Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan Sahbirin Noor terhadap KPK dianggap janggal.
Sejumlah pakar hukum menilai KPK bisa dengan udah menetapkan lagi Paman Birin sebagai tersangka karena putusan tersebut tak menghapus tindak pidananya.
Ada yang meragukan KPK akan mengambil langkah tersebut.
Sejumlah pakar hukum mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi segera kembali menetapkan mantan Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor sebagai tersangka. Mereka menilai putusan praperadilan yang memenangkan Sahbirin atas KPK pada Selasa, 12 November 2024, tak menyentuh materi perkara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai putusan praperadilan hanya menyinggung sah-tidaknya prosedur penetapan Sahbirin sebagai tersangka. Putusan itu tidak menyentuh materi kasus korupsi yang sedang ditelusuri KPK. Dengan begitu, menurut Fickar, putusan praperadilan itu tak menghapus tindak pidana yang ada. “Tinggal dipenuhi saja prosedur penetapan tersangka,” katanya kepada Tempo, Kamis, 14 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan Sahbirin terhadap KPK. Hakim tunggal Afrizal menyatakan penetapan tersangka terhadap Sahbirin serta surat perintah penyidikannya tidak sah. Dalam pertimbangannya, hakim menyebutkan KPK telah berbuat sewenang-wenang karena menetapkan Paman Birin—begitu sebutan untuk Sahbirin—sebagai tersangka tanpa memeriksa lebih dulu. Afrizal menyatakan Sahbirin tidak bisa langsung ditetapkan sebagai tersangka karena tak terjaring dalam operasi tangkap tangan yang digelar KPK pada 6 Oktober 2024.
Dalam OTT itu, KPK meringkus 17 orang. KPK menyatakan mereka tertangkap dalam kasus suap pengaturan pemenang proyek tiga fasilitas di Kawasan Olahraga Terpadu Kalimantan Selatan di Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru. Ketiga proyek tersebut adalah pembangunan lapangan sepak bola dan kolam renang di kompleks Kawasan Olahraga Terpadu masing-masing senilai Rp 23,2 miliar dan Rp 9,1 miliar. Proyek ketiga adalah pembangunan gedung sistem administrasi manunggal satu atap senilai Rp 22,2 miliar.
KPK juga menyita uang total Rp 12 miliar plus US$ 500 dalam operasi tersebut. Sahbirin memang tak ikut tertangkap. Namun, dalam operasi tersebut, KPK menemukan sejumlah catatan yang menyatakan bahwa uang itu akan dialirkan kepada Sahbiri. Selain itu, ada bukti percakapan elektronik yang memperlihatkan keterlibatan paman pengusaha Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam tersebut sehingga KPK kemudian ikut menetapkannya sebagai tersangka.
Fickar berpendapat langkah KPK menetapkan Sahbirin sebagai tersangka sudah benar. Dia mengkritik putusan PN Jakarta Selatan yang menyatakan KPK seharusnya memeriksa lebih dulu Sahbirin sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Secara yuridis, menurut Fickar, syarat penetapan tersangka adalah adanya dua alat bukti yang menunjukkan keterlibatan seseorang dalam tindak pidana tersebut. Alat bukti itu bisa berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kata Fickar, pun tak mengatur syarat seseorang harus diperiksa lebih dulu sebagai saksi sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Selain itu, Fickar menyatakan hakim seharusnya merujuk pada Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Alasannya, kasus Sahbirin ini merupakan kasus korupsi yang diatur secara lex specialis dalam kedua undang-undang tersebut. “Di sinilah hakim bermain, seolah-olah tidak ada prinsip lex specialis,” ujarnya.
Karena itu, Fickar mendesak KPK segera kembali menetapkan Paman Birin sebagai tersangka. Menurut dia, hal itu penting agar penyidikan terhadap tersangka lain dalam kasus ini tidak berantakan. “Pasti akan ada kekusutan dengan yang sudah (menjadi) tersangka sewaktu di OTT (jika Sahbirin tak segera kembali ditetapkan),” ujarnya.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, juga mengkritik putusan praperadilan PN Jakarta Selatan yang membatalkan status tersangka Sahbirin. Pertama, Zaenur mempermasalahkan langkah PN Jakarta Selatan yang tetap memproses gugatan ini meski KPK menyatakan Sahbirin melarikan diri.
Merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018, menurut Zaenur, seseorang yang melarikan diri tak bisa mengajukan praperadilan. Dia menyatakan orang tersebut tak harus berstatus masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Dalam surat edaran itu, menurut dia, aturannya menggunakan rumusan alternatif. Artinya, bisa dalam status melarikan diri, bisa sebagai DPO. “Jadi, tidak harus dalam bentuk ditetapkan masuk dalam DPO, melainkan cukup berstatus melarikan diri,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Zaenur mengakui ada kejanggalan dari sisi KPK karena tak segera memburu Sahbirin setelah OTT. KPK juga tak segera memanggil dan memasukkan Sahbirin dalam DPO. Hal itu, menurut dia, menjadi tanda tanya bagi keseriusan KPK dalam mengusut kasus korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.
Sama seperti Fickar, Zaenur menilai tak ada ketentuan dalam KUHAP ataupun undang-undang lain yang menyatakan KPK harus memeriksa seseorang sebelum menetapkannya sebagai tersangka. Apalagi, menurut dia, Sahbirin menjadi tersangka dari rangkaian OTT yang dilakukan tim penyidik KPK. Zaenur pun meminta KPK, Komisi Yudisial, dan Badan Pengawasan MA mengawasi hakim yang menyidangkan perkara praperadilan guna memastikan unsur-unsur nonhukum yang mempengaruhi putusan. “Saya tidak melihat KPK melakukan kesalahan dalam pemenuhan prosedur acara. Hanya dari sisi strategi,” ujarnya.
Karena itu, Zaenur menilai KPK harus segera menindaklanjuti putusan praperadilan Sahbirin. Dia mengingatkan KPK agar memenuhi unsur-unsur formil dalam penetapan tersangka kedua kalinya ini supaya tidak kembali gagal jika menghadapi gugatan serupa. “Kemudian proses lagi, tetapkan sebagai tersangka lagi. Kalau KPK berhenti, tidak melanjutkan ke proses berikutnya, saya menduga KPK berada dalam tekanan atau intervensi,” ucapnya.
Zaenur menilai kasus Sahbirin adalah ujian keseriusan KPK. Keberanian KPK menetapkan Sahbirin sebagai tersangka, menurut Zaenur, perlu diapresiasi. Karena itu, dia meminta KPK memperbaiki prosedur hukum dalam penanganan perkara ini. Dia juga meminta KPK segera menahan Sahbirin jika sudah kembali berstatus tersangka. Hal itu, menurut dia, penting agar Sahbirin tidak melarikan diri, mengulangi perbuatan, atau menghilangkan barang bukti.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana menilai KPK bisa dengan mudah kembali menetapkan Sahbirin sebagai tersangka. Namun dia pesimistis langkah itu akan dilakukan. “Periksa Sahbirin, penuhi dua alat bukti. Tapi saya sama sekali tidak yakin KPK berani dan mau melakukannya,” ujarnya.
Denny yakin hal itu karena menilai KPK saat ini mudah diintervensi oleh kekuasaan dan faktor nonhukum lain. Hal itu, menurut dia, tak lepas dari posisi KPK yang bukan lagi lembaga independen secara institusional. Selain itu, Denny menambahkan, pucuk-pucuk pimpinan KPK saat ini diisi oleh orang-orang yang problematik serta tidak tegar dalam melawan koruptor. “Saya duga bukan semata-mata persoalan hukum. Banyak faktor lain nonhukum yang berpilin kelindan sehingga hukum tidak independen dan jauh dari semangat keadilan antikorupsi,” ujarnya.
Juru bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto, memberikan keterangan prihal surat perintah penangkapan terhadap Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 11 November 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Salah satu indikasi adanya intervensi dalam penanganan kasus ini, menurut Denny, adalah karena KPK tak segera memburu Sahbirin dan menetapkannya sebagai DPO. Dia menilai hal itu adalah indikasi kuat adanya penyimpangan dalam penegakan hukum karena kesalahannya terlalu mendasar untuk dilakukan dalam kondisi normal. Terlebih jika ditarik ke belakang, kasus yang terkait dengan kelompok dan keluarga Sahbirin tak pernah tuntas ditangani KPK.
Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menjawab diplomatis saat ditanya soal desakan berbagai pihak agar mereka segera menetapkan ulang Sahbirin sebagai tersangka. Dia menyampaikan bahwa sampai saat ini mereka belum bisa memutuskan karena masih menunggu salinan resmi putusan praperadilan. “Masih menunggu salinan resmi putusan praperadilan lengkap,” ucapnya kepada Tempo.
Sahbirin mundur dari jabatan Gubernur Kalimantan Selatan sehari setelah memenangi gugatan praperadilan melawan KPK. Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya mengatakan Sahbirin telah mengirimkan surat pengunduran diri tersebut. “Ya, betul (mengundurkan diri), mengirimkan surat ke Presiden dan DPRD (Kalimantan Selatan),” katanya melalui pesan pendek pada Rabu, 13 November 2024.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo