Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak kecil, Budi menjadi korban olok-olok dari teman-teman sekampungnya di Yogyakarta. Salah satu olokan yang sering ia dengar adalah “anak PKI”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi kecil mendapat julukan ini hanya gara-gara ayahnya pernah dibuang ke Pulau Buru di Kepulauan Maluku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut pengakuan ayah Budi, pembuangan tersebut bermula saat ia masih berada di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Waktu itu, ia dan seorang remaja lainnya bersaing memperebutkan hati seorang teman mereka.
Ayah dari teman Budi ini adalah seorang pejabat kampung. Untuk membantu perjuangan cinta anaknya, ia menuduh ayah Budi sebagai anggota PKI.
Ayah Budi pun ditangkap, dipenjara, dan pada akhir 1960-an ikut dibuang ke Pulau Buru--dan Budi harus hidup dengan stigma dan trauma sebagai “anak PKI” sepanjang hidupnya.
Kisah Budi adalah satu dari sekian banyak orang yang terseret dampak tragedi 1965 yang menyisakan bekas memilukan dalam sejarah Indonesia.
Pada dinihari 1 Oktober 1965, tujuh petinggi Angkatan Darat (TNI-AD) terbunuh dalam operasi militer rahasia. Militer menuding Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalangnya.
Hal ini memicu pembantaian massal--yang terbesar dalam sejarah Indonesia modern--terhadap mereka yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Total, jumlah korbannya mencapai setidaknya setengah juta orang.
Selain mereka yang tewas dalam pembunuhan massal tersebut, banyak yang harus meringkuk dalam penjara di seantero negeri.
Namun ada banyak pula yang tak mati ataupun masuk penjara tapi harus ikut menderita. Mereka adalah korban tak bersalah beserta keluarga mereka--para tertuduh “anak PKI”--yang mengalami trauma berkepanjangan karena terseret konflik selepas peristiwa 1965.
Bersama sejumlah akademikus dan aktivis, saya pernah terlibat dalam sebuah penelitian tentang para korban, termasuk mereka yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa 1965 namun harus mengalami trauma karenanya seperti Budi.
Hasil penelitian itu tertuang dalam film dokumenter etnografis berjudul 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy.
Film itu sendiri selesai pada 2009, namun kami terus berinteraksi dengan para Budi dan subyek film lain hingga belasan tahun kemudian.
Monumen Kesaktian Pancasila, Jakarta, 29 September 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Stigma Sepanjang Hayat
Budi lahir pada 1990-an--sekitar 30 tahun setelah tragedi pembunuhan massal 1965--namun harus ikut mengalami trauma akibat peristiwa tersebut.
Tanpa tahu apa-apa, sejak kecil Budi (dan Chris kakaknya) sering menjadi bahan ejekan sebagai “anak PKI”. Tak jarang, kedua kakak-adik itu bahkan menjadi korban tindak kekerasan.
Begitu berat beban yang harus ditanggung Budi kecil, sehingga kedua orang tuanya terpaksa menitipkan Budi di sebuah panti asuhan--meskipun ia sama sekali bukan anak yatim piatu.
Peristiwa yang terjadi puluhan tahun sebelum Budi lahir itu telah membuatnya mengalami trauma yang menimbulkan banyak kesulitan dalam hidupnya. Di sekolah, ia sering geram dan marah sendiri.
Terpikirkan juga olehnya untuk melakukan balas dendam. Ia, misalnya, sempat terpikir membuat dan melemparkan bom molotov ke orang-orang yang selama ini telah membuatnya menderita, termasuk mereka yang telah merobohkan rumah milik keluarganya.
Dalam riset saya, Budi bahkan mengatakan bahwa setiap kali ia mengingat perlakuan terhadapnya, ia merasa masa depannya tak jelas, bahkan menghilang.
Trauma Multidimensional
Di dunia Barat, fenomena traumatik seperti pengalaman Budi bisa dikategorikan sebagai fenomena PTSD (post-traumatic stress disorder).
Dalam Manual Diagnosis dan Statistik Gangguan Mental (DSM) keluaran American Psychiatric Association (APA), PTSD meliputi sejumlah gejala. Ini termasuk memori yang meresahkan, mimpi buruk yang berulang, penghindaran atas trauma, sikap kurang peduli, serta sikap geram dan marah. Penanganan PTSD yang disarankan adalah penanganan medis atau psikologis.
Meski demikian, definisi dan model penanganan tersebut bisa jadi tak mencukupi untuk mendalami apa yang dialami Budi.
Pertama, Budi tidak pernah mengalami ataupun menyaksikan sendiri peristiwa 1965.
Kedua, apa yang diderita Budi bukan hanya masalah personal--ketika peristiwa 1965 terjadi, Budi bahkan belum lahir.
Dalam pengamatan studi saya, dan mengacu pada penelitian profesor antropologi dari University of California-Los Angeles (UCLA) di AS, Robert Lemelson dan Geoffrey Robinson dalam buku mereka Understanding Trauma: Integrating Biological, Clinical, and Cultural Perspectives, trauma Budi bisa melibatkan banyak dimensi.
Korban/keluarga tragedi kemanusiaan 1965/1966 melakukan aksi damai di Jakarta. Dok Tempo/Aditia Noviansyah
Selain dimensi personal (anak usia muda), ada dimensi sejarah (kekerasan politik 1965), dimensi sosial-ekonomi (berasal dari keluarga ekonomi lemah), dan dimensi politik (kebijakan anti-kiri pemerintah Orde Baru).
Mungkin ada pula dimensi agama. Keluarga Budi, misalnya, menduga perobohan rumah mereka memiliki kaitan dengan fakta bahwa mereka merupakan pemeluk agama minoritas di Indonesia.
Dampak dari peristiwa 1965 tak hanya menimbulkan trauma pada korban tak bersalah yang bertahan sepanjang hidup. Berbagai aspek sosial-politik lain pun turut melipatgandakan penderitaan mereka.
Dampak Destruktif Peristiwa 1965
Kini, ada banyak perubahan yang Budi alami saat ia beranjak menjadi dewasa.
Dalam riset kami, Budi mengatakan bahwa hasratnya untuk balas dendam menghilang. Ia mulai menemukan jati dirinya. Misalnya, Budi melibatkan diri dalam dunia olahraga. Ia ingin memperkokoh raga dan jiwanya, agar tetap tegar “seperti batu karang” jika harus kembali menghadapi olok-olok.
Perkembangan politik yang terjadi sejak lengsernya pemerintahan Orde Baru pada 1998 pun membuatnya bisa lebih terbuka dalam mengungkapkan diri.
Tapi, untuk memahami trauma akibat tragedi 1965 di Indonesia, termasuk yang dialami Budi, kita memerlukan lensa yang melampaui medis dan psikologi--termasuk sejarah, politik, dan antropologi--mengingat dampaknya yang tak hanya lintas generasi tapi juga lintas dimensi.
Mungkin kita tak akan bisa sepenuhnya memahami pengalaman hidup Budi dan korban-korban lain seperti dirinya.
Tapi ini adalah langkah yang baik untuk merefleksikan betapa destruktifnya dampak peristiwa 1965 terhadap korban-korban yang tak bersalah, sekaligus mencari keadilan menyusul catatan kelam dalam sejarah Indonesia ini.
---
Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo