Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kasus Soenarto Dan Bisnis Baru:...

Sunarto Surodibroto ketua dewan pimpinan Peradin DKI dipecat sementara, karena terlibat praktek mafia peradilan dalam membela perkara korupsi budiadji. Ada advokat bisa memilih hakim dan jaksa. (hk)

17 Maret 1979 | 00.00 WIB

Kasus Soenarto Dan Bisnis Baru:...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KORBAN pertama seorang advokat yang cukup terkenal di Jakarta, Sunarto Soerodibroto SH, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Peradin DKI Jakarta. Dia dipecat sementara dari keanggotaan Peradin, 16 Pebruari kemarin, dan dilarang mengikuti segala kegiatan organisasi. Apa dosanya? Dia terlibat praktek mafia-mafiaan yang "diakui sendiri olehnya". Menurut Peradin, Soenarto pernah "berusaha mengumpulkan dana untuk dibagi-bagikan di antara hakim, jaksa dan pembela dengan tujuan mempengaruhi putusan pengadilan . . . " Kisah Soenarto & mafia peradilan mulai diusut Peradin dari sebuah berita dalam majalah Selecta (14 Nopember 1977). Di situ Soenarto mengakui praktek buruknya: Untuk membela Budiadji, dalam perkara korupsi di Dolog (Depot Logistik) Kalinnantan Timur yang menghebohkan tempo hari, dia telah berusaha menghimpun dana dari kalangan pejabat Bulog (Badan Usaha Logistik) untuk 'mengatur' jalannya peradilan. Sebagai alatnya, begitu Selecta menyebutkan, Soenarto telah memegang banyak kartu yang menunjukkan keterlibatan beberapa pejabat Bulog dalam korupsi oleh Budiadji. Di depan rapat DPP Peradin pengakuan di atas tak diingkarinya. Bahkan ditambahinya pula dengan bumbu menarik: Tampilnya sebagai pembela dalam perkara Budiadji, katanya, atas permintaan kejaksaan. Jadi sama sekali bukan atas keinginan Budiadji atau keluarganya. Malah honorariumnya sebagai pembela dan cara-cara mengumpulkan dana dari pejabat Bulog semuanya diatur oleh kejaksaan. Soenarto membenarkan apa-apa yang diumumkan Peradin tersebut. Kepada TEMPO dinyatakannya bahwa usaha pengumpulan dana dari pejabat Bulog tersebut tidak berhasil. Kalaupun berhasil, katanya, "bukan untuk dibagikan kepada hakim rnaupun jaksa, tapi untuk keperluan Budiadji sendiri yang memang sudah tidak punya apa-apa lagi." Namun begitu Soenarto, yang pernah bersama Yap Thiam Hien membela perkara Sawito, menambah satu pengakuan lagi: honornya sebagai pembela Budiadji ternyata diterimanya langsung dari tangan salah seorang pejabat kejaksaan. Yang sangat disesalkan Soenarto ternyata hanya sikap DPP Peradin ya menghukumnya. Sebab, menurut pendapatnya, DPP Peradin tak punya hak memecatnya -- walaupun untuk sementara, sampai kesempatan membela diri dalam kongres organisasi advokat tersebut. Soenarto menganggap persoalan sebenarnya sudah selesai. Yaitu keputusan Dewan Kehormatan Peradin Cabang Jakarta yang telah memutuskan untuk "mendeponir" perkaranya (8 Desember 1978). Sikap Peradin dinilai Soenarto kurang lebih hanya menampung ambisi politik beberapa orang "yang sewarna" yang duduk di DPP. "Apakah itu Tasrif (Ketua Umum), Buyung Nasution (Ketua II) atau Mr Yap (Dewan Penasehat), hanya terdorong oleh ambisi politik dalam memecat saya." Ambisi politik macam apa? "Ya, pokoknya ambisi politik yang sulit ditebak -- kalau tidak untuk kepentingan saat ini, ya jangka panjang," ujar Soenarto. Soenarto juga tak senang kegiatannya sbagai pengacara disebut-sebut Peradin sebagai praktek mafia-mafiaan. "Kalau Peradin menuduh ada mafia di peradilan," katanya, "berarti juga menuduh instansi seperti kejaksaan, kepolisian dan bahkan badan pengadilan berpraktek mafia. Jadi saya tak akan ribut, biar instansi yang merasa dituduh menuntut mereka." Kalau Perlu Diancam Istilah 'mafia', begitu menurut Humas Peradin, M. Assegaf SH, memang muncul dalam pembicaraan antara Peradin dengan Ketua Opstib Laksamana Sudomo, dalam rangka mengurus kasus Soenarto. "Tak jelas lagi siapa di antara kami yang menyebutkan istilah mafia tersebut," kata Assegaf. Peradin memang anggota ex officio Opstib. "Kalau apa yang disebut mafia di peradilan itu adalah pengaturan yang dilakukan oleh sekelompok oknum, dari instansi kejaksaan, hakim dan pembela untuk menentukan jalan dan putusan peradilan," kata R.O. Tambunan, pengacara dan bekas anggota Komisi III/DPR ini, "rnemang benar ada praktek demikian." Bukti? "Sulit mencari bukti yang kongkrit," kata Tambunan. "Tapi dari berbagai kenyataan dapat ditarik kesimpulan begitu." Contoh: Akhir-akhir ini banyak tersangka perkara kelas kak3,p, misalnya perkara korupsi atau penyelundupan yang menyangkut uang ratusan juta atau milyaran, tiba-tiba mencabut kuasa yang pernah diberikan kepada pengaeara masing-masing tanpa alasan yang bisa dimengerti. Sebagai gantinya, kata Tambunan, para tersangka tersebut menunjuk advokat lain "yang saya yakin tak mereka kenal sebelumnya." Mengapa bisa begitu -- itulah soalnya. Rupanya begitu Tambunan, "tersangka diDujuk dan kalau perlu diancam untuk berganti pembela." Bahkan yang mempunyai pengacara tetap sebelumnya pun tiba-tiba harus bcrganti penasehat hukum baru. "Dan coba perhatikan: gantinya tentu pengacara yang itu-itu juga!" Seorang klien Tambunan pernah diperlakukan begltu. Ia dibujuk dan dipaksa berganti pengacara. Untuk itu "kelompok" yang mengaturnya menunjukkan dua kartu nama advokat untuk dipilih sebagai pembela. Klien Tambunan menolak pengaturan begitu -- itulah sebabnya bisa bercerita kepada pengacaranya. Tender Alasan harus berganti pembela, menurut Tambunan, bisa macam-macam. Ada kalanya "kelompok" yang membujuk tersangka itu enggan berurusan dengan pembela yang keras. Di samping bakalan agak repot -- harus menangkis serangan pembela, dan bisa kewalahan yang penting lagi di tangan seorang pembela yang jagoan, perkara yang di harap bisa diselesaikan secara sederhana jadi nyrempet-nyrempet ke persoalan yang dianggap peka atau harus ditutupi. Motif yang lain, soal biasa, "ya, menyangkut soal uang." Halus dan kasarnya bolehlah disebut: pembela yang diatur berkewajiban menyisihkan honornya sebagai komisi bagi kelompok yang mengaturnya. Praktek mafia-mafiaan dalam beberapa hal masih bisa dicium -- di samping yang diceritakan oleh Tambunan di atas. Misalnya, ada hakim atau jaksa yang bisa di 'inden': advokat bisa memilih hakim atau jaksa mana untuk menggarap perkara kliennya. Untuk itu mana mungkin tanpa imbalan? Ada advokat hanya berpraktek sebagai calo saja: menghubungkan kliennya dengan pejabat hukum dan sekaligus mengatur uang sogoknya. "Ah, kalau dalam soal calo begitu," kata seorang pengacara terkenal, "wartawan juga ada yang terlibat." Perkara juga bisa menang berdasarkan tender. "Siapa yang kuat mainnya," kata pengacara di atas, "dialah yang akan keluar sebagai pemenang." Di pospos lain, dari mulai permintaan menyita suatu kekayaan dalam perkara sampai ke soal yang sepele seperti minta salinan vonis hakim, "semuanya hanya akan beres kalau dengan uang," kata Tambunan. Alhasil, "di sini memang telah terbuka bisnis baru: dagang hukum!" kata Tambunan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus