SIAPA pun ternyata bisa dianggap mengganggu stabilitas nasional. Termasuk olahragawan asing, Earvin "Magic" Johnson. Maka, rencana kunjungan pebasket kondang asal Amerika Serikat itu ke Indonesia -- yang dijadwalkan 24-27 Februari mendatang - mendadak dibatalkan. Keputusan yang mengagetkan ini diumumkan sendiri oleh pihak panitia, Selasa pekan lalu, di Jakarta. "Panitia tak ingin kedatangan Magic Johnson justru akan menempatkan Pemerintah dalam posisi sulit serta dapat mengganggu stabilitas nasional," kata Marcel Maulana, Direktur POINT, panitia yang mendatangkan tim basket "Magic Johnson All Stars". Apa boleh buat. Pembatalan ini memang karena ada hubungannya dengan status Magic yang ketularan virus HIV penyebab AIDS, penyakit sindrom rontoknya kekebalan tubuh. Maka, kunjungannya ke sini pun juga tak melulu urusan bola basket (mengadakan pertandingan ekshibisi dan latihan terbuka). Ia juga bermaksud melakukan kampanye bahaya AIDS dan mengadakan malam dana untuk disumbangkan kepada Yayasan AIDS. "Penyuluhan soal AIDS lebih menyentuh kalau dilakukan penderitanya secara langsung," kata Nona Poeroe Utama, Direktur Pelaksana Yayasan AIDS. Rencana yang bagus tak selalu mulus. Tanda-tanda rencana itu bakal berantakan sudah terlihat sejak dua pekan lalu tatkala Dirjen Imigrasi Rony Sikap Sinuraya menyatakan tak akan memberikan izin masuk untuk Magic. "Ini sesuai dengan undang- undang keimigrasian," katanya. Ia merujuk undang-undang yang disahkan pada Maret 1992 lalu yang isinya antara lain: pejabat imigrasi dapat menolak atau tak memberi izin kepada orang asing untuk masuk ke wilayah Indonesia apabila orang itu menderita gangguan jiwa atau penyakit menular yang membahayakan kesehatan umum. Sikap Rony itu didukung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). "Menolak kemudaratan hendaknya lebih didahulukan daripada mencari kemaslahatan," kata Ketua MUI K.H. Hasan Basri. Sebaliknya ada juga yang tak setuju dengan sikap Rony itu. Sebut saja Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kartono Mohamad. Ia mengirimkan surat terbuka lewat harian Kompas yang isinya menyayangkan beleid Dirjen Imigrasi itu. "Jika infeksi HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit berbahaya, karena menular dan mematikan, maka seharusnya pendatang yang mengidap TBC (yang juga menular dan mematikan) juga harus ditolak," katanya. Kartono juga berkomentar sudah seharusnya semua pendatang -- termasuk turis -- yang masuk ke Indonesia dites apakah darahnya mengandung virus HIV. Jadi, perlakuan ini tak hanya diterapkan kepada Magic, yang kebetulan mau berterus terang bahwa dirinya terinfeksi virus HIV. Harus diakui bahwa penafsiran UU Keimigrasian yang menghadang Magic datang ke Jakarta itu, tampaknya, tak sejalan dengan Konvensi Wina yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia, Desember 1992. Isinya antara lain tak melakukan skrining dan tak menolak kedatangan pengidap AIDS ke Indonesia. Karena itu, ada pengamat yang menyimpulkan bahwa keputusan pembatalan ini sebenarnya datang dari Pemerintah. "Hanya saja Pemerintah menghadapi dilema. Kalau Magic dibiarkan masuk ke Indonesia, artinya melanggar UU keimigrasian. Tapi kalau melarang masuk, berarti Pemerintah mengingkari Konvensi Wina. Untung saja panitianya mau dikorbankan, sehingga tak ada yang kehilangan muka," katanya. Maka, tak terelakkan kalau muncul pro-kontra di kalangan pejabat dan tokoh masyarakat soal kedatangan Magic. Pro-kontra yang terjadi ini rupanya masih barang tabu, sehingga diterjemahkan -- setidaknya oleh panitia penyelenggara -- sebagai ancaman buat stabilitas nasional. Itu sebabnya pihak panitia mengambil inisiatif membatalkan kedatangan Magic. Keputusan sepihak ini tentu saja mengagetkan. "Oo..., Pemerintah sama sekali belum mengambil keputusan apa pun. Ini kan baru dibahas, eh, tahu-tahu pihak panitia sendiri yang membatalkan," kata Menteri Pemuda dan Olahraga Hayono Isman. Ia berucap menyayangkan pembatalan itu. Bagaimanapun, katanya, kedatangan Magic Johnson membawa makna positif, agar generasi muda Indonesia tak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dialaminya. "Kalau Magic datang ke Indonesia dianggap dapat menularkan AIDS, ya saya agak mempertanyakan pendapat ini," katanya. Tapi yang jelas-jelas bakal buntung gara-gara pembatalan ini adalah sang promotor, Ary Sudarsono. "Wah, saya harus menanggung beban menjaga kredibilitas saya sebagai promotor, dan juga nama baik Indonesia di mata internasional," keluhnya. Padahal, katanya, ia mengaku sudah mengeluarkan uang panjar sebesar Rp 200 juta sebagai "tanda jadi" kepada pihak manajemen "Magic Johnson All Stars" -- dari keseluruhan Rp 800 juta. Betulkah sudah tertutup kemungkinan Magic ke sini? Menurut Direktur POINT, Marcel, kedatangan Magic hanya kami tunda sekitar 2 sampai 3 tahun mendatang. Soalnya, pada waktu itulah diperkirakan, "Masyarakat Indonesia siap dalam menyerap dan mengolah informasi tentang AIDS," katanya. Mudah-mudahan saja Magic punya umur panjang dan masih sehat dua atau tiga tahun lagi. Semoga penggemar basket di sini bisa kesampaian melihat langsung kebolehannya menggiring, mengumpan, dan memasukkan bola ke keranjang tanpa melihat -- dan tanpa mengganggu stabilitas.Ahmed K. Soeriawidjaja, Linda Djalil, dan Andi R. Rohadian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini