BARU dua bulan "pedang" kepailitan beraksi, ternyata tebasannya cepat dan tajam, bahkan tak pandang bulu. Dan juga tak peduli akan besarnya utang. Melalui sidang kilat, Pengadilan Niaga Wilayah Jakarta Pusat telah memailitkan PT Modern Land Realty, yang beraset Rp 600 miliar. Vonis pailit dijatuhkan setelah dua konsumen pihak tergugat mengajukannya ke pengadilan, padahal tagihannya cuma Rp 94 juta.
Tanpa menunggu lama, pada Senin pekan lalu, Modern mengkasasi vonis pailit sepekan sebelumnya itu. Bahkan dua kreditur Modern, yakni Bank Danamon dan Bank Internasional Indonesia (BII), yang masing-masing punya piutang Rp 150 miliar dan Rp 140 miliar kepada Modern, juga naik kasasi. "Vonis itu merugikan klien kami dan bisa mematikan dunia usaha di Indonesia," ujar Hotman Paris Hutapea, kuasa hukum BII.
Vonis yang menggemparkan itu bermula pada investasi Modern Land dalam pembangunan apartemen golf di Tangerang, Jawa Barat. Apartemen itu kemudian dipasarkan dengan sistem pembayaran uang muka. Sampai akhir tahun lalu, apartemen berharga Rp 30 juta hingga Rp 90 juta itu laku seribu unit lebih.
Namun krisis moneter menyebabkan pembangunan apartemen terhenti. Sejak itu muncul klaim dari sekitar 700 orang konsumennya. Sebagian konsumen menerima penggantian kapling tanah ataupun apartemen di tempat lain.
Tak demikian dengan Husein Sani dan Johan Subekti serta 41 konsumen lainnya. Husein dan Johan, yang menyetor uang muka Rp 94 juta, belakangan mengajukan permohonan pailit terhadap Modern. Selanjutnya, pada 5 Oktober lalu, ketua majelis hakim Haryono menyidangkan perkara itu.
Pada sidang kedua, majelis hakim menunda sidang selama 15 menit karena para pihak mau berdamai. Tapi, begitu sidang dibuka dan kedua pihak belum mencapai titik temu, nah, majelis hakim langsung memvonis pailit Modern. Ada apa? Menurut Hakim Haryono, begitu pembangunan apartemen Modern berhenti, saat itu pula uang muka para konsumen menjadi utang. Karena itu, katanya, syarat kepailitan Modern terpenuhi--berarti Modern harus membayar utang kepada kedua kreditur setelah asetnya dijual.
Terang saja Modern, lewat Pengacara Amir Syamsuddin, keberatan. "Tak ada utang-piutang. Yang ada hanya jual-beli dan Modern dianggap ingkar janji. Jadi, ini bukan perkara pailit, tapi perdata biasa," katanya.
Amir juga heran mengapa majelis hakim hanya memberi waktu 15 menit kepada para pihak untuk berdamai, lantas cepat-cepat menjatuhkan vonis. Padahal, para pihak sudah sepakat untuk menyelesaikan urusan itu dalam waktu seminggu.
Ternyata, Bank Danamon dan BII, meski bukan pihak berperkara, juga mengajukan kasasi. "Sebagai kreditur yang jauh lebih besar, Danamon tak mau bila Modern sampai dipailitkan. Lagi pula Modern mampu merestrukturisasi perusahaannya dan bisnisnya masih berprospek," tutur pengacara Bank Danamon, Denny Kailimang.
Masalahnya, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998--terlahir pada 22 April silam di bawah desakan IMF dan mulai beroperasi sejak 1 September lalu--memungkinkan dipailitkannya debitur kapan saja oleh kreditur, begitu ia tak mampu membayar utang.
Jadi, "Tak peduli berapa pun jumlah utangnya," ucap Teguh Samudera, kuasa hukum Bank PDFCI. Bank PDFCI memang termasuk kreditur beruntung. Pada Rabu pekan lalu, tuntutan pailitnya terhadap PT Sarana Kemas Utama dikabulkan hakim. PT Sarana harus membayar utang PDFCI Rp 21,7 miliar.
Tindakan Bank PDFCI menggugat pailit memang tepat karena ia berada pada posisi sebagai kreditur terhadap tergugat. Namun, dalam kasus Modern Land, dua penggugat bukanlah kreditur, tapi pembeli. Menjadi pertanyaan kini, apakah Hakim Haryono tidak menyadari bahwa Perpu Kepailitan hanya berhak menyidangkan kasus gugatan antara kreditur dan debitur. Lalu atas dasar pasal yang mana, uang muka bisa berubah menjadi utang? Terakhir, adakah pasal yang memungkinkan hakim pengadilan niaga--seperti Haryono--digugat karena tidak cermat dan membuat tafsiran hukum secara sepihak?
Hp.S., I G.G. Maha Adi, dan Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini