Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sang Mualaf yang Tidak Diakui

Tuduhan subversi Yusuf Ronny. Dia Islam, kemudian pindah Kristen & memutar balikkan agama yang pernah dianutnya. Atas izin Mahkamah Agung perkaranya dapat disidangkan di Jakarta.(hk)

17 Maret 1979 | 00.00 WIB

Sang Mualaf yang Tidak Diakui
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TUDUHAN subversi memang belum sempat dibacakan. Sebab Abubakar Mashur Yusuf Ronny, terdakwa, belum mungkin untuk duduk tenang dan aman di muka hakim yang akan mengadilinya. Sedianya jaksa hendak membacakan surat tuduhannya minggu lalu. Tapi suasananya tak enak: ruang pengadilan terlalu penuh sesak oleh pengunjung. Walaupun kebanyakan penonton tampaknya bukan dari golongan yang memusuhinya, bagaimana pun Hakim Ruwiyanto SH, yang memimpin majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, tetap saja "khawatir terhadap keamanan tertuduh sendiri." Dengan persiapan pengamanan yang cukup, sidang akan dicoba dilanjutkan akhir Maret ini. Boleh jadi gawat. Sebab pengadilan Yusuf Ronny (32 tahun) menurut Abdurahman Saleh SH -- pembela dari LBH yang pernah diberi kuasa untuk mendampingi terdakwa sebagai pembela (tapi dicabut kembali!) -- dapat berakibat jauh. "Dapat mengorek borok lama dan baru dalam soal kerukunan beragama," kata Arman. Segawat itukah? Mungkin tidak. Menurut Buya Hamka (Ketua Majelis Ulama), pengadilan terhadap pencerca agama itu justru merupakan penyelesaian yang tenang. "Peringatan agar tak ada yang mencoba memancing kemarahan pemeluk agama Islam." Siapakah Yusuf Ronny? Dalam khotbah-khotbahnya di banyak gereja di Jaa Timur dan daerah lain, sekitar pertengahan 1973, dia menyatakan keturunan keluarga Kemas dari Palembang. Nama kecilnya Cikmat. Sejak kecil, katanya, ia hidup di lingkungan keluarga Islam yang taat. Lulus dari sekolah dasar di kotanya terus dikirim ke pesantren di Bandung. Pembakar Gereja? Di situ dia mendapat pendidikan agama mulai dari tingkat ibtidaiyah sampai Fak. Syariah di Universitas Islam Nusantara. Ajaran agama yang dianutnya, katanya, "aliran Darul Islam" yang diimami oleh almarhum Kartosuwirjo. Aliran agama yang tak dikenal orang -- tapi itulah yang diakuinya -- yang membuatnya "agresif' dalam memusuhi Kristen. Dia mengaku bertanggungjawab atas pembakaran gereja di Majalaya (1967) maupun di Cirebon (1969) dan pengrusakan rumah orang Kristen lainnya di Bandung -- suatu pengakuan yang tentu sukar untuk dibuktikan. Iman Islamnya tergoyah, katanya, ketika ia menjabat sebagai pimpinan kelompok diskusi perbandingan agama. Setelah mempelajari Injil "saya jadi gelisah." Lalu mulai menekuni ajaran Kristen di Gereja Metodis berbahasa Indonesia di Palembang. Mula-mula gereja Protestan itu, katanya, enggan membaptisnya setelah mengetahui kegiatannya dalam memusuhi Kristen. Tapi salah seorang pendeta di sana, ceritanya, akhirnya menobatkan Yusuf jadi penganut Kristus -- tanpa persetujuan majelis gereja. Setelah dibaptis, begitu kesaksiannya, mulailah "masa percobaan" ia diusir dari keluarga dan berpisah dengan isterinya. Bahkan polisi, tentara, pengadilan adat, sampai-sampai Menteri Agama dan Jaksa Agung sendiri katanya ikut merepotkan pergantian agamanya ari Islam ke Kristen. Entah benar atau tidak kesaksiannya tersebut, yang jelas banyak hal yang dikhotbahkannya tentang Islam dan dirinya memang meragukan. Misalnya, dengan berbahasa Arab dikutipnya sebuah hadith yang menganjurkan menuntut ilmu walau ke negeri Cina. Kepada pendengar khotbahnya yang tentu saja tak paham bahasa Arab, kalimat itu diterjemahkannya: "Tuntutlah ilmu tapi jangan ke negeri Cina." Untuk meyakinkan siapa dirinya, Yusuf Ronny berani mengaku sebagai Yusuf A.R. -- itu tokoh Angkatan '66 dan teman Arif Budiman dalam Golput (Golongan Putih). Sudah terang bukan. Tak jelas, adakah jemaat yang pernah dikhotbahinya merasa tertipu atau tidak. Yang pasti, menurut Buya Hamka, "khotbah picisan" Yusuf Ronny itu berbahaya: dapat mengganggu ketenangan beragama. "Kalau umat Islam tidak membunuhnya bukan berarti bersikap masa bodoh." Masyarakat Islam di Jawa Timur, yang mendengar khotbah Yusuf dari kaset-kaset dan tulisan yang beredar cukup luas, memang sudah mengancamnya demikian. "Tapi," kata Hamka, "demi keamanan negara lebih baik yang berwajib yang mengurusnya." Yusuf Ronny kemudian memang ditangkap dan ditahan dengan tuduhan menyebarkan rasa permusuhan, pertentangan dan kegoncangan di antara umat beragama (subversi). Orang Jawa Timur menunggu Yusuf Ronny diadili di Surabaya. Kalau itu terjadi bisa panas juga. Lama perkaranya ditunggu untuk disidangkan. Dari Adnan Buyung Nasution SH, Direktur LBH, diketahui kemungkinan kejaksaan memeti-eskan perkara itu. Sama seperti yang mungkin dilakukan terhadap perkara Hasyim Yahya (kedua-duanya diurus oleh Buyung) terdakwa perkara pembunuhan Pastor Constable (1974). Hasyim Yahya, tahun lalu, memang sempat dibawa ke pengadilan. Sambutan dari simpatisannya terlalu meriah, sehingga proses perkaranya ditunda tanpa batas waktu yang ditentukan--hingga sekarang. Tapi perkara Yusuf Ronny, atas ijin Mahkamah Agung, dapat disidangkan di Jakarta. Tak disebut-sebut alasan keamanan atau semacam itu. "Semata-mata alasan yuridis," kata Asisten II Kejaksaan Tinggi Jakarta, Silaban SH. Yaitu karena tuduhan kejahatannya dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, jadi dapat diadili di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus