Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dekadensi Fundamentalisme

Khomeini cenderung balik lagi kepada fundamentalisme, dasar Islam yang murni. Fundamentalisme tidak relevan lagi untuk menjawab tantangan umat islam saat ini. Akan kehilangan kontak dengan kenyataan.

17 Maret 1979 | 00.00 WIB

Dekadensi Fundamentalisme
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SUNGGUH mengherankan kegetolan sementara kalangan umat Islam di sini untuk berbicara lagi tentang fundamentalisme pada zaman ini, meskipun ada fenomen Ayatullah Khomeini. Gerakan Khomeini cenderung dilihat begitu sempit sebagai gerakan untuk menampilkan kembali Islam zaman Nabi. Aspek populis dari gerakan itu, yang dilambangkan oleh kesederhanaan dan gaya kerakyatan Khomeini, jarang diperhatikan. Padahal justru aspek itulah yang paling menonjol, karena ia menampilkan kontras yang jelas dengan gaya Shah yang tak akrab dengan rakyat. Usaha keras Shah untuk mencari legitimasi pada kekaisaran Persia kuno misalnya, yang sudah tak ada sisanya yang hidup setelah datangnya Islam, juga menunjukkan sikap "anti populis" Shah yang kuat. Ia meremehkan "agama rakyat"-seperti juga tampak pada konflik yang laten antara penguasa Vietnam Selatan (sebelum jatuh) dengan kaum Budhis. Yang jadi persoalan bukannya doktrin, tetapi kecenderungan untuk memperagakan elitisme dengan memusuhi "agama kampung" atau mencari legitimasi lain yang menyaingi agama rakyat itu. Islam yang ditunjukkan oleh Khomeini adalah Islam yang populis. Ia membangkitkan nasionalisme ekonomi, yang melawan kecenderungan elitis dari kelompok modernizers yang kosmopolitan itu. Citra Islam yang dibangkitkan Khomeini lain dengan citra Islam yang dibangkitkan kaum Wahabi, atau Al Afgani, Abduh dan Iqbal, yang bercorak fundamentalistis dan modernis itu. Cara kita melihat dan menafsirkan fenomen lran untuk sebagian juga menggambarkan sikap kita dalam menafsirkan tantangan dan jawaban Islam terhadap sejarah. Dan kecenderungan untuk balik lagi kepada fundamentalisme merupakan manifestasi dari keinginan untuk balik kepada jawaban lama, walaupun yang dihadapi adalah tantangan yang baru -- suatu ciri dari generasi epigon. Agaknya kita belum menyaksikan lahirnya generasi baru dalam Islam yang bangkit untuk menjawab tantangan baru ini. Fundamentalisme memang lahir dari keinginan untuk kembali kepada dasar Islam yang murni, yang sudah dibersihkan dari khurafat dan bid'ah. Tetapi janganlah dilupakan bahwa fundamentalisme sebagaimana kita kenal sekarang adalah fenomena Islam modern. Ia lahir ketika suatu generasi Islam harus memberi jawab tentang di mana tempat Islam dalam hidup modern. Dihadapkan kepada semacam cemooh bahwa lslam itu kolot, tradisionil menolak kemajuan, generasi itu menangkis dengan menunjukkan Islam yang rasional, yang menghargai ilmu dan terbuka terhadap kemajuan. Itu dianggap Islam yang "sejati", yang diwartakan oleh Nabi, yang dibuka dengan perintah membaca.Adaplm yang kolot, yang tradisional, yang menolak kemajuan, itu dianggap yang khurafat, yang bid'ah, yang dibikin oleh beberapa generasi sesudah Nabi. Maka Islam harus dikembalikan kepada yang dasar, dengan membersihkan "nodanoda" ini. Masyhurlah semboyan di seantero dunia Islam kala itu bahwa Islam yang sejati telah dikabuti oleh umatnya sendiri (Al Islamu mahjubun bil Muslimin). Dengan demikian, fundamentalisme sebenarnya paralel dengan modernisme dan apologia, suatu jawaban yang dipersiapkan oleh suatu generasi yang sedang melangkah ke arah modernisasi. Efek Samping Tetapi fundamentalisme juga memiliki kekurangannya sendiri. Ia telah mengangkat Islam dalam bangsal kaca sementara menempatkan umatnya dalam lumpur. Islam itu hebat, katanya, tapi umatnya payah. lslam itu tinggi dan tak ada lagi yang melebihi, dan umatnya merupakan persoalan lain lagi. Doktrin dilepaskan dari pendukungnya, yang ideal dilepaskan dari realitas. Akibatnya, fundamentalisme kehilangan kontak dengan kenyataan. Dan ketika misi sqarahnya -- memberi pembenaran tentang kehadiran Islam di zaman modern -- menjelang usai, fundamentalisme tampak sebagai eksklusivisme yang emosional, pencemburu dan garang. Dalam masyarakat yang makin pluralistik dan berdiferensiasi, ia menginginkan dilaksanakannya fiqh dengan sanksi politik. Di tengah umat yang sarat dengan keInelaratan, khatib berkhotbah tentang sorga dengan menerima honor ribuan rupiah. Sementara madrasah menurut penelitian mutakhir makin menjadi "waduk penampung" anak-anak melarat yang tak kuat sekolah, para ustaz masih asyik mengajari mereka nahu sharaf dan batalnya wudlu, tanpa melengkapi mereka dengan ketrampilan sebagai bekal hidup. Dan yang lebih tragis lagi adalah rnoduksi elite umat yang masih menaruh shalawat Nariyah di meja kerja menteri yang didudukinya bertahun-tahun, tetapi tidak tahu tentang nasib umatnya. Sebab yang diperlukan oleh fundamentalisme yang dekaden adalah makna simbolis: cukuplah asal panjipanji agama dijunjung tinggi-tinggi. Akan umatnya, itu persoalan lain lagi. Dekadensi fundamentalisme itu menunjukkan bahwa ia tak lagi relevan untuk menjawab tantangan yang dihadapi umat Islam masa kini. Tantangan Islam sekarang bukan lagi doktrinnya, tetapi peri keadaan umatnya. Akan datangkah suatu generasi untuk menjawabnya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus