KORBAN pertama seorang advokat yang cukup terkenal di Jakarta,
Sunarto Soerodibroto SH, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Peradin
DKI Jakarta. Dia dipecat sementara dari keanggotaan Peradin, 16
Pebruari kemarin, dan dilarang mengikuti segala kegiatan
organisasi. Apa dosanya? Dia terlibat praktek mafia-mafiaan yang
"diakui sendiri olehnya". Menurut Peradin, Soenarto pernah
"berusaha mengumpulkan dana untuk dibagi-bagikan di antara
hakim, jaksa dan pembela dengan tujuan mempengaruhi putusan
pengadilan . . . "
Kisah Soenarto & mafia peradilan mulai diusut Peradin dari
sebuah berita dalam majalah Selecta (14 Nopember 1977). Di situ
Soenarto mengakui praktek buruknya: Untuk membela Budiadji,
dalam perkara korupsi di Dolog (Depot Logistik) Kalinnantan
Timur yang menghebohkan tempo hari, dia telah berusaha
menghimpun dana dari kalangan pejabat Bulog (Badan Usaha
Logistik) untuk 'mengatur' jalannya peradilan. Sebagai alatnya,
begitu Selecta menyebutkan, Soenarto telah memegang banyak kartu
yang menunjukkan keterlibatan beberapa pejabat Bulog dalam
korupsi oleh Budiadji.
Di depan rapat DPP Peradin pengakuan di atas tak diingkarinya.
Bahkan ditambahinya pula dengan bumbu menarik: Tampilnya sebagai
pembela dalam perkara Budiadji, katanya, atas permintaan
kejaksaan. Jadi sama sekali bukan atas keinginan Budiadji atau
keluarganya. Malah honorariumnya sebagai pembela dan cara-cara
mengumpulkan dana dari pejabat Bulog semuanya diatur oleh
kejaksaan.
Soenarto membenarkan apa-apa yang diumumkan Peradin tersebut.
Kepada TEMPO dinyatakannya bahwa usaha pengumpulan dana dari
pejabat Bulog tersebut tidak berhasil. Kalaupun berhasil,
katanya, "bukan untuk dibagikan kepada hakim rnaupun jaksa, tapi
untuk keperluan Budiadji sendiri yang memang sudah tidak punya
apa-apa lagi." Namun begitu Soenarto, yang pernah bersama Yap
Thiam Hien membela perkara Sawito, menambah satu pengakuan lagi:
honornya sebagai pembela Budiadji ternyata diterimanya langsung
dari tangan salah seorang pejabat kejaksaan.
Yang sangat disesalkan Soenarto ternyata hanya sikap DPP Peradin
ya menghukumnya. Sebab, menurut pendapatnya, DPP Peradin tak
punya hak memecatnya -- walaupun untuk sementara, sampai
kesempatan membela diri dalam kongres organisasi advokat
tersebut. Soenarto menganggap persoalan sebenarnya sudah
selesai. Yaitu keputusan Dewan Kehormatan Peradin Cabang Jakarta
yang telah memutuskan untuk "mendeponir" perkaranya (8 Desember
1978).
Sikap Peradin dinilai Soenarto kurang lebih hanya menampung
ambisi politik beberapa orang "yang sewarna" yang duduk di DPP.
"Apakah itu Tasrif (Ketua Umum), Buyung Nasution (Ketua II) atau
Mr Yap (Dewan Penasehat), hanya terdorong oleh ambisi politik
dalam memecat saya." Ambisi politik macam apa? "Ya, pokoknya
ambisi politik yang sulit ditebak -- kalau tidak untuk
kepentingan saat ini, ya jangka panjang," ujar Soenarto.
Soenarto juga tak senang kegiatannya sbagai pengacara
disebut-sebut Peradin sebagai praktek mafia-mafiaan. "Kalau
Peradin menuduh ada mafia di peradilan," katanya, "berarti juga
menuduh instansi seperti kejaksaan, kepolisian dan bahkan badan
pengadilan berpraktek mafia. Jadi saya tak akan ribut, biar
instansi yang merasa dituduh menuntut mereka."
Kalau Perlu Diancam
Istilah 'mafia', begitu menurut Humas Peradin, M. Assegaf SH,
memang muncul dalam pembicaraan antara Peradin dengan Ketua
Opstib Laksamana Sudomo, dalam rangka mengurus kasus Soenarto.
"Tak jelas lagi siapa di antara kami yang menyebutkan istilah
mafia tersebut," kata Assegaf. Peradin memang anggota ex officio
Opstib.
"Kalau apa yang disebut mafia di peradilan itu adalah pengaturan
yang dilakukan oleh sekelompok oknum, dari instansi kejaksaan,
hakim dan pembela untuk menentukan jalan dan putusan peradilan,"
kata R.O. Tambunan, pengacara dan bekas anggota Komisi III/DPR
ini, "rnemang benar ada praktek demikian." Bukti? "Sulit mencari
bukti yang kongkrit," kata Tambunan. "Tapi dari berbagai
kenyataan dapat ditarik kesimpulan begitu."
Contoh: Akhir-akhir ini banyak tersangka perkara kelas kak3,p,
misalnya perkara korupsi atau penyelundupan yang menyangkut uang
ratusan juta atau milyaran, tiba-tiba mencabut kuasa yang pernah
diberikan kepada pengaeara masing-masing tanpa alasan yang bisa
dimengerti. Sebagai gantinya, kata Tambunan, para tersangka
tersebut menunjuk advokat lain "yang saya yakin tak mereka kenal
sebelumnya." Mengapa bisa begitu -- itulah soalnya. Rupanya
begitu Tambunan, "tersangka diDujuk dan kalau perlu diancam
untuk berganti pembela." Bahkan yang mempunyai pengacara tetap
sebelumnya pun tiba-tiba harus bcrganti penasehat hukum baru.
"Dan coba perhatikan: gantinya tentu pengacara yang itu-itu
juga!"
Seorang klien Tambunan pernah diperlakukan begltu. Ia dibujuk
dan dipaksa berganti pengacara. Untuk itu "kelompok" yang
mengaturnya menunjukkan dua kartu nama advokat untuk dipilih
sebagai pembela. Klien Tambunan menolak pengaturan begitu --
itulah sebabnya bisa bercerita kepada pengacaranya.
Tender
Alasan harus berganti pembela, menurut Tambunan, bisa
macam-macam. Ada kalanya "kelompok" yang membujuk tersangka itu
enggan berurusan dengan pembela yang keras. Di samping bakalan
agak repot -- harus menangkis serangan pembela, dan bisa
kewalahan yang penting lagi di tangan seorang pembela yang
jagoan, perkara yang di harap bisa diselesaikan secara sederhana
jadi nyrempet-nyrempet ke persoalan yang dianggap peka atau
harus ditutupi. Motif yang lain, soal biasa, "ya, menyangkut
soal uang." Halus dan kasarnya bolehlah disebut: pembela yang
diatur berkewajiban menyisihkan honornya sebagai komisi bagi
kelompok yang mengaturnya.
Praktek mafia-mafiaan dalam beberapa hal masih bisa dicium -- di
samping yang diceritakan oleh Tambunan di atas. Misalnya, ada
hakim atau jaksa yang bisa di 'inden': advokat bisa memilih
hakim atau jaksa mana untuk menggarap perkara kliennya. Untuk
itu mana mungkin tanpa imbalan? Ada advokat hanya berpraktek
sebagai calo saja: menghubungkan kliennya dengan pejabat hukum
dan sekaligus mengatur uang sogoknya. "Ah, kalau dalam soal calo
begitu," kata seorang pengacara terkenal, "wartawan juga ada
yang terlibat."
Perkara juga bisa menang berdasarkan tender. "Siapa yang kuat
mainnya," kata pengacara di atas, "dialah yang akan keluar
sebagai pemenang." Di pospos lain, dari mulai permintaan menyita
suatu kekayaan dalam perkara sampai ke soal yang sepele seperti
minta salinan vonis hakim, "semuanya hanya akan beres kalau
dengan uang," kata Tambunan. Alhasil, "di sini memang telah
terbuka bisnis baru: dagang hukum!" kata Tambunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini