Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMUNIKASI
Satelit Telkom-3 Raib
Satelit Telkom-3 milik PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) lenyap setelah diluncurkan dari Kazakstan, Selasa pekan lalu. Hilangnya satelit tersebut dikhawatirkan mengganggu kepentingan berbagai sektor, dari telekomunikasi komersial hingga pertahanan.
Situs nasaspaceflight.com menuliskan satelit Telkom-3 menghilang dari pantauan saat mencapai level ketinggian Briz-M. Satelit itu diluncurkan dari Baikonur Cosmodrome, Kazakstan, dengan roket Proton-M milik pemerintah Rusia. Selain membawa Telkom-3, roket itu memuat satelit Ekspress-MD2 milik Rusia.
Lembaga Antariksa Rusia, Roscosmos, menyatakan roket Proton-M yang diluncurkan pada Senin tengah malam waktu setempat itu awalnya bekerja dengan normal. Tapi, saat hendak memberi dorongan akhir, alat itu mati mendadak.
Juru bicara PT Telkom, Slamet Riyadi, belum bisa memerinci kerugian yang harus ditanggung. "Yang jelas, semuanya masih ditanggung oleh asuransi dari Rusia," katanya. Telkom juga mengasuransikan satelit itu senilai US$ 185,3 juta ke PT Asuransi Jasindo. "Kami siap menggantinya," ujar Direktur Utama Jasindo Budi Tjahjono.
GUGATAN
Danamon Harus Bayar Rp 285 Miliar
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus perkara gugatan PT Danamon International terhadap PT Bank Danamon Indonesia Tbk. Dalam putusannya, majelis hakim mewajibkan Bank Danamon membayar utang senilai Rp 285,975 miliar kepada Danamon International.
Angka Rp 285,975 miliar didapat dari penjumlahan nilai awal modal yang dipinjamkan sebesar Rp 155 miliar ditambah bunga senilai enam persen per tahun sejak 1997. Pengadilan juga menghukum Bank Danamon membayar Rp 616 ribu sebagai ongkos perkara.
Sengketa "Dua Danamon" bermula saat krisis moneter pada 1997. Ketika itu, Danamon International memberikan pinjaman modal Rp 155 miliar kepada Bank Danamon. Setelah krisis reda, Danamon International menuntut pinjaman tersebut dikembalikan. Danamon menolak, dengan alasan modal yang diberikan telah tergerus ketika perusahaan menderita kerugian yang sangat besar dalam krisis itu. l
SANKSI
Standard Chartered Terancam Denda
Standard Chartered Plc terancam sanksi denda senilai US$ 700 juta atau sekitar Rp 6,62 triliun jika terbukti melanggar aturan transaksi perbankan dan pencucian uang di Amerika Serikat. Tuntutan ini bakal dikenakan Otoritas Perbankan dan Jasa Keuangan Kota New York (DFS), menyusul temuan transaksi tersembunyi antara bank asal Inggris itu dan pihak tertentu di Iran.
Menurut salah satu sumber yang berwenang, Rabu pekan lalu, nilai denda ini didasari sanksi serupa yang dijatuhkan pada HSBC Holding Plc beberapa bulan lalu.
Sehari sebelumnya, DFS bahkan merilis ancaman untuk mencabut izin Standard Chartered di Amerika setelah menemukan transaksi ilegal dengan bank dan pemerintah Iran senilai US$ 250 miliar. DFS menemukan bukti 60 ribu transaksi tersembunyi dalam kurun 10 tahun. l
INVESTASI
Izin Tambang Akan Ditertibkan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan izin tambang bermasalah yang diterbitkan bupati dan wali kota akan menjadi bom waktu yang menghambat investasi di Indonesia. Ia menilai sengketa tambang disebabkan oleh buruknya manajemen dan kesalahan mengurus perizinan. "Saya minta gubernur menertibkannya," kata Presiden, Selasa pekan lalu.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Rudi Rubiandini mengatakan para gubernur diminta menjadi koordinator di antara pemerintah daerah dalam penerbitan izin. "Maksud Presiden, bagian daerah dikoordinasi dan dimediasi gubernur," ujarnya.
Saat ini, 5.940 izin usaha pertambangan operasi dan produksi mineral serta batu bara bermasalah dan tumpang-tindih. Akibatnya, mereka dilarang mengekspor hasil tambangnya sebelum berstatus clean and clear.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo