Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sabu-sabu dari Pelabuhan Tikus

Polisi menggerebek sejumlah pabrik sabu-sabu di Batam dan Jakarta. Setiap dua tahun pindah lokasi.

29 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERLAGAK bak investor kelas dunia, awal tahun lalu, Lin Luei Tu dan Nan Chen Wei mendarat di Batam. Dua pria asal Taiwan itu menyatakan ingin menanam modal di bidang industri kimia di pulau yang ”berdempetan” dengan Singapura ini. Lokasi pabrik yang dipilih: Hijrah Industrial Estate, Batam.

Kawasan strategis itu dipilih karena jarak tempuh ke tempat tersebut hanya butuh sekitar setengah liter bensin untuk mobil kelas sedan dari Bandar Udara Hang Nadim, Batam. Dari Pelabuhan Internasional Ferry Batam Center lebih dekat lagi, cuma tiga kilometer.

Lin maupun Nan juga tak mau ribet soal izin usaha. Urusan itu mereka serahkan kepada karyawan lokal yang mahir mengurus izin bisnis dan tetek bengeknya. Jumat dua pekan lalu, pabrik berkedok industri kimia yang beroperasi April 2007 tersebut digerebek polisi. Ternyata selama ini pabrik itu memproduksi sabu-sabu yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah.

Dua ahli kimia asal Taiwan, Wang Chin, 52 tahun, dan Tsai Cheng, 53 tahun, dibekuk. Dua kaki tangan Lin Luei Tu dan Nan Chen Wei itu tak berkutik saat dicokok di rumah sewaannya di kompleks elite Duta Mas Cluster II Nomor 57, Batam Center.

Dari sini, polisi meminta keduanya menunjukkan pabriknya yang lain, yaitu di pertokoan Hap Seng serta ruko Taman Niaga, Muka Kuning. Di tempat ini polisi menyita puluhan kilogram sabu-sabu yang siap dipasarkan. ”Tempat itu bagian dari proses produksi,” ungkap Kepala Polda Kepulauan Riau, Brigadir Jenderal Sutarman, kepada Tempo, Kamis lalu.

Polisi, selain meneliti proses perizinan pabrik, juga memburu pemilik modal yang kabur, yakni Lin Luei Tu dan Nan Chen Wei. Keduanya kini diduga ngumpet di Singapura. Empat orang karyawan lokal juga dijadikan tersangka, yaitu Jaelani Usman, Darwin Silaban, Syaed Abu Bakar, dan Apeng.

Entah siapa di balik mulusnya proses berdirinya pabrik di tengah-tengah Kota Batam. Yang pasti, pabrik yang berkedok industri kimia ini tak berizin. ”Kami memastikan perusahaan itu tidak terdaftar,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Batam, Ahmad Hijazi.

Novri, Ketua RT Pertokoan Hap Seng, mengungkapkan, dari 15 penyewa unit pertokoan hanya Wang Chin dan Tsai Cheng yang belum melapor. ”Rukonya selalu tertutup dan tak ada yang jaga. Mereka memakai remote control setiap membuka ruko.”

Temuan sabu-sabu ini tergolong besar, nilainya mencapai Rp 454 miliar. Barang buktinya berupa bahan kimia cair 44 drum dan kimia padat 4,5 ton. Jika diolah sanggup memproduksi 600 kilogram sabu-sabu. Harga sabu-sabu per gramnya sekitar Rp 90 ribu.

Proses produksinya juga sudah terkoneksi dengan Jakarta, yaitu di kawasan Pluit Karang Sari, Muara Karang, Jakarta Utara, yang menjadi kantor pemasarannya. Di sini polisi juga menemukan 19 kilogram dan 23 kilogram sabu-sabu dalam kemasan siap dijual.

Kasus ”sabu-sabu Batam” dan Muara Karang bukan satu-satunya yang dibongkar polisi. Pada 11 November 2005, pabrik yang sama dengan skala lebih besar ditemukan di Cikande, Serang, Banten. Memiliki kapasitas produksi 1 ton per bulan, pabrik itu nomor tiga terbesar dunia setelah Fiji dan Cina. Pemiliknya, Mr. Wong, kabur.

Yang membedakan, pabrik di Batam spesial memproduksi sabu-sabu. Ini teridentifikasi dari peralatan yang dipakai seperti kompresor dan tabung pengolah. Mesinnya ada yang didatangkan dari Jakarta. Sedangkan pabrik di Cikande peralatannya lebih canggih. Selain bisa membuat sabu-sabu, juga bisa ”menciptakan” ekstasi.

Maraknya pabrik sabu-sabu di Indonesia memperkuat dugaan polisi tentang keterlibatan sindikat internasional. ”Operator, lokasi, dan modus bisa berbeda, tapi orang-orang yang di atas sangat mungkin sama,” kata Direktur Narkoba Markas Besar Kepolisian RI Brigadir Jenderal Indradi Thanos.

Polisi, katanya, sudah menemukan pola jaringan internasional sindikat itu, antara lain mereka selalu memindah pabriknya setiap dua tahun sekali. Itu terjadi tidak hanya di Indonesia. Di sejumlah negara yang menjadi target pasar sekaligus produsen obat-obat terlarang seperti di Cina, terjadi kecenderungan yang sama. ”Untuk membongkarnya butuh kerja sama internasional,” Indradi Thanos.

Menurut Indradi, terungkapnya ”kasus Batam” ini berawal dari obrolan kecil dia dengan koleganya di Bangkok pada September lalu. Ia terhenyak saat temannya menyodorkan data bahwa Indonesia pada awal tahun lalu telah kedatangan ”investor” asal Taiwan.

Indradi baru berhasil membuktikan kebenaran berita tersebut pada 11 Oktober dan dilanjutkan penggerebekan di Batam 10 hari kemudian. ”Pabrik itu mendapat pasokan bahan melalui pelabuhan tikus yang tak dijaga polisi,” ungkap Indardi.

”Pelabuhan tikus” adalah sebutan untuk pelabuhan ilegal. Di pelabuhan ini tak ada penjagaan dari aparat keamanan, bea cukai, dan Departemen Perhubungan. Di kawasan Batam, pelabuhan tikus ini ada sekitar 43 buah, yang tersebar di pesisir Tanjung Riau, Batu Besar, Nongsa, dan Sekupang. Ada juga pelabuhan kecil di Pulau Rempang dan Galang. ”Ini memang jalur tol penyelundup,” ungkap sumber Tempo.

Elik Susanto, Arti Ekawati, Rumbadi Dalle (Batam)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus