AKHIR tahun 60-an, ada beberapa surat kabar yang terkejut.
Ternyata pergi ke konperensi pers tertentu sama harganya dengan
selembar amplop. Mula-mula berisi beberapa ratus rupiah.
Kemudian meningkat jadi beberapa lembar ribuan. Pada awalnya
penerimaan amplop itu harus dianggap fakultatif. Tetapi
perjalanan waktu merubah proses itu jadi, kadang-kadang, ikatan
wajib. Namun reaksi yang timbul terasa berbeda-beda. Tergantung
bagaimana orang menilai kehormatannya.
Di Vietnam Selatan beberapa tahun yang lalu, para koresponden
serta-merta meninggalkan ruang konperensi pers, sebagai protes
ketika menjumpai amplop berisi uang sudah disediakan untuk
dibawa pulang. Di Tanjung Priok, juga beberapa tahun yang lewat,
ada wartawan yang melarikan diri dari tingkat atas ke tingkat
bawah gedung bertingkat, dan segera kabur dari penyodor amplop
yang barangkali mengira ia seorang pelupa. Di ibukota Jakarta
pernah ada surat kabar yang punya kebiasaan mengumpulkan amplop
semacam itu, dan menyerahkan selumh isinya kepada badan bantuan
sosial.
Di pihak lain, penyelenggara konperensi pers juga tidak jarang
ragu apakah benar proses ini sudah melembaga. Seorang pemimpin
(bekas) perusahaan negara bercerita, bahwa ia harus mengeluarkan
dompet dari kantongnya sendiri. Ia tidak punya kebijaksanaan
menyisihkan imbalan seperti itu dalam anggaran perusahaannya. Ia
tidak memahami senda-gurau yang kini sudah hampir lapuk di
kalangan wartawan, bahwa "berita obyektif" adalah "berita yang
ada obyeknya". Sebaliknya mungkin ia juga tidak tahu persis
apakah imbalan tu memang atas kehendak para undangan, atau hanya
prakarsa bagian Hubungan Masyarakatnya sendiri, yang mengira
salesmanshipnya akan lebih berhasil melalui cara ini.
Proses ini yang kemudian meluas dan membesar. Barangkali dapat
juga dikatakan sebagai akibat lemahnya dasar ekonomis media
massa di negeri kita. Sudah tentu kebiasaan ini lalu diperkuat
oleh pengaruh lingkungan yang tak terkendalikan. Kini orang
boleh jadi sudah tak teringat lagi pada latar-belakang ekonomis
itu. Media yang cukup kuat pun terbawa arus, oleh masih
banyaknya rekan yang ekonomis lemah. Atau merasa terpenca, aneh
dan seolah-olah menderita kelainan, bila harus menentang arus
lingkungan.
KASUS 19 WARTAWAN
Perkembangan tingkat berikut adalah timbulnya peristiwa lebih
serius, seperti dilaporkan akhir-akhir ini. Agustus tahun lalu
empat wartawan ibukota dipecat sementara oleh PWI cabang Jakarta
Raya, karena dakwaan pemerasan. Bulan berikutnya, lagi 10 rekan
mereka mengalami nasib yang sama dengan tuduhan menerima uang
suap. Akhir Januari tahun ini menyusul 19 wartawan, yang juga
karena sangkaan terlibat penyogokan, dikenakan "hukuman
organisatoris" (bukan pemecatan, tetapi hanya mengembalikan uang
yang mereka terima sambil meminta maaf kepada pemimpin redaksi
masing-masing dan PWI Jaya).
Langkah-langkah PWI itu layak dihargai. Apalagi bila diteruskan
secara konsekwen. Apa yang kini diketahui konon baru satu sudut
kecil.
Sebaliknya kalangan pers sendiri dapat bingung karena "hukuman"
PWI Jaya tampak indiskriminatif. Tidak dibedakan tindakan
organisatoris terhadap pelanggaran yang berlainan, misalnya
antara sangkaan "pemerasan" dan"penerimaan uang suap.
Tuduhan-tuduhan itu sampai kini masih terus mengambang tak tentu
arah. Soal pemrasan misalnya, tidak pernah dibuktikan secara
hukum. Meskipun ada komentar surat kabar yang cenderung
menyebutnya sebagai tindak pidana. Setidak-tidaknya perlu
penilaian Dewan Kehormatan PWI, apakah benar terjadi pelanggaran
terhadap kode' etik jurnalistik atau tidak. Berdasarkan pendapat
Dewan Kehormatan, PWI Pusat dapat menentukan sikap membenarkan
atau menolak keputusan cabang. Kalau tersangka belum puas, ia
masih dapat berhadapan dengan Kongres sebagai instansi terakhir.
Melalui mekanisme kontrol yang panjang ini berarti vonnis tidak
dijatuhkan sebelum soalnya jelas final.
Meski kedengarannya ruwet, rupanya rata-rata lembaga di negara
berkembang -- atau semua negara -- membutuhkan kontrol bersusun.
Penyelesaian serupa ini oleh PWI diperlukan. Bukan hanya untuk
menjernihkan masalah yang melibatkan dunia pers di depan umum.
Juga untuk menciptakan ketenteraman di kalangan wartawan.
Bila mekanisme kontrol dalam tubuh pers atau PWI sendiri tidak
bisa berjalan sepenuhnya, kita khawatir bisikan sang fatalis
akan jadi benar: bahwa kita hanya partikel kecil, yang tidak
bisa berdiri sendiri. Bagian yang menunggal dengan lingkungan,
yang bobrok -- tanpa memiliki daya menyelamatkan diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini