Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Pidana Universitas Indonesia Aristo Marisi Adiputra Pagaribuan mengatakan vonis empat tahun penjara yang diberikan kepada Roro Fitria bisa menimpa setiap terdakwa narkoba. “Meski dia sebenarnya hanya pengguna narkoba,” kata Aristo kepada Tempo, Kamis malam, 18 Oktober 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vonis empat tahun tersebut mengacu pada Pasal 112 ayat 1 junto Pasal 132 Undang-Undang nomor 35 tahun 2018 tentang Narkotika. "Pasal 112 itu pasal keranjang sampah, yang semua orang bisa kena. Padahal dia pemakai biasa," ujar Aristo.
Pasal 112 berbunyi "Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800 juta dan paling banyak Rp 8 miliar."
Aristo menjelaskan, di dalam pasal tersebut terdapat sejumlah unsur yang bisa menjerat orang yang hanya pengguna narkoba di antaranya unsur memiliki, menyediakan, menyimpan serta menguasai. "Jadi orang yang hanya pemakai bisa kena juga karena tidak spesifik konteksnya apa," ucap Aristo.
Namun, kata Aristo, karena UU narkotika di Indonesia yang bisa menjebloskan pengguna ke penjara, maka membuat sistem mass-incarceration atau pemenjaraan massal yang berimbas penjara kelebihan muatan.
"Mahkamah Agung sendiri katakan Pasal 112 itu keranjang sampah, karena semua orang (pengguna) bisa masuk (penjara)," ucapnya. "Padahal pengguna narkoba ini bukan masalah kriminal, ada kesehatan, edukasi dan kalau dia pengguna, sebenernya yang rugi kan dia juga."
Dalam konteks kasus Roro Fitria, kata dia, hakim memang mempertimbangkan hasil urine narkoba artis itu yang negatif. Alhasil, baik polisi yang menyidik maupun jaksa yang menuntut menganggap Roro Fitria bagian dari pengedar narkoba.
Aristo menjelaskan hasil tes urine sabu akan hilang dalam waktu tiga hari jika dilihat melalui urine dan 90 hari melalui rambut. "Tapi kan sangat belum tentu. Makannya (jaksa) pakai Pasal 112 yang unsurnya banyak masuk. Plus dia publik figure, harus jadi pelajaran. Tapi persoalan nggak sesimpel itu kan?" paparnya. "Makanya dipakai pasal 112 bukan pasal pemakai."
Aristo tidak setuju jika pengguna dijebloskan ke dalam penjara. Pandangannya itu bukan berarti dia tidak mendukung pemberantasan narkoba. Intinya, kata dia, pemenjaraan bukan solusi yang tepat untuk mengatasi narkoba, terlebih kepada pengguna.
Alasannya, karakter kriminalisasi narkoba ini bukan universal crime, seperti pembunuhan, korupsi dan lainnya. Menurut dia, mesti ada solusi holistik. Misalnya melihat pengguna narkoba ini sebagai isu kesehatan publik, bahaya narkoba, dan treatmentnya. "Namun, ini hanya berlaku untuk pengguna narkoba, bukan yang menyediakan (pengedar)."
Menurut Aristo, pemenjaraan terhadap pengguna bukan solusi yang tepat pun sudah banyak disadari. Umumnya di negara-negara barat. "Yang sedihnya kita tiru UU narkotikanya. Misalnya di Amerika, Kanada dan Belanda," ucapnya. "Terbukti pemenjaraan pengguna itu membuat lapas dan rutan melebihi kapasitas."
Aristo melihat bahwa pemakai narkoba seperti Roro Fitria adalah korban. Pengguna narkoba, menurut dia, bukan masalah kriminal, melainkan masalah kesehatan yang lebih luas.