Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Karena amplop itu ...

Bln agt 1976, 4 wartawan dipecat sementara oleh pwi cabang jakarta dengan dakwaan pemerasan. langkah-angkah yang patut dihargai, tapi pwi tidak membedakan hukuman untuk tersangka pemerasan dan penerima uang suap.

28 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR tahun 60-an, ada beberapa surat kabar yang terkejut. Ternyata pergi ke konperensi pers tertentu sama harganya dengan selembar amplop. Mula-mula berisi beberapa ratus rupiah. Kemudian meningkat jadi beberapa lembar ribuan. Pada awalnya penerimaan amplop itu harus dianggap fakultatif. Tetapi perjalanan waktu merubah proses itu jadi, kadang-kadang, ikatan wajib. Namun reaksi yang timbul terasa berbeda-beda. Tergantung bagaimana orang menilai kehormatannya. Di Vietnam Selatan beberapa tahun yang lalu, para koresponden serta-merta meninggalkan ruang konperensi pers, sebagai protes ketika menjumpai amplop berisi uang sudah disediakan untuk dibawa pulang. Di Tanjung Priok, juga beberapa tahun yang lewat, ada wartawan yang melarikan diri dari tingkat atas ke tingkat bawah gedung bertingkat, dan segera kabur dari penyodor amplop yang barangkali mengira ia seorang pelupa. Di ibukota Jakarta pernah ada surat kabar yang punya kebiasaan mengumpulkan amplop semacam itu, dan menyerahkan selumh isinya kepada badan bantuan sosial. Di pihak lain, penyelenggara konperensi pers juga tidak jarang ragu apakah benar proses ini sudah melembaga. Seorang pemimpin (bekas) perusahaan negara bercerita, bahwa ia harus mengeluarkan dompet dari kantongnya sendiri. Ia tidak punya kebijaksanaan menyisihkan imbalan seperti itu dalam anggaran perusahaannya. Ia tidak memahami senda-gurau yang kini sudah hampir lapuk di kalangan wartawan, bahwa "berita obyektif" adalah "berita yang ada obyeknya". Sebaliknya mungkin ia juga tidak tahu persis apakah imbalan tu memang atas kehendak para undangan, atau hanya prakarsa bagian Hubungan Masyarakatnya sendiri, yang mengira salesmanshipnya akan lebih berhasil melalui cara ini. Proses ini yang kemudian meluas dan membesar. Barangkali dapat juga dikatakan sebagai akibat lemahnya dasar ekonomis media massa di negeri kita. Sudah tentu kebiasaan ini lalu diperkuat oleh pengaruh lingkungan yang tak terkendalikan. Kini orang boleh jadi sudah tak teringat lagi pada latar-belakang ekonomis itu. Media yang cukup kuat pun terbawa arus, oleh masih banyaknya rekan yang ekonomis lemah. Atau merasa terpenca, aneh dan seolah-olah menderita kelainan, bila harus menentang arus lingkungan. KASUS 19 WARTAWAN Perkembangan tingkat berikut adalah timbulnya peristiwa lebih serius, seperti dilaporkan akhir-akhir ini. Agustus tahun lalu empat wartawan ibukota dipecat sementara oleh PWI cabang Jakarta Raya, karena dakwaan pemerasan. Bulan berikutnya, lagi 10 rekan mereka mengalami nasib yang sama dengan tuduhan menerima uang suap. Akhir Januari tahun ini menyusul 19 wartawan, yang juga karena sangkaan terlibat penyogokan, dikenakan "hukuman organisatoris" (bukan pemecatan, tetapi hanya mengembalikan uang yang mereka terima sambil meminta maaf kepada pemimpin redaksi masing-masing dan PWI Jaya). Langkah-langkah PWI itu layak dihargai. Apalagi bila diteruskan secara konsekwen. Apa yang kini diketahui konon baru satu sudut kecil. Sebaliknya kalangan pers sendiri dapat bingung karena "hukuman" PWI Jaya tampak indiskriminatif. Tidak dibedakan tindakan organisatoris terhadap pelanggaran yang berlainan, misalnya antara sangkaan "pemerasan" dan"penerimaan uang suap. Tuduhan-tuduhan itu sampai kini masih terus mengambang tak tentu arah. Soal pemrasan misalnya, tidak pernah dibuktikan secara hukum. Meskipun ada komentar surat kabar yang cenderung menyebutnya sebagai tindak pidana. Setidak-tidaknya perlu penilaian Dewan Kehormatan PWI, apakah benar terjadi pelanggaran terhadap kode' etik jurnalistik atau tidak. Berdasarkan pendapat Dewan Kehormatan, PWI Pusat dapat menentukan sikap membenarkan atau menolak keputusan cabang. Kalau tersangka belum puas, ia masih dapat berhadapan dengan Kongres sebagai instansi terakhir. Melalui mekanisme kontrol yang panjang ini berarti vonnis tidak dijatuhkan sebelum soalnya jelas final. Meski kedengarannya ruwet, rupanya rata-rata lembaga di negara berkembang -- atau semua negara -- membutuhkan kontrol bersusun. Penyelesaian serupa ini oleh PWI diperlukan. Bukan hanya untuk menjernihkan masalah yang melibatkan dunia pers di depan umum. Juga untuk menciptakan ketenteraman di kalangan wartawan. Bila mekanisme kontrol dalam tubuh pers atau PWI sendiri tidak bisa berjalan sepenuhnya, kita khawatir bisikan sang fatalis akan jadi benar: bahwa kita hanya partikel kecil, yang tidak bisa berdiri sendiri. Bagian yang menunggal dengan lingkungan, yang bobrok -- tanpa memiliki daya menyelamatkan diri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus