanpa persetujuan sebelumnya dari pemilik tanah tradisionalnya. Jadi ada masalah keadilan prosedural. Ketiga, orang Papua, juga Marind, memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang bagaimana masa depan, tentang apa yang mereka inginkan untuk diri mereka sendiri dan anak-cucu mereka.
Apa dampak kehadiran perkebunan sawit?
Konversi hutan menjadi perkebunan telah menyebabkan tingkat kerawanan pangan, malanutrisi, dan stunting yang sangat tinggi di antara komunitas ini karena mereka secara tradisional mengandalkan hutan untuk sebagian besar persediaan makanan melalui perburuan, penangkapan ikan, serta pemanenan sagu dan umbi-umbian. Pencemaran air juga merupakan salah satu dampak lain karena pestisida yang digunakan di perkebunan itu mengalir ke sungai tempat air minum, tempat mandi, dan penangkapan ikan komunitas Marind. Ini menimbulkan berbagai macam masalah, terutama bagi perempuan dan anak-anak, seperti diare dan penyakit pencernaan.
Dampak besar lain adalah konflik horizontal dan vertikal. Konfliknya bukan hanya antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan, tapi juga konflik antarmasyarakat. Jadi ada banyak konflik di antara Marind sendiri tentang tanah, kompensasi, partisipasi, dan pembagian keuntungan ketika proyek perkebunan ini tiba.
Bagaimana dengan masalah politik?
Politik dapat berarti banyak hal. Pada akhirnya ini tentang kekuasaan. Sesuatu seperti gender itu politis. Apa yang terjadi di Merauke adalah gejala dari masalah yang lebih besar dengan suara politik. Konteks utama yang banyak dibicarakan masyarakat di Merauke adalah kenyataan bahwa sering kali para elite Papua di pemerintahan bertindak sebagai juru bicara masyarakat dan sering kali tidak benar-benar tahu apa yang terjadi di perdesaan karena sering tinggal di kota. Ada semacam disosiasi antara kepentingan dan perspektif elite Papua serta kepentingan masyarakat di lapangan. Kedua, pembentukan provinsi baru dan batas-batas administratifnya dilihat sebagai isu politik yang sangat kritis. Ada banyak ketidakpastian apakah itu benar-benar akan memberikan lebih banyak suara kepada orang-orang di lapangan atau lebih merupakan semacam manuver politik untuk menciptakan lebih banyak elite.
Bagaimana pengaruh kehadiran militer di sana?
Saya pikir tingginya tingkat kehadiran militer dan militerisasi di Papua merupakan sumber utama ketakutan dan intimidasi bagi banyak komunitas. Banyak perkebunan kelapa sawit di Merauke, misalnya, bekerja sama dengan militer untuk patroli atau semacamnya. Di Merauke, dengan kehadiran militer, banyak perempuan mengalami pelecehan seksual dan sejenisnya. Mereka tidak mau membicarakannya karena malu. Kehadiran militer tidak kondusif untuk membangun kepercayaan masyarakat. Itu justru menciptakan ketakutan, memberi kesan diduduki atau dijajah. Bagi banyak orang Papua yang saya ajak berbicara, masalah keamanan adalah salah satu yang juga sangat terkait dengan masalah rasisme. Banyak orang berbicara tentang diskriminasi rasial sebagai bentuk lain intimidasi dan penaklukan.
Ada konflik bersenjata antara militer dan kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM). Bagaimana Anda melihatnya?
Saya tidak bisa berbicara banyak soal itu karena OPM tidak begitu aktif di Merauke, tempat saya melakukan kerja lapangan. Mereka lebih aktif di pegunungan.
Lantas, masalah apa yang paling berdampak serius bagi orang Papua?
Salah satu dampak yang paling parah adalah perasaan dan kondisi psikologis banyak orang Papua, yaitu mereka merasa tidak didengarkan dan tidak terlihat dalam pembuatan kebijakan dan keputusan administratif tentang tanah dan masa depan mereka. Sering kali proyek-proyek seperti perkebunan, pertambangan, atau jalan tol Trans Papua didorong oleh mentalitas pembangunan bahwa “ini untuk kebaikan orang banyak”. Namun masalahnya ide pembangunan ini adalah cara berpikir yang sangat atas-bawah. Orang Papua memiliki gagasan sendiri tentang kesejahteraan, makanan enak, lingkungan yang sehat, nilai spiritual, dan agama.
Anda pernah menulis tentang rasisme terhadap orang Papua yang memicu protes pada 2019.
Akar pertanyaan rasial di Papua tidak dimulai dari periode Indonesia. Penjelajah dan penjajah Eropa pada masa Belanda dan jauh sebelumnya sudah mulai membuat atau membangun kategori ras untuk membedakan orang Melayu dengan orang Melanesia. Kata melanesia itu berasal dari melanin, yang berarti hitam. Di Papua, masalah ras memang tidak bisa dilepaskan dari cara hidup banyak orang Papua. Marind dan banyak masyarakat Papua sangat bergantung pada hutan untuk kehidupan ekonomi dan sosial-budaya sehari-hari. Namun hidup dari hutan sering kali dipandang sebagai kehidupan terbelakang atau primitif. (Cara pandang) inilah hambatan utama bagi dialog antar-etnis dan usaha menemukan jalan menuju perdamaian bersama. Kembali kepada apa yang saya katakan sebelumnya tentang orang Papua yang merasa tidak didengar dan diperlakukan “seakan-akan kami monyet”, seperti kata-kata Filep Karma, itu benar-benar mengubah jenis percakapan yang dapat Anda lakukan dalam hal identitas.
(Filep Karma, bekas tahanan politik prokemerdekaan Papua, dicegat anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara saat tiba di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, pada 2017. Seorang tentara menyebut Filep sebagai “monyet” saat menginterogasinya.)
Dari sejumlah isu, apa yang paling kuat mendorong aspirasi untuk merdeka?
Diskriminasi rasial yang terus berlangsung adalah salah satu pendorong utama banyak aktivis Papua menginginkan kemerdekaan. Banyak orang yang bekerja dengan saya di Merauke tidak pernah berbicara banyak tentang kemerdekaan. Mereka mengatakan, “Prioritas saya adalah memberi makan anak-anak saya dan bisa minum air segar serta bisa mendapatkan pekerjaan dan pendidikan.” Kemerdekaan adalah pertanyaan yang berbeda, tapi dalam waktu dekat bertahan hidup sebenarnya lebih penting bagi banyak orang. Tapi, kecuali bila masalah rasial ditangani dengan baik oleh pemerintah melalui konsultasi dengan masyarakat Papua, orang Papua akan terus menganggap rasisme sebagai salah satu alasan utama mereka tidak lagi ingin menjadi bagian dari komunitas multi-etnis Indonesia. Jadi ini masalah yang membara.
Beberapa aktivis hak asasi menilai aspirasi merdeka ini kombinasi banyak masalah, termasuk pelanggaran hak asasi.
Orang Papua memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang kemerdekaan. Apalagi ada beberapa aktivis kemerdekaan Papua yang tinggal di luar negeri, seperti Benny Wenda. Begitu juga (aktivis Papua yang tinggal) di Australia. Salah satu alasan ini bermasalah adalah pandangan bahwa terkadang visi diaspora Papua belum tentu selaras dengan cara pandang atau visi orang Papua di Papua. Jadi bisa juga muncul berbagai faksi atau perspektif berbeda tentang seperti apa kemerdekaan itu, siapa yang berkuasa, siapa yang bisa mewakili siapa.
Apakah aspirasi ini berhubungan dengan nasionalisme ganda orang Papua?
Di Merauke, mereka memiliki kategori yang disebut Jamer, Jawa-Merauke, yaitu keturunan hasil perkawinan campuran antara orang Jawa dan Merauke. Sayangnya, saya tidak punya waktu untuk meneliti hal menarik ini. Banyak orang (Papua) melihat diri mereka sebagai orang Indonesia, tapi juga orang Pasifik-Melanesia. Jadi banyak orang seperti sedikit terkoyak karena (identitas) Melanesia dan Pasifik ini. Semua negara di Kepulauan Pasifik berbagi banyak hubungan budaya, agama, spiritual, dan etnis dengan masyarakat Papua. Mereka kebanyakan Katolik. Tantangannya adalah banyak orang Papua yang bekerja dengan saya melihat Jakarta sebagai ruang kemungkinan untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, kemajuan ekonomi dan sosial, tapi pada saat yang sama mereka merasakan semacam tarikan budaya ke Melanesia. Itu adalah jenis identitas terbelah yang sangat sulit untuk dikendalikan. Hal itu adalah sebagian besar dari politik identitas yang membentuk bagaimana orang-orang, dalam konteks yang berbeda, mungkin akan lebih mengedepankan kebangsaan Indonesia dan, dalam konteks lain, lebih mengedepankan identitas Melanesia atau Pasifik mereka.
Adakah kaitan antara identitas ganda ini dan aspirasi untuk merdeka?
Pasti hubungannya dengan Melanesia. Anda tahu, dukungan dari Melanesia, kelompok negara pelopor, menjadi bagian besar dari dorongan untuk merdeka di panggung internasional. Bagi banyak orang Papua, Melanesia terhubung dengan kemungkinan merdeka. Jelas bukan itu masalahnya bagi mereka yang mungkin lebih memikirkan otonomi serta kemungkinan pemberdayaan dan kedaulatan di dalam Indonesia.
Sophie Chao (kanan) di Merauke, Papua, pada tahun 2019/Dokumen Sophie Chao
Pemerintah telah memperkenalkan nasi untuk menggantikan sagu. Apa dampak kebijakan itu?
Makanan sangat politis sebenarnya. Banyak orang Marind menganggap sagu sebagai sumber pati atau karbohidrat utama dan mereka mengidentifikasi diri sebagai Orang Sagu. Banyak sekali nilai sosial dan budaya yang melekat pada sagu. Nasi berbeda. Orang Papua tidak membuatnya sendiri dan mereka tidak ada hubungannya dengan tanaman padi. Mereka sering mengasosiasikan nasi dengan Indonesia, bukan Melanesia, tempat komunitas pemakan sagu lebih banyak. Jadi beras dan sagu sering bertindak seperti metafora paralel atau simbolis untuk Indonesia di satu sisi dan Papua di sisi lain. Bagaimana hal ini dapat dimasukkan ke pembuatan kebijakan, itu pertanyaan yang sulit. Menurut saya, untuk proyek seperti Perkebunan Pangan dan Energi Terpadu Merauke (MIFEE) atau lumbung pangan Merauke, banyak kebijakan ekonomi tentang produksi pangan, seperti minyak sawit atau beras, juga harus memikirkan ketahanan pangan lokal dan nilai-nilai pangan lokal.
Lantas, apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan?
Pembuatan kebijakan apa pun soal Papua harus dimulai dengan beberapa pertanyaan yang sangat penting tapi sulit tentang sejarah dan alasan Papua berada pada posisi itu dalam hubungan dengan Jakarta dan Indonesia hari ini. Hanya dengan memperhitungkan sejarah ini ada cara untuk maju dan bekerja sama serta berkolaborasi untuk masa depan yang lebih baik bagi orang Papua dan Indonesia.
Yang perlu jadi pertimbangan besar lain adalah peran perempuan dan pemberdayaan gender. Sebab, ini merupakan ruang eksklusi dan marginalisasi yang besar karena pembuatan kebijakan sering kali didominasi laki-laki. Padahal perempuan juga memiliki peran penting dalam masyarakat. Jadi memastikan bahwa inklusi gender adalah bagian dari pembuatan kebijakan sangatlah penting.
Sophie Chao
Pendidikan:
- S-1 Oriental Institute University of Oxford, Inggris, 2009
- S-2 Institut Antropologi Sosial dan Budaya University of Oxford, 2010
- S-3 Departemen Antropologi, Macquarie University, Australia, 2019
Karier:
- Project Officer di Forest Peoples Programme, Inggris, 2011-2015
- Staf Akademik di Departemen Antropologi Macquarie University, Australia, 2015-2019
- Associate Penelitian Pascadoktoral Departemen Sejarah The University of Sydney, Australia, 2019-2021
- Pengajar di Departemen Antropologi The University of Sydney, Australia, 2022-sekarang
Buku:
- In the Shadow of the Palms: More-Than-Human Becomings in West Papua, 2022
Apakah itu bisa mengurangi aspirasi mereka yang ingin merdeka?
Tidak semua orang Papua serta-merta menerima kemerdekaan sebagai solusi. Nyatanya, banyak orang yang saya ajak berbicara di Merauke sebenarnya sangat khawatir kantong kecil OPM yang menyebabkan lebih banyak masalah, karena semua perhatian media kemudian tertuju pada OPM dan gerilya. Juga beberapa komunitas sangat khawatir. Mereka tidak pernah menggunakan bahasa seperti hak atas pangan atau hak atas tanah, karena mereka khawatir bahasa hak itu mungkin akan dimaknai sebagai hak kemerdekaan. Tapi sering kali mereka tidak membicarakan hal ini. Mereka benar-benar berbicara tentang hak atas pangan, hak atas air, hak atas budaya, atau hak atas lingkungan. Jadi terkadang wacana kemerdekaan dapat menimbulkan lebih banyak masalah di lapangan bagi orang-orang biasa yang berusaha melanjutkan hidup dan mencari nafkah dengan kondisi yang ada.
Jika ada percakapan yang tulus antara pemerintah dan perwakilan Papua, khususnya perwakilan adat, hukum adat, misalnya, tentang cara agar hukum nasional dapat mempraktikkan pluralisme hukum, ketika hukum adat Papua disinkronkan dengan hukum nasional, itu menjadi langkah yang sangat penting dalam mengakui kerangka hukum yang sudah ada tanpa harus sampai ke tanda tanya yang lebih besar tentang kemerdekaan. Ini pasti akan menyebabkan lebih sedikit konflik di lapangan, lebih sedikit kekerasan, dan kemudian memungkinkan untuk membangun kepercayaan. Kepercayaan adalah unsur utama perdamaian, kan?
Ada kesan pemerintah lebih berfokus menangani gerakan Papua merdeka daripada masalah ekonomi atau politik lain?
Saya setuju sampai batas tertentu. Bukan hanya pemerintah Indonesia. Seperti saya, yang tinggal di Australia, setiap kali Papua menjadi berita, selalu karena OPM. Tidak pernah karena masalah ekonomi atau gender. Sayangnya, sering kali persoalan Papua direduksi menjadi persoalan OPM. Itu juga merupakan bentuk kekerasan karena kemudian orang-orang dalam kehidupan sehari-hari, yang belum tentu terhubung dengan OPM, terus menanggung beban pengucilan dan marginalisasi ekonomi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Diskriminasi Rasial Pendorong Utama Aktivis Papua Ingin Merdeka"