Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sebuah komplotan untuk nostalgia

Sekawanan anak-anak bekas pejabat yang dipimpin herry dan indra dermawan melakukan perampokan berantai di medan, bernilai puluhan juta rupiah. modusnya menyaru sebagai intel dengan pakaian abri. (krim)

20 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU ada sebutan pasukan elite, mungkin yang ini pantas disebut perampok elite. Menggunakan tiga buah mobil, dua pucuk pistol, dan dilengkapi seragam hijau loreng, plus baret yang juga biasa digunakan tentara, sekelompok anak muda melakukan perampokan berantai di Kota Medan. Yang membuat komplotan ini lebih elite, sebagian dari para perampok itu berstatus mahasiswa, dan ada di antara mereka anak-anak bekas pejabat. Seperti kakak-beradik Chairul (27) dan Herry (24), contohnya. Keduanya anak seorang kolonel (pur), bekas bupati d Sumatera Utara. Herry, yang dinobatkan sebagai pimpinan, adalah mahasiswa tingka IV di Universitas Islam Sumatera Utara Medan. Tidak memiliki pekerjaan, memang. Tapi ia mempunyai istri, dan seorang anak. Bersama kakak dan dua temannya, ia mengaku telah melakukan empat kali perampokan dalam waktu dua hari. Korbannya bukan hanya pengusaha atau WNI keturunan Cina yang punya banyak uang dan mudah digertak. Tapi siapa saja tanpa pandang bulu, termasuk seorang wanita penghibur. Begitu pula harta yang dijadikan sasarannya beraneka rupa, mulai dari uang tunai, perhiasan, jam tangan hingga surat-surat kendaraan bermotor, dan sebuah Vespa. "Hebat, memang. Dihitung-hitung, dalam seminggu komplotan itu telah melakukan tujuh kali perampokan dengan nilai jarahan lebih dari Rp 20 juta," kata sebuah sumber di Poltabes Medan. Lho, kok, tujuh kali? Sumber di Poltabes Medan menyebutkan, perampok elite ini dibagi menjadi dua kelompok -- kendati keduanya merupakan satu grup. Menurut sumber itu pula, kelompok satunya lagi, yang juga beranggotakan empat orang, belum tertangkap. Pemimpin kelompok tersebut belakangan ini bernama Indra Dermawan, anak seorang letkol (pur) yang pernah menjadi anggota DPRD. Dalam melakukan aksinya, ujar sumber tadi lebih lanjut, komplotan ini selalu berpura-pura sebagai intel yang mencari buruan. Nah, ketika mangsanya sudah terpedaya dengan menghentikan kendaraannya, mereka langsung menodongkan pistol. Seperti yang dilaporkan oleh seorang wanita penghibur, salah seorang korban. Ia tenang-tenang saja ketika becak yang ditumpanginya dicegat. "Habis, saya pikir mereka itu petugas sebenarnya," tuturnya. Akibatnya, seuntai kalung emas, cincin emas, dan uang tunai Rp 300 ribu berpindah tangan. Nasib yang sama dialami juga oleh seorang pengusaha. Ia dirampok bersama dua rekannya, ketika mengendarai Honda Accord di Jalan Tapanuli. "Saya berhenti karena yang menyetop pakai uniform ABRI," ujarnya. Dari Honda Accord ini Herry memperoleh jarahan tidak kurang dari Rp 1,3 juta. Agak berbeda dengan yang dialami seorang pengemudi Honda Civic, "Ketika itu, mereka berpura-pura minta tolong karena kendaraannya mogok," ujarnya. Maksud hati hendak menolong, apa daya cincin dan uang tunai seharga Rp 1 juta lebih terpaksa melayang. Tapi mana ada perampok bisa terus bergaya? Yang membuat kawanan ini bisa ditangkap tak lain dari para korban sendiri juga. Seorang korban, yang pada Desember lalu dirampok di Jalan Iskandar Muda, ketika itu, buru-buru melapor ke polisi. Tak lama antaranya, korban kedua juga melapor. Mereka hafal betul bahwa kawanan perampok mengendarai sebuah jip Hardtop bernomor polisi B 2200 XN. Dua jam kemudian, mobil itu ditemukan dengan Herry yang sedang mabuk. Ketiga rekannya, yang sempat menghilang, bisa diborgol dua hari kemudian. Bila Herry dan kawan-kawannya begitu berani, itu bukan hanya karena pakaian seragam. Selain mereka memang terkenal sebagai tukang berkelahi, sebelum beraksi Herry selalu menenggak obat penenang, dan meneguk minuman keras. "Itu selalu kami lakukan sebelum beraksi, agar lebih berani," ujarnya. Tidak hanya Herry yang sudah mengakui dosa. Dua temannya, Rangrang Bawono, anak seorang pelukis, dan Salim Piliang, seorang residivis, juga mengiakan tuduhan polisi. Chairul, bapak tiga anak, yang juga sekampus dengan Herry, hanya mengaku sebagai penadah barang-barang hasil rampokan. Tapi polisi yakin, ia terlibat langsung dalam operasi. Apalagi Herry sudah menyebutkan hal itu. "Dulu, ketika ayah Chairul dan Herry masih menjadi Komandan Kodim Medan, apa pun yang dilakukan kedua anak itu tak ada yang berani menegurnya," kata sebuah sumber lain di Poltabes. Memang, tampaknya, gaya hiduplah yang membuat Herry dan kawan-kawannya nekat. Terbukti, hasil jarahan mereka dihabiskan hanya untuk berfoya-foya: disko di hotel mewah, makan-makan, minum-minum, main perempuan. "Tak saya sangka Mas Herry berbuat begitu padahal, mobil yang dipakai itu punya saya," tutur istri Herry, sambil menggendong bayinya yang baru berusia dua bulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus