JANDA Nono, 50, konon sedang kasmaran. Tentu, ia tak ingin pria pujaannya, Husen, digaet wanita lain yang lebih muda dan cantik. Maka, pergilah penjual makanan kecil yang sudah punya 7 anak ini ke seorang "guru" di Margahayu, Bandung Selatan. Ia meminta ilmu pelet. Yang terjadi kemudian bukanlah terpeletnya si Husen, melainkan tewasnya janda itu sendiri. Ia ditemukan di rumah sang "guru", Syamsudin, dengan sekujur tubuh penuh luka memar dan pergelangan kedua tangan serta kaki bekas terikat erat. Ia dianiaya sebagai syarat untuk memperoleh ilmu pelet? Syamsudin, bersama empat muridnya, belum lama ini memang ditangkap polisi Cibabat, Bandung. Satu di antara empat murid itu, ternyata, Ian, anak kandung korban sendiri. Ian, 19 tahun, inilah, yang sudah beristri dan punya satu anak, yang memperkenalkan ibunya kepada Syamsudin. Tapi, kata Ian, ketika itu ibundanya bukan berguru untuk bisa memelet seorang pria. "Ibu mulanya ingin belajar untuk menyucikan diri," katanya. Nyonya Nono, menurut keterangan Yadi, menantunya, ketika itu memang heran. Ian, anak kelimanya yang semula bergajulan dan gemar menenggak minuman keras, tiba-tiba berubah menjadi alim. Saat ditanya, ia mengaku bahwa perubahannya itu diakibatkan oleh didikan Syamsudin, yang dikenal sebagai dukun yang biasa menyembuhkan orang sakit. Korban, yang tinggal di daerah Cibeureum, Cimahi, tertarik untuk juga ikut berguru supaya bisa menyucikan diri. Oktober lampau, jadilah korban sebagai satu dari, konon, ratusan murid Syamsudin. Ia diajari, antara lain, berdikir dan membaca Quran. Yang terasa aneh, menurut Yadi yang tinggal serumah, setelah berguru justru mertuanya itu terkadang berperangai aneh. Para tetangga juga mengatakan begitu. Misalnya, seperti diutarakan Ketua RW, Sugandi, "Korban tiba-tiba mengobrak-abrik tanaman di rumah saya." Perangai aneh ini mungkin ada hubungan dengan bergesernya niat korban. Kata Syamsudin, korban ternyata memang tak hanya sekadar ingin menyucikan diri. Ia juga ingin bisa membuat Husen lengket padanya. Semula, "guru" itu menolak permintaan yang kedua itu, karena, "Ilmu saya bukan untuk dipakai jalan kejahatan atau menyimpang dari alur kebaikan." Tapi korban terus mendesak, hingga Syam tak bisa mengelak. Hanya, kata Syam, "Kalau ada risikonya, silakan tanggung sendiri." Akhir November lalu, untuk kesekian kalinya korban datang ke Margahayu. Tak seperti biasanya, kali itu ia memutuskan untuk bermalam. Mungkin karena kebetulan di rumah itu ada Ian, anaknya yang kelima. Di sini, korban terkadang sampai tak sadarkan diri, konon, karena kelewat berkonsentrasi dalam mengamalkan ajaran sang guru. Lantas, kalau dia sadar, ia kontan berteriak memanggil nama Husen. Ia juga gampang mengamuk dan memberontak. Dengan susah payah, Syam dan Ian, dibantu tiga murid yang lain, memegangi dan mencoba menenangkan korban. Caranya, antara lain, dengan memukul-mukul tubuh korban. "Yang dipukuli itu setan yang bersarang di tubuh korban," tutur Ian. Karena tak juga sadar, korban lalu diikatkan ke tempat tidur. Sementara itu, di hari ketiga, Ian datang menemui Yadi. Ia minta disediakan uang Rp 9.999 dan seekor angsa putih. Di hari kelima, Ian datang lagi minta disediakan seekor kambing berbulu hitam. Itu semua sebagai syarat agar Nyonya Nono bisa sembuh. Kesemua permintaan itu dituruti. Namun sekitar pukul 22.00, akhir November lalu, Yadi diberi tahu bahwa ibu mertuanya telah meninggal. Bergegas ia ke rumah Syamsudin, dan menyaksikan Ian sedang menangis sesenggukan meratapi mayat ibunya. Karena di sekujur tubuh korban dijumpai luka memar, Yadi curiga, polisi pun dipanggil. Pengusutan dilakukan, dan lima orang tersangka kemudian ditahan. Para tersangka umumnya menyatakan tak pernah berniat buruk terhadap korban. "Kami melakukan semuanya itu justru untuk menolong korban," tutur Syam. Tentang permintaan uang, angsa, dan kambing, dikatakannya bahwa permintaan itu keluar dari mulut korban sendiri. Pendek kata, kata Syam, "Mana mungkin kami secara sadar berniat menganiaya. Lha 'kan anaknya, Ian, ada bersama kami?" Polisi pun belum sepenuhnya yakin, luka memar di tubuh korban akibat penganiayaan. Sebab, seperti dikatakan Letda Heru Winarko, Wakil Kasatserse Polres Cibabat, "Luka itu mungkin saja akibat korban membentur-benturkan tubuhnya dinding atau lantai." Yang jelas, kata Heru, para tersangka dinilai tak semestinya mengikat korban, hingga membuatnya tak berdaya. Dan dengan alasan yang terakhir ini, Heru yakin kasus ini bisa diajukan ke pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini