TUDUHAN subversi memang belum sempat dibacakan. Sebab Abubakar
Mashur Yusuf Ronny, terdakwa, belum mungkin untuk duduk tenang
dan aman di muka hakim yang akan mengadilinya. Sedianya jaksa
hendak membacakan surat tuduhannya minggu lalu. Tapi suasananya
tak enak: ruang pengadilan terlalu penuh sesak oleh pengunjung.
Walaupun kebanyakan penonton tampaknya bukan dari golongan yang
memusuhinya, bagaimana pun Hakim Ruwiyanto SH, yang memimpin
majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, tetap
saja "khawatir terhadap keamanan tertuduh sendiri." Dengan
persiapan pengamanan yang cukup, sidang akan dicoba dilanjutkan
akhir Maret ini.
Boleh jadi gawat. Sebab pengadilan Yusuf Ronny (32 tahun)
menurut Abdurahman Saleh SH -- pembela dari LBH yang pernah
diberi kuasa untuk mendampingi terdakwa sebagai pembela (tapi
dicabut kembali!) -- dapat berakibat jauh. "Dapat mengorek borok
lama dan baru dalam soal kerukunan beragama," kata Arman.
Segawat itukah? Mungkin tidak. Menurut Buya Hamka (Ketua Majelis
Ulama), pengadilan terhadap pencerca agama itu justru merupakan
penyelesaian yang tenang. "Peringatan agar tak ada yang mencoba
memancing kemarahan pemeluk agama Islam."
Siapakah Yusuf Ronny? Dalam khotbah-khotbahnya di banyak gereja
di Jaa Timur dan daerah lain, sekitar pertengahan 1973, dia
menyatakan keturunan keluarga Kemas dari Palembang. Nama
kecilnya Cikmat. Sejak kecil, katanya, ia hidup di lingkungan
keluarga Islam yang taat. Lulus dari sekolah dasar di kotanya
terus dikirim ke pesantren di Bandung.
Pembakar Gereja?
Di situ dia mendapat pendidikan agama mulai dari tingkat
ibtidaiyah sampai Fak. Syariah di Universitas Islam Nusantara.
Ajaran agama yang dianutnya, katanya, "aliran Darul Islam" yang
diimami oleh almarhum Kartosuwirjo. Aliran agama yang tak
dikenal orang -- tapi itulah yang diakuinya -- yang membuatnya
"agresif' dalam memusuhi Kristen. Dia mengaku bertanggungjawab
atas pembakaran gereja di Majalaya (1967) maupun di Cirebon
(1969) dan pengrusakan rumah orang Kristen lainnya di Bandung --
suatu pengakuan yang tentu sukar untuk dibuktikan.
Iman Islamnya tergoyah, katanya, ketika ia menjabat sebagai
pimpinan kelompok diskusi perbandingan agama. Setelah
mempelajari Injil "saya jadi gelisah." Lalu mulai menekuni
ajaran Kristen di Gereja Metodis berbahasa Indonesia di
Palembang. Mula-mula gereja Protestan itu, katanya, enggan
membaptisnya setelah mengetahui kegiatannya dalam memusuhi
Kristen. Tapi salah seorang pendeta di sana, ceritanya, akhirnya
menobatkan Yusuf jadi penganut Kristus -- tanpa persetujuan
majelis gereja.
Setelah dibaptis, begitu kesaksiannya, mulailah "masa percobaan"
ia diusir dari keluarga dan berpisah dengan isterinya. Bahkan
polisi, tentara, pengadilan adat, sampai-sampai Menteri Agama
dan Jaksa Agung sendiri katanya ikut merepotkan pergantian
agamanya ari Islam ke Kristen.
Entah benar atau tidak kesaksiannya tersebut, yang jelas banyak
hal yang dikhotbahkannya tentang Islam dan dirinya memang
meragukan. Misalnya, dengan berbahasa Arab dikutipnya sebuah
hadith yang menganjurkan menuntut ilmu walau ke negeri Cina.
Kepada pendengar khotbahnya yang tentu saja tak paham bahasa
Arab, kalimat itu diterjemahkannya: "Tuntutlah ilmu tapi jangan
ke negeri Cina."
Untuk meyakinkan siapa dirinya, Yusuf Ronny berani mengaku
sebagai Yusuf A.R. -- itu tokoh Angkatan '66 dan teman Arif
Budiman dalam Golput (Golongan Putih). Sudah terang bukan.
Tak jelas, adakah jemaat yang pernah dikhotbahinya merasa
tertipu atau tidak. Yang pasti, menurut Buya Hamka, "khotbah
picisan" Yusuf Ronny itu berbahaya: dapat mengganggu ketenangan
beragama. "Kalau umat Islam tidak membunuhnya bukan berarti
bersikap masa bodoh." Masyarakat Islam di Jawa Timur, yang
mendengar khotbah Yusuf dari kaset-kaset dan tulisan yang
beredar cukup luas, memang sudah mengancamnya demikian. "Tapi,"
kata Hamka, "demi keamanan negara lebih baik yang berwajib yang
mengurusnya."
Yusuf Ronny kemudian memang ditangkap dan ditahan dengan tuduhan
menyebarkan rasa permusuhan, pertentangan dan kegoncangan di
antara umat beragama (subversi). Orang Jawa Timur menunggu Yusuf
Ronny diadili di Surabaya. Kalau itu terjadi bisa panas juga.
Lama perkaranya ditunggu untuk disidangkan. Dari Adnan Buyung
Nasution SH, Direktur LBH, diketahui kemungkinan kejaksaan
memeti-eskan perkara itu. Sama seperti yang mungkin dilakukan
terhadap perkara Hasyim Yahya (kedua-duanya diurus oleh Buyung)
terdakwa perkara pembunuhan Pastor Constable (1974).
Hasyim Yahya, tahun lalu, memang sempat dibawa ke pengadilan.
Sambutan dari simpatisannya terlalu meriah, sehingga proses
perkaranya ditunda tanpa batas waktu yang ditentukan--hingga
sekarang. Tapi perkara Yusuf Ronny, atas ijin Mahkamah Agung,
dapat disidangkan di Jakarta. Tak disebut-sebut alasan keamanan
atau semacam itu. "Semata-mata alasan yuridis," kata Asisten II
Kejaksaan Tinggi Jakarta, Silaban SH. Yaitu karena tuduhan
kejahatannya dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, jadi
dapat diadili di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini