Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dari SWKP Cengkeh, ke Meja Hijau

Nurdin Halid memanfaatkan SWKP petani cengkeh untuk mendapatkan kredit bank yang kemudian macet. Sebelum akhir Oktober, perkaranya sudah dilimpahkan ke pengadilan.

26 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KORUPSI, kata orang, seperti angin: terasa tapi tak nyata. Dan begitu isu korupsi berubah menjadi kasus, batas antara bersalah dan tak bersalah juga samar. Kasus korupsi dana simpanan wajib petani cengkeh di Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Hasanuddin, Ujungpandang, yang heboh belakangan ini, juga memancarkan bau korupsi yang tajam. Namun, pelakunya tak segera bisa digiring ke pengadilan. Adalah Nurdin Halid, Direktur Utama Puskud Hasanuddin, yang juga pengusaha, tokoh sepak bola, anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan, dan Ketua Koperasi Distribusi Indonesia, yang menjadi tersangka kasus korupsi Rp 60 miliar itu. Diperkirakan, Puskud telah menggunakan SWKP para petani cengkeh senilai Rp 60 miliar untuk dijadikan agunan kredit sebesar Rp 48 miliar yang dikucurkan oleh sindikasi Bank Umum Koperasi Indonesia, Bank Danamon, Bank Umum Nasional, dan Induk Koperasi Unit Desa. Belakangan, kredit tersebut bermasalah. Sebabnya tak lain adalah dana sindikasi itu digunakan untuk proyek yang kurang menghasilkan, di antaranya pembelian gedung, tanah, dan pembangunan pusat perkulakan Goro di Ujungpandang. Kendati sudah ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, kasus ini bukannya reda, tapi makin berkembang dan penuh kontroversi. Situasi memanas karena terjadi demonstrasi yang menyerang satu sama lain. Ada aksi unjuk rasa yang meminta agar Nurdin Halid segera diadili, tapi ada juga demo yang justru menuntut agar Gagoek Soebagyanto dicopot dari jabatannya selaku Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Pertentangan itu meruncing dan mencapai puncak dalam teror dan "perang" antara Gagoek dan Nurdin. Gagoek dituduh beberapa kali meminta dana dari Nurdin. Sebaliknya, Gagoek menuding Nurdin pernah mencoba menyuapnya. Demikian eksplosifnya hubungan mereka, sampai-sampai Gagoek meminta pensiun dini. Seiring dengan itu, Gagoek "digergaji" 10 jaksa bawahannya yang ikut memproses berkas perkara Nurdin. Mereka melaporkan perkara itu ke Jaksa Agung Andi M. Ghalib di Jakarta, yang pada intinya menyimpulkan bahwa tak ada kerugian negara pada perkara Nurdin. Cukup masuk akal memang, mengingat dana yang digunakan Nurdin bersumber dari empat bank swasta. Katakanlah ada penyalahgunaan, maka yang lebih berhak menuntut adalah para petani cengkeh yang SWKP-nya dijadikan agunan oleh Nurdin. Tentu saja, "koor " yang diperdengarkan 10 orang dari kejaksaan Ujungpandang itu lain nadanya dengan laporan Gagoek yang menyatakan bahwa kasus Nurdin telah merugikan negara--suatu tuduhan yang mestinya didasarkan pada bukti yang kuat juga. Berbicara tentang bukti, Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Wan Yacob Rahim tiba-tiba angkat suara. Yacob, yang menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan sebelum Gagoek, telah menyatakan bahwa tak cukup bukti tentang adanya unsur kerugian negara pada kasus Nurdin. Yacob bukan saja sependapat dengan kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan sebelumnya yang sama-sama pernah menghentikan penyidikan kasus Nurdin, tapi juga menegaskan bahwa 10 jaksa bawahan Gagoek itu sama sekali tak "menyalip" Gagoek. "Biasa, itu cuma perbedaan pendapat. Jadi, tak ada jaksa yang akan diperiksa Kejaksaan Agung," ujarnya. Gagoek sendiri bersikeras untuk melimpahkan kasus Nurdin ke pengadilan. Pada Rabu pekan lalu, Pengadilan Negeri Ujungpandang pun menyita satu rumah Nurdin di sana. Tapi Nurdin lebih gesit lagi karena dua hari sebelumnya ia melaporkan Gagoek ke Markas Besar Kepolisian di Jakarta, dengan tuduhan memfitnah. Sementara itu, pihak Puskud cenderung tutup mulut sedangkan petani cengkeh yang tergabung dalam 14 koperasi unit desa telah melayangkan surat kepada Puskud yang dipimpin Nurdin Halid. Inti surat itu adalah agar Puskud mencairkan dana SWKP yang merupakan hak mereka yang besarnya Rp 40 miliar berikut bunga, sehingga jumlahnya diperkirakan mencapai Rp 60 miliar. Di tengah pro dan kontra kasus korupsi SWKP cengkeh itu, Jaksa Agung Andi M. Ghalib membantah anggapan bahwa perkara Nurdin bakal "menguap". Ia malah berjanji, kasus Nurdin akan dituntaskan pada akhir Oktober ini. Ternyata, janji ini segera ditepati karena Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sul-Sel, D.S. Mangellai, S.H., mengatakan kepada pers pada Sabtu pekan lalu bahwa berkas pemeriksaan Nurdin Halid sudah rampung sebelum 29 Oktober, dan dengan demikian kasusnya segera bisa dilimpahkan ke pengadilan. Hp.S. Ma’ruf Samudra, Edi Budiyarso (Jakarta), dan Tomi Lebang (Ujungpandang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus