KEBAKARAN hutan pada akhir 1997, yang dianggap bencana sekaligus aib nasional, ternyata tidak dijadikan pelajaran sejarah bagi para penegak hukum. Betapa tidak, dari 176 perusahaan yang diduga membakar hutan, hanya dua kasus yang diajukan ke pengadilan. Vonis dalam dua kasus itu pun hanya memanjakan pelaku pembakaran hutan. Dan, tentu saja, itu tidak menjadi contoh yang baik bagi calon-calon pembakar hutan yang mungkin akan beraksi pada tahun-tahun mendatang.
Dalam kasus pertama, terdakwa adalah PT Torus Ganda yang diajukan ke Pengadilan Negeri Bangkinang, Riau. Nah, pada 29 September lalu, pengadilan memvonis bebas perusahaan yang semula didakwa membakar dan merusak hutan itu.
Kasus kedua berupa perkara gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terhadap 11 perusahaan yang disidangkan di Pengadilan Negeri Palembang, Sumatra Selatan. Kesebelas perusahaan yang beroperasi di wilayah Kabupaten Musibanyuasin dan Kabupaten Ogankomering Ilir itu dituding sebagai pembakar hutan. Namun, Sabtu dua pekan lalu, majelis hakim yang diketuai Ansyahrul hanya menghukum dua dari 11 perusahaan tersebut--sembilan lainnya dianggap tak bersalah. Vonisnya? Kedua perusahaan hanya diharuskan membuat manajemen dan barikade pemadam kebakaran hutan di areal usaha mereka. Ganti rugi tidak disebut-sebut. Alangkah ringan hukuman yang dijatuhkan, tidak sepadan dengan kesalahan yang mereka lakukan.
"Kalau hanya diminta membuat manajemen dan barikade kebakaran, tanpa ada vonis pun itu memang sudah kewajiban lumrah bagi pengusaha hutan," kata Direktur Eksekutif Walhi Palembang, Nurkholis. Itu sebabnya, Walhi langsung menyatakan naik banding. Di Jakarta, Kamis pekan lalu, Walhi bersama Indonesian Center for Environmental Law (Icel) mengeluarkan pernyataan pers yang memprotes penegakan hukum yang asal-asalan itu.
Dan, karena aparat tidak menegakkan hukum sesuai urgensi dan tingkat kerugian, protes kedua lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu seharusnya lebih gencar. Selama ini memang banyak pihak yang mengutuk dan tidak sepenuhnya memaklumi sebab akibat kebakaran hutan pada 1997 itu. Sebab, luas hutan yang hangus meliputi hampir 264 ribu hektare berikut sumber plasma nuftah (keanekaragaman hayati). Belum lagi kerugian ekonomi--termasuk karena terganggunya transposrtasi maupun ditutupnya sekolah-sekolah--dan kesehatan akibat asap tebal yang menyeberang sampai ke Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Mengestimasi kerugian memang sulit. Menurut perhitungan Walhi, kerugian itu mencapai Rp 10,25 triliun. Sedangkan taksiran WWF berkisar US$ 4,4 miliar. Itu pun belum termasuk kerugian kesehatan, transportasi, dan biaya pemulihan kembali hutan.
Ketika kebakaran merebak, Departemen Kehutanan mengumumkan ada 176 perusahaan di Sumatra dan Kalimantan yang diduga sebagai pelaku pembakaran hutan. Waktu itu, sang musim, yakni El Nino--penyebab kemarau panjang--sempat dituding sebagai biang keladinya. Demikian pula para peladang berpindah.
Ternyata, cara peladang berpindah yang membakar hutan untuk pembukaan lahan usaha ditiru pengusaha hutan tanaman industri, pemegang hak pengusahaan hutan, dan penyedia lahan transmigrasi dan perkebunan. Tentu saja skala pembakarannya jauh lebih besar ketimbang yang dilakukan peladang berpindah.
Rupanya, cara murah dan gampang itu ditiru oleh para pengusaha karena peluangnya memang ada. Soalnya, mekanisme pengawasan atas pembakaran hutan ternyata cukup longgar, padahal mestinya izin usaha yang diberikan kepada para pengusaha merupakan awal dari proses pengawasan. Jadi, bukan berarti begitu izin keluar lantas pengawasan selesai. Selain itu, kasus pembakaran hutan juga semakin menunjukkan bahwa para pengusaha hutan sesungguhnya tidak mengembangkan manajemen pembukaan lahan yang ramah lingkungan. Lalu, mengapa pemerintah membiarkan saja?
Namun Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan, Bambang K., masih merasa perlu menyatakan bahwa pemerintah tak henti-hentinya melakukan penyuluhan dan pelatihan untuk mencegah kebakaran. Pemerintah juga mengharuskan pengusaha untuk melengkapi fasilitas pengendali kebakaran hutan. Tapi hasilnya? Ya, kebakaran hutan besar-besaran yang menjatuhkan reputasi Indonesia di forum internasional.
Birokrasi dan penegak hukum agaknya memang tidak cinta lingkungan. Lihat saja, Departemen Kehutanan yang semula mencabut izin pemanfaatkan kayu (IPK) dari 176 perusahaan, belakangan mengubah keputusan tersebut dengan mencairkan kembali 45 IPK sedangkan 29 IPK yang dicabut kini tak jelas statusnya. Begitu juga dengan sanksi pidana. Pada akhir 1997, Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri) menyatakan bahwa 49 perkara kebakaran hutan sedang disidik, tujuh di antaranya akan dibawa ke pengadilan dan satu perkara sudah disidangkan. Ternyata yang sampai diadili dan divonis cuma satu, yaitu perkara di Riau tadi.
Menurut Kepala Dinas Penerangan Umum Mabes Polri, Letkol Saleh Saaf, problemnya terletak pada kesulitan membuktikan kasus kebakaran hutan. Pertama, susah memastikan penyebab kebakaran: manusia, cuaca, atau alam? Kedua, "Di lapangan, polisi tak bisa menemukan tersangka yang tertangkap tangan sedang membakar hutan," ujarnya.
Dan, satu-satunya perkara pidana tadi toh divonis bebas. Dalam hal ini, kata Direktur Eksekutif Icel, Mas Achmad Santosa, masalahnya tetap klasik, sebagaimana kelemahan penegakan hukum lingkungan hidup selama ini, yakni perbedaan persepsi antara hakim dan masyarakat lingkungan hidup tentang delik perusakan lingkungan.
Sementara itu, pada 1998 terjadi kebakaran hutan yang lebih dahsyat. Hutan seluas hampir 515 ribu hektare ludes dilalap jago merah, 508 ribu hektare di antaranya terjadi di Kalimantan antara Februari dan Maret silam. Kejadian ini sungguh memprihatinkan karena yang terbakar sebagian besar adalah hutan produksi dan taman nasional.
Dengan penegakan hukum yang lemah, bukan tidak mungkin bencana yang sama dahsyatnya akan terulang lagi kelak kemudian hari. Menurut Longgena Ginting dari Walhi, kebakaran hutan lebih sering disebabkan oleh kekeliruan pemerintah mengelola hutan. Dan kekeliruan itu dibiarkan terjadi selama 30 tahun.
Salah satu buktinya, kata Ginting, akibat kesalahan politik konversi hutan, di Indonesia areal hutan berkurang sampai tiga juta hektare setahun. Jumlah ini cukup besar karena hutan yang dikelola negara hanya 140 juta hektare. Adalah mengherankan, "Bila pemerintah hanya memandang kasus kebakaran hutan dengan sebelah mata," lanjut Ginting.
Setelah terjadi kebakaran pada akhir 1997 dan awal 1998, adalah suatu tindakan yang tidak bertanggung jawab kalau keluhan dan argumentasi kalangan LSM lagi-lagi tidak diindahkan. Vonis yang ringan, seperti diuraikan pada awal cerita ini, juga merupakan bagian dari sikap tidak bertangung jawab yang bersembunyi di balik kedok ketiadaan bukti dan dalih-dalih sepele semacam itu. Andaikata pemerintah akan menyempurnakan kebijakannya tentang hutan, yang mesti diingat adalah bahwa hutan bukan semata milik para pengusaha, tapi milik semua warga negara, termasuk generasi mendatang. Dan, hutan tropis di Indonesia adalah paru-paru bagi dunia.
Hp. S., Raju Febrian, Hendriko L. Wiremmer (Jakarta), dan Mashuri Effendie (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini