Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Samuderaku, o anakku

Kapal penangkap ikan "samuderaku" milik cv divisi jaya, di bitung mendapat kecelakaan. 2 anak sebagai penumpang gelap tewas, sedang awak kapal selamat. orang tua kedua anak tersebut menuntut kematiannya.(hk)

28 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJADIAN lenyapnya empat nyawa di lepas pantai Belang, di sebelah timur Minahasa Selatan tengah Desember yang lalu, masih tetap merupakan misteri juga. Usaha penyelidikan yang dilakukan oleh hamba hukum, maupun oleh pihak keluarga yang kehilangan anggotanya tampak bagaikan usaha menguras air laut yang tak pernah kering. Selama itu pula pipi orangtua yang kehilangan anak-anaknya masih tetap basah. Inilah kasus yang dibawa oleh sebuah kapal kecil penangkap ikan, bernama Samuderaku, milik CV Difinisi Jaya di Bitung. Pada 8 Desember 1975 tengah malam kapal tersebut angkat sauh dari bandar laut Belang, yang masih termasuk perairan Maluku itu. Dengan dikemudikan Pembantu Nakhoda Piet Hein Pontoh bersama 15 awak kapal ditambah dua anak laki-laki dari Desa Borgo Belang. Samuderaku bertolak menuju Basaan. Selesai mengambil ikan kecil untuk dijadikan umpan di Basaan, malam itu juga kapal ini melangsungkan pelayarannya ke arah timur untuk menangkap ikan cakalang atau tuna. Keesokan harinya puncak gunung Mangkit di daratan Belang nampak hampir terbenam di permukaan laut --menandakan kapal ini sudah jauh berlayar. Tapi tiba-tiba kapal motor yang digerakkan oleh tenaga diesel berkekuatan 60 PK ini, mengepulkan asap mubazir pada bagian mesin. Tak pelak lagi, telah terjadi kerusakan, sehingga mesin segera dimatikan. Walaupun kerusakan ternyata hanya selip kopling. tapi ketika mesin hendak dihidupkan lagi, musibah lain muncul. "Tabung angin buat menghidupkan mesin telah kosong karena tanpa diketahui katub tabung itu telah terbuka", begitu tutur Liem Beng Oen, sang pemilik kapal. Sampai di sini Samuderaku tak dapat lagi menentukan arah sendiri selain menyerah pada arus dan kehendak gelombang laut. Kemungkinan hanyut tak terelakkan lagi, lebih dari itu bahaya lain yang tak kalah ngerinya ialah kehabisan persediaan pangan dan air tawar. Hal terakhir ini sudah terbayang, sementara laut Maluku nampak polos tanpa mahluk lain yang dapat mengulur tangan pertolongan. Hari kedua persediaan beras dan airtawar habis. Apa boleh buat, perut serta kerongkongan yang mulai kering cukup dibujuk dengan sedikit bubur. Hari ketiga ada dua ekor ikan gorango yang berhasil ditangkap buat penangkis lapar, meski tak sanggup buat menghapus dahaga dan menghalau panik yang semakin menjadi. Hari keempat idem dito, selain bersandar pada daging gorango, mereka berharap melalui sembahyang yang semakin rajin diadakan. Hari kelima. kepanikan melanda hampir semua awak. Soalnya kapal terasa semakin hanyut jauh di siang hari, walaupun di malam hari layar darurat yang dipasang agak merapatkan kapal ke daratan. Pada hari terakhir ini timbul nekad pada beberapa awak buat meninggalkan kapal. Dua awak masing-masing Lengkong Mapal dan Agusalim Asagaf, bersama dua anak yang jadi penumpang gelap, Fadli Ntoma dan Siswan Abraham -- yang ingin bertualang dengan kapal tanpa diketahui orang tua -- merupakan gelombang pertama yang terjun ke laut untuk pulang ke darat. Fadli dan Siswan berenang dengan menggunakan sepotong papan, sedangkan dua awak kapal, yang seorang berenang bebas dan seorang lagi memakai sebuah galon. Sepuluh menit kemudian 6 awak lainnya terjun sebagai -- pendarat gelombang ke II. Kemudian beberapa saat disusul oleh Pembantu Nakhoda Pontoh, yang menurut berita acara Polisi Belang, "untuk mencegah anak buahnya yang telah meninggalkan kapal" sesuai tutur Pontoh sendiri. Usaha sang Nakhoda tercatat berhasil menyuruh penerjun gelombang kedua kembali ke kapal, tapi tidak berhasil mencapai gelombang pertama yang telah lenyap dari pandangan mata -- dan hilang untuk seterusnya. Beberapa saat sesudah Nakhoda bersama anakbuahnya berada kembali di kapal, terlihat ada sebuah kapal lain sedang melintas. Setelah diadakan komunikasi dengan bendera -- satu-satunya alat perhubungan yang diandalkan pada kapal kecil ini -- SOS mereka mendapat jawaban dengan merapatnya sang penolong yang ternyata adalah LCM Samada milik PT Taliabu Timber yang saat itu sedang berlayar menuju Taliabu. Samada langsung memberi pertolongan kepada seluruh awak Samuderaku sambil menggandeng kapal rusak ini meneruskan perjalanan. Di saat Samuderaku sedang digandeng oleh Samada, Km Kastor, yang ditugaskan oleh pemilik untuk mencari rekannya Samuderaku -- yang sudah lima hari tidak ada berita itu -- menemukan apa yang dicarinya selama tiga hari. Setelah diadakan serah terima dengan Samada, Kastor membawa pulang kapal yang bernasib naas itu ke Belang. Di Belang 14 awak kapal ini langsung dirawat di rumah sakit, kemudian baru mereka berurusan dengan Polisi untuk pengusutan. Masuk Gereja Sementara itu masyarakat Belang terutama pihak keluarga yang kehilangan anak, menuntut nyawa Fadli dan Siswan. "Mengapa justeru kedua anak kecil itu yang hilang sedangkan para awak kapal selamat" begitu keluh fihak orang tua dengan nada kurang yakin akan semua alasan kecelakaan yang dituturkan para awak kapal. Keadaan lebih gawat lagi beberapa hari kemudian ketika pemilik kapal, diam-diam menyewa Km. Wahyu untuk menyeret dan melarikan Km Samuderaku tengah malam dari Belang ke Bitung, biarpun kapal tersebut sedang dalam penahanan polisi. Tak ayal lagi pihak keluarga mengamuk dan menyatakan unjuk rasa pada fihak berwajib seakan urusan nyawa anak mereka hendak dibungkamkan. Selebihnya timbul tuntutan, sampai di mana tanggung jawab Nakhoda mengenai ikutnya kedua anak tersebut di atas kapal, sampai mereka tak kembali lagi ke darat. Polisi terpaksa memperdalam pengusutan. Fihak Syahbandar Belang harus ikut pula membuka berkas menyelusuri jejak Samuderaku . "Yang terdaftar sebagai Nakhkoda Km Samuderaku adalah Yance Beta -- tapi ternyata yang mengemudikan kapal dalam peristiwa itu adalah pembantunya P.H. Pontoh" tutur Willy A. Kosakoj. wakil Syahbandar Belang pada TEMPO. "Jelas ini melanggar peraturan kesyahbandaran karena tak ada berita acara serah terima" ucapnya pula. Lebih dari itu menurut Kosakoy adanya keteledoran fihak pemilik kapal -- karena kurangnya persediaan pangan dan minum di atas kapal, sebab yang tersedia hanya cukup untuk sehari. Mengenai sertifikat lambung timbul kapal tersebut, menurut Kosakoy, berakhir 4 Pebruari 1976, atas nama pemiliknya Yenny Wuisan, isteri dari Liem Beng Oen pengusaha WNA di Bitung. Juga pembantu Nakhoda Pontoh belum sempat memperlihatkan SKK (surat keterangan kecakapan) untuk Mualim Pelayaran Terbatas -- sebagai tanda berhak mengemudikan kapal. Pasal Nakhoda Yance Beta yang konon tetap berada di Bitung ketika kapalnya sedang berlayar, menurut pemilik kapal, "ia sedang minta libur untuk masuk gereja". Tidak Puas Komandan Kepolisian Sektor Belal. Peltu A.D. Mokodongan yang menangan pengusutan kasus ini, menjelaskan kepada TEMPO bahwa perkara ini tak lama lagi akan diserahkan ke kejaksaan untuk dibawa ke pengadilan. "Tinggal menunggu keterangan dari saksi Nakhoda LCM Samada" tutur Mokodongan. Tak lupa polisi pengusut ini menyesalkan tak tersedianya alat pelampung pada Samuderaku, di samping menyesalkan pula ulah pemilik kapal yang agaknya menganggap remeh wewenang para hamba hukum buat mengusut kasus ini. Fihak keluarga yang kehilangan anak lain pula. "Sampai saat ini saya tidak merasa puas, baik pada pemilik kapal maupun fihak berwajib mengenai tindakan mereka sekitar hilangnya anak saya" tutur Asri Abraham ayah dari Siswan dengan nada yang masih berduka. "Sampai Pebruari ini sudah tiga kali kami mengadakan usaha pencarian dengan kapal sampai ke perairan Sulawesi Tengah. Dan ini kami lakukan dengan biaya kami sendiri didorong oleh harapan yang diberikan oleh pemilik kapal bahwa kemungkinan anak kami masih hidup. Atau setidak-tidaknya kami mendapat bukti di laut bahwa anak kami memang sudah mati", keluhnya pula sambil menambahkan: "Tapi menyesal kalau ada orang yang mau ngobyek di atas mayat anak saya" tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Sampai di mana pula usaha pemilik kapal dalam usaha ini? menurut Liem Beng Oen, di samping sudah mengeluarkan cek Rp 20 ribu untuk ongkos buat orang tua mengadakan usaha pencarian, "saya juga sudah minta bantuan pihak ALRI dengan R.I. Tohok mengadakan pencarian selama tiga hari sampai di perairan Maluku Utara", kata WNA itu. Scbegitu jauh kasus yang sedang menuju meja hijau ini, memang masih berkabut. Apakah kecelakaan biasa atau ada motit lainnya? Sementara itu memang ada muncul beberapa keterangan berlainan. Pasal usaha Nakhoda Pontoh mencegah anak buahnya terjun ke laut, masih diragukan. Perwakilan pemilik kapal Samuderaku di Belanda menuturkan kepada TEMPO bahwa Pontoh termasuh di antara 7 orang gelombang kedua yang terjun meninggalkan kapal. Kemudian sesudah itu 7 awak yang masih tertinggal di kapal melihat kapal Samada dan mereka meminta pertolongan. Ketika Samada mendekat, mereka segera minta air minum dan menyuruh Samada menolong rekan-rekan mereka yang sedang berenang termasuk sang Nakhoda". Keterangan ini agak dibenarkan pula oleh oen (pemilik) yang mengatakan: "Yang berenang terdiri dari tiga gelombang. Yang 4 orang, 3 orang dan 4 orang, termasuk Pontoh". Dengan adanya keterangan yang tidak kompak ini, masih merupakan tanda tanya pula siapa dua awak kapal Lenkong Mapal dan Agusalim Asagaf yang dinyatakan hilang bersama Fadli dan Siswan. Sekurang-kurangnya siapa keluarga mereka?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus