KEJADIAN lenyapnya empat nyawa di lepas pantai Belang, di
sebelah timur Minahasa Selatan tengah Desember yang lalu, masih
tetap merupakan misteri juga. Usaha penyelidikan yang dilakukan
oleh hamba hukum, maupun oleh pihak keluarga yang kehilangan
anggotanya tampak bagaikan usaha menguras air laut yang tak
pernah kering. Selama itu pula pipi orangtua yang kehilangan
anak-anaknya masih tetap basah. Inilah kasus yang dibawa oleh
sebuah kapal kecil penangkap ikan, bernama Samuderaku, milik CV
Difinisi Jaya di Bitung.
Pada 8 Desember 1975 tengah malam kapal tersebut angkat sauh
dari bandar laut Belang, yang masih termasuk perairan Maluku
itu. Dengan dikemudikan Pembantu Nakhoda Piet Hein Pontoh
bersama 15 awak kapal ditambah dua anak laki-laki dari Desa
Borgo Belang. Samuderaku bertolak menuju Basaan. Selesai
mengambil ikan kecil untuk dijadikan umpan di Basaan, malam itu
juga kapal ini melangsungkan pelayarannya ke arah timur untuk
menangkap ikan cakalang atau tuna. Keesokan harinya puncak
gunung Mangkit di daratan Belang nampak hampir terbenam di
permukaan laut --menandakan kapal ini sudah jauh berlayar.
Tapi tiba-tiba kapal motor yang digerakkan oleh tenaga diesel
berkekuatan 60 PK ini, mengepulkan asap mubazir pada bagian
mesin. Tak pelak lagi, telah terjadi kerusakan, sehingga mesin
segera dimatikan. Walaupun kerusakan ternyata hanya selip
kopling. tapi ketika mesin hendak dihidupkan lagi, musibah lain
muncul. "Tabung angin buat menghidupkan mesin telah kosong
karena tanpa diketahui katub tabung itu telah terbuka", begitu
tutur Liem Beng Oen, sang pemilik kapal. Sampai di sini
Samuderaku tak dapat lagi menentukan arah sendiri selain
menyerah pada arus dan kehendak gelombang laut. Kemungkinan
hanyut tak terelakkan lagi, lebih dari itu bahaya lain yang tak
kalah ngerinya ialah kehabisan persediaan pangan dan air tawar.
Hal terakhir ini sudah terbayang, sementara laut Maluku nampak
polos tanpa mahluk lain yang dapat mengulur tangan pertolongan.
Hari kedua persediaan beras dan airtawar habis. Apa boleh buat,
perut serta kerongkongan yang mulai kering cukup dibujuk dengan
sedikit bubur. Hari ketiga ada dua ekor ikan gorango yang
berhasil ditangkap buat penangkis lapar, meski tak sanggup buat
menghapus dahaga dan menghalau panik yang semakin menjadi. Hari
keempat idem dito, selain bersandar pada daging gorango, mereka
berharap melalui sembahyang yang semakin rajin diadakan. Hari
kelima. kepanikan melanda hampir semua awak. Soalnya kapal
terasa semakin hanyut jauh di siang hari, walaupun di malam hari
layar darurat yang dipasang agak merapatkan kapal ke daratan.
Pada hari terakhir ini timbul nekad pada beberapa awak buat
meninggalkan kapal. Dua awak masing-masing Lengkong Mapal dan
Agusalim Asagaf, bersama dua anak yang jadi penumpang gelap,
Fadli Ntoma dan Siswan Abraham -- yang ingin bertualang dengan
kapal tanpa diketahui orang tua -- merupakan gelombang pertama
yang terjun ke laut untuk pulang ke darat. Fadli dan Siswan
berenang dengan menggunakan sepotong papan, sedangkan dua awak
kapal, yang seorang berenang bebas dan seorang lagi memakai
sebuah galon. Sepuluh menit kemudian 6 awak lainnya terjun
sebagai -- pendarat gelombang ke II. Kemudian beberapa saat
disusul oleh Pembantu Nakhoda Pontoh, yang menurut berita acara
Polisi Belang, "untuk mencegah anak buahnya yang telah
meninggalkan kapal" sesuai tutur Pontoh sendiri. Usaha sang
Nakhoda tercatat berhasil menyuruh penerjun gelombang kedua
kembali ke kapal, tapi tidak berhasil mencapai gelombang pertama
yang telah lenyap dari pandangan mata -- dan hilang untuk
seterusnya.
Beberapa saat sesudah Nakhoda bersama anakbuahnya berada kembali
di kapal, terlihat ada sebuah kapal lain sedang melintas.
Setelah diadakan komunikasi dengan bendera -- satu-satunya alat
perhubungan yang diandalkan pada kapal kecil ini -- SOS mereka
mendapat jawaban dengan merapatnya sang penolong yang ternyata
adalah LCM Samada milik PT Taliabu Timber yang saat itu sedang
berlayar menuju Taliabu. Samada langsung memberi pertolongan
kepada seluruh awak Samuderaku sambil menggandeng kapal rusak
ini meneruskan perjalanan. Di saat Samuderaku sedang digandeng
oleh Samada, Km Kastor, yang ditugaskan oleh pemilik untuk
mencari rekannya Samuderaku -- yang sudah lima hari tidak ada
berita itu -- menemukan apa yang dicarinya selama tiga hari.
Setelah diadakan serah terima dengan Samada, Kastor membawa
pulang kapal yang bernasib naas itu ke Belang. Di Belang 14 awak
kapal ini langsung dirawat di rumah sakit, kemudian baru mereka
berurusan dengan Polisi untuk pengusutan.
Masuk Gereja
Sementara itu masyarakat Belang terutama pihak keluarga yang
kehilangan anak, menuntut nyawa Fadli dan Siswan. "Mengapa
justeru kedua anak kecil itu yang hilang sedangkan para awak
kapal selamat" begitu keluh fihak orang tua dengan nada kurang
yakin akan semua alasan kecelakaan yang dituturkan para awak
kapal. Keadaan lebih gawat lagi beberapa hari kemudian ketika
pemilik kapal, diam-diam menyewa Km. Wahyu untuk menyeret dan
melarikan Km Samuderaku tengah malam dari Belang ke Bitung,
biarpun kapal tersebut sedang dalam penahanan polisi. Tak ayal
lagi pihak keluarga mengamuk dan menyatakan unjuk rasa pada
fihak berwajib seakan urusan nyawa anak mereka hendak
dibungkamkan. Selebihnya timbul tuntutan, sampai di mana
tanggung jawab Nakhoda mengenai ikutnya kedua anak tersebut di
atas kapal, sampai mereka tak kembali lagi ke darat. Polisi
terpaksa memperdalam pengusutan. Fihak Syahbandar Belang harus
ikut pula membuka berkas menyelusuri jejak Samuderaku .
"Yang terdaftar sebagai Nakhkoda Km Samuderaku adalah Yance Beta
-- tapi ternyata yang mengemudikan kapal dalam peristiwa itu
adalah pembantunya P.H. Pontoh" tutur Willy A. Kosakoj. wakil
Syahbandar Belang pada TEMPO. "Jelas ini melanggar peraturan
kesyahbandaran karena tak ada berita acara serah terima" ucapnya
pula. Lebih dari itu menurut Kosakoy adanya keteledoran fihak
pemilik kapal -- karena kurangnya persediaan pangan dan minum di
atas kapal, sebab yang tersedia hanya cukup untuk sehari.
Mengenai sertifikat lambung timbul kapal tersebut, menurut
Kosakoy, berakhir 4 Pebruari 1976, atas nama pemiliknya Yenny
Wuisan, isteri dari Liem Beng Oen pengusaha WNA di Bitung. Juga
pembantu Nakhoda Pontoh belum sempat memperlihatkan SKK (surat
keterangan kecakapan) untuk Mualim Pelayaran Terbatas -- sebagai
tanda berhak mengemudikan kapal. Pasal Nakhoda Yance Beta yang
konon tetap berada di Bitung ketika kapalnya sedang berlayar,
menurut pemilik kapal, "ia sedang minta libur untuk masuk
gereja".
Tidak Puas
Komandan Kepolisian Sektor Belal. Peltu A.D. Mokodongan yang
menangan pengusutan kasus ini, menjelaskan kepada TEMPO bahwa
perkara ini tak lama lagi akan diserahkan ke kejaksaan untuk
dibawa ke pengadilan. "Tinggal menunggu keterangan dari saksi
Nakhoda LCM Samada" tutur Mokodongan. Tak lupa polisi pengusut
ini menyesalkan tak tersedianya alat pelampung pada Samuderaku,
di samping menyesalkan pula ulah pemilik kapal yang agaknya
menganggap remeh wewenang para hamba hukum buat mengusut kasus
ini. Fihak keluarga yang kehilangan anak lain pula. "Sampai saat
ini saya tidak merasa puas, baik pada pemilik kapal maupun fihak
berwajib mengenai tindakan mereka sekitar hilangnya anak saya"
tutur Asri Abraham ayah dari Siswan dengan nada yang masih
berduka. "Sampai Pebruari ini sudah tiga kali kami mengadakan
usaha pencarian dengan kapal sampai ke perairan Sulawesi Tengah.
Dan ini kami lakukan dengan biaya kami sendiri didorong oleh
harapan yang diberikan oleh pemilik kapal bahwa kemungkinan anak
kami masih hidup. Atau setidak-tidaknya kami mendapat bukti di
laut bahwa anak kami memang sudah mati", keluhnya pula sambil
menambahkan: "Tapi menyesal kalau ada orang yang mau ngobyek di
atas mayat anak saya" tanpa menjelaskan apa yang dimaksud.
Sampai di mana pula usaha pemilik kapal dalam usaha ini? menurut
Liem Beng Oen, di samping sudah mengeluarkan cek Rp 20 ribu
untuk ongkos buat orang tua mengadakan usaha pencarian, "saya
juga sudah minta bantuan pihak ALRI dengan R.I. Tohok mengadakan
pencarian selama tiga hari sampai di perairan Maluku Utara",
kata WNA itu.
Scbegitu jauh kasus yang sedang menuju meja hijau ini, memang
masih berkabut. Apakah kecelakaan biasa atau ada motit lainnya?
Sementara itu memang ada muncul beberapa keterangan berlainan.
Pasal usaha Nakhoda Pontoh mencegah anak buahnya terjun ke laut,
masih diragukan. Perwakilan pemilik kapal Samuderaku di Belanda
menuturkan kepada TEMPO bahwa Pontoh termasuh di antara 7 orang
gelombang kedua yang terjun meninggalkan kapal. Kemudian sesudah
itu 7 awak yang masih tertinggal di kapal melihat kapal Samada
dan mereka meminta pertolongan. Ketika Samada mendekat, mereka
segera minta air minum dan menyuruh Samada menolong rekan-rekan
mereka yang sedang berenang termasuk sang Nakhoda". Keterangan
ini agak dibenarkan pula oleh oen (pemilik) yang mengatakan:
"Yang berenang terdiri dari tiga gelombang. Yang 4 orang, 3
orang dan 4 orang, termasuk Pontoh". Dengan adanya keterangan
yang tidak kompak ini, masih merupakan tanda tanya pula siapa
dua awak kapal Lenkong Mapal dan Agusalim Asagaf yang dinyatakan
hilang bersama Fadli dan Siswan. Sekurang-kurangnya siapa
keluarga mereka?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini