BUPATI Karangasem mulai tersenyum. Sebuah tempat peristirahatan
indah di atas bukit Putung, 17 km dari Amlapura sudah hampir
rampung, bahkan kini sudah mulai operasi seadanya. Sebuah wisma
2 kamar tidur, sebuah bar mini, sebuah restoran yang memanjang
dan sebuah patung "gadis desa", yang semuanya itu menelan biaya
Rp 12,5 juta diresmikan Desember lalu. Dan yang segera
dikerjakan dengan bantuan PB I Kabupaten Badung adalah 2 buah
tempat duduk melamun yang disebut "Balai Bengong". Lalu 3 buah
wisma lagi, se- buah panggung terbuka yang apalagi kalau bukan
untuk turis, dan pengaspalan jalan 1,8 km. Untuk semua itu baru
tersedia uang Rp 13 juta.
Yang melegakan Bupati Karang -- kini mulai menanggalkan nama
bangsawan Anak Agung Gde-nya -- adalah cita-cita sedari tahun
1973 itu terwujud, menjadikan Bukit Putung sebagai "tujuan
wisata tak ada duanya di Bali". Bukit itu diketemukan Bupati
dengan riwayat begini. Seorang pelukis Italia namanya Valentino
membuat. gubuk di sapa. Ia lukiskan semua keindahan Bukit Putung
hinga daerah itupun menjadi sangat terkenal, dan si pelukisnya
sendiri menjadi banyak terima tamu, yang kebetulan pula
orang-orang asing. Pemuka-pemuka desa jadi kuatir dan
bertanya-tanya, kenapa orang asing menyerbu bukitnya. Dilaporkan
ke Camat. Camat melapor ke Bupati. Bupati Karang -- seperti yang
diceritakannya pada wartawan awal Januari lalu -- langsung ke
Bukit itu jalan kaki dengan maksud mengetahui apa kerja
orang-orang asing itu. Ternyata keadaan alam amat menarik dan
indah dilihat dari gubuk di mana Valentino melukis. Singkat
cerita, terhadap pelukis tak ada peristiwa apa-apa, sebagai
gantinya Bupati menganalisa situasi kemungkinan-kemungkinan
Bukit Putung diperkenalkan kepada wisatawan.
Tahun 1973 itu pula Pemerintah Kabupaten Karangasem mulai
memikirkan bagaimana cara "menjual" Bukit Putung. Antara Rendang
-- Amlapura, bukannya kering dari keindahan alam, namun jalan
yang tak lebih dari 30 km itu ternganga 7 kali karena
jembatannya hancur akibat letusan G. Agung tahun 1963 dan
setelah 10 tahun belum diganti. Karena itu pula 7 jembatan
adalah prioritas utama Pemda Karangasem. Dua buah dibiayai
Pelita Nasional (Pusat dan sisanya dari APBD Prop. Bali dan
Kabupaten. Hasilnya Maret 1974, persis menjelang PATA Bupati
Karangasem mengundang Dirjen Pariwisata Prayogo dan para travel
biro mengunjungi jalur Bukit Putung, walaupun kala itu belum
semua jembatan dibangun. Sekarang ini jalur itu aman dilalui
mobil. Walau hujan turun deras, mobil tak perlu lagi terhalang
oleh banjirnya kali. Cuma jalan yang 1,8 km menuju wisma milik
pemerintah daerah Kabupaten-sangat mendesak untuk diaspal.
2 Dollar
Berapa harga kamar di Bukit Putung ? "Untuk turis asing 2 dollar
sedang untuk kita di bawah itu", kata Camat Selat I Gst Lanang
Rai BA pada pembantu TEMPOO, sambil agak kikuk menjelaskan tarif
yang persis untuk "bangsa kita" Camat Selat yang mendapat tugas
tambahan melaksanakan operasi sehari-hari obyek itu menjelaskan,
ada beberapa masakan selera turis yang disiapkan, seperti
masakan Tionghoa, masakan Eropa, namun yang diprioritaskn tetap
masakan Bali. Tentang pengunjung, Camat Selat sedikit "kasihan"
karena banyak yang ingin bermalam, namun kamar tidak ada.
Alhasil, Bukit Putung sementara ini hanya bisa dinikmati
keindahannya, tebingnya, lautnya di kejauhan, matahari paginya,
sinar bulan purnamanya minus bermalam. Barangkali di sinilah
kekurangan yang dilihat Bupati, hingga pekerjaan membuat wisma
tambahan sangat mendesak.
Bisakah wisatawan mengunjungi jalur wisata baru yang melalui
Bukit Putung? Kepala Dinas Pariwisata Bali Merta Pastime kepada
Putu Setia dari TEMPO optiimis, "bisa dan daerah yang memikat
dan berciri khas". Namun Kepala Diparda yang masih pejabat
sementara itu cepat-cepat menambahi, "asalkan Kabupaten
Karangasem cepat pula memugar obyek milik Puri seperti Puri
Amlapura. Tirtagangga dan Taman Ujung". Ternyata hal itulah yang
kini dirisaukan Bupati Karangasem. Dalam sebuah pertemuan AA Gde
Karang, putera bungsu Raja Karangasem, terang-terangan
mengatakan tidak mampu memugar taman-taman milik Puri
"Diperlukan biaya besar untuk itu, sementara uang kabupaten
minim", ujar Bupati. Sebelum tahun 1960 -- tepatnya sebelum kena
peraturan landreform semua obyek wisata milik Puri Karangasem
dipelihara indah. Pemeliharaan obyek itu diambilkan dari
kekayaan Puri -- berupa 600 Ha tanah terdiri 400 ha sawah, 200
Ha tegalan. "Sebagai keluarga Puri tanggung jawab kami
memelihara bangunan warisan itu masih tetap ada, tetapi
kemampuan finansiil tidak ada lagi", kata AA Gde Karang. Karena
itulah, keluarga Puri yang diwakili AA Gde Karang -- yang
kebetulan pula Bupati -- menyerahkan Taman Ujung kepada seorang
warganegara Australia keturunan Belanda Mr. Anton De Nieve untuk
memugar Taman Ujung. Orang ini diberi keleluasaan untuk
memperindah, memugar yang masak dan memelihara dengan catatan:
kalau De Nieve dan isterinya wafat minta dikubur di komplek itu.
Apakah penguburan "mayat" De Nieve nanti tidak menimbulkan kasus
baru, Bupati Karang sedikit mengelak cuma dikatakan: "itu urusan
nanti, yang penting Taman Ujung pulih kembali dari amukan G.
Agung".
Mengenai Puri Karangasem, pemugarannya agak untung. Sebagian
telah dikerjakan oleh Ditjen Pariwisata dan sebagian lagi akan
digarap pula oleh Proyek Sasana Wisata Budaya Baili dengan biaya
Rp 3,5 juta. Sedang Taman Tirtagangga yang terkenal itu di mana
terdapat "air suci" yang menyebabkan (konon) awet muda, menurut
AA Gde Karang sudah diwariskan oleh Puri kepada AA Jelantik
saudara AA Karang yang kini jadi dokter WHO di luar negeri. Ada
suara-suara bahwa Taman Tirtagangga dikontrak "orang asing"
namun Bupati Karangasem tak tahu menahu "terserah saudara saya",
katanya.
Bagaimanapun juga Bupati Karangasem saat ini bertekad untuk
mengembalikan masa jaya kepariwisataan di Karangasem, seperti
sebelum Gunung Agung meletus. Usaha ke arah itu telah dirintis
seperti membangun Bukit Putung, memperindah warisan Puri
Karangasem, membenahi Puri Besakih. Dan hasilnya pun nampak
melegakan, Karangasem bakal kecipratan dollar, seperti yang
sejak lama didambakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini