Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Siapa Bisa Menuntut Soeharto

Tindakan Presiden Habibie mengusut harta Soeharto dianggap dagelan politik.

26 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah 32 tahun tak "terjamah", lembaga kepresidenan kini tak kebal hukum. September lalu, badan pekerja Indonesian Corruption Watch (ICW) menuntut agar Jaksa Agung menyegel Kantor Sekretariat Negara dengan tujuan supaya semua dokumen dari 32 tahun masa pemerintahan Soeharto bisa diblokir. Dokumen-dokumen itu diperlukan--demikian menurut ketua ICW, Teten Masduki--untuk mendukung pengusutan terhadap tindak pidana korupsi yang mungkin dilakukan oleh bekas presiden Soeharto. Sejauh ini, ICW memang sangat getol mempertanyakan kesungguhan pemerintahan B.J. Habibie dalam mengusut tuntas kasus penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Soeharto.

Selain ICW, Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita) juga dengan teguh menggugat lembaga kepresidenan. Gerakan yang dipimpin Dr. Albert Hasibuan ini berinisiatif memerkarakan Presiden B.J. Habibie ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Gempita menuntut agar Presiden Habibie segera membentuk komisi independen untuk mengusut penyimpangan harta mantan presiden Soeharto. Hasibuan memberikan alasan, aksi Presiden Habibie--termasuk upaya Kejaksaan Agung--hanya bersifat kosmetik dan merupakan dagelan politik. Karena itu, Gempita berpendapat bahwa komisi independen bisa memulai pengusutan terhadap keputusan presiden (keppres) yang dikeluarkan semasa Soeharto, yang melegitimasi berbagai penyimpangan. Gempita menyebutkan ada 13 keppres, di antaranya keppres tentang proyek mobil nasional, pungutan Rp 50 per lembar karcis jalan tol bagi Yayasan Taman Mini Indonesia Indah serta Pramuka, serta keppres yang mengesahkan penggunaan dana reboisasi untuk Industri Pesawat Terbang Nusantara dan PT Kiani Kertas.

Kamis dua pekan lalu, tak disangka-sangka, PTUN Jakarta menyatakan bahwa gugatan Gempita layak sebagai obyek perkara PTUN. Dan pada Selasa pekan lalu, pemeriksaan persiapan selama 30 hari--untuk melengkapi gugatan--sudah dimulai. Padahal, gugatan Gempita terkesan aneh. Mereka mendalilkan bahwa perbuatan Presiden Habibie, yang tak kunjung mengeluarkan kebijakan (beleid) untuk membentuk komisi independen, merupakan pelanggaran hukum.

Memang, peradilan administrasi di Prancis, misalnya, bisa mengadili tindakan ataupun beleid penguasa. Namun, di Indonesia, yang bisa digugat hanyalah keputusan pejabat atau badan tata usaha negara. Selain itu, pengadilan selalu berpendapat bahwa beleid eksekutif tak bisa diadili.

Hasibuan bukan tidak mengetahui perkara itu, tapi ia menganggap PTUN mestinya berani melakukan rechstvinding (penemuan hukum) dan tidak terkungkung oleh formalitas. Dengan kata lain, ia lebih mengacu pada rasa keadilan masyarakat.

Selain itu, Gempita juga memosisikan gugatannya sebagai class action (aksi kelompok masyarakat). Dalam sistem hukum yang kini berlaku di Indonesia, class action belum diakui, kecuali untuk bidang lingkungan hidup. Pengadilan di sini juga berprinsip bahwa yang menggugat adalah yang berkepentingan dan mengalami kerugian langsung plus konkret. Di Belanda, gugatan class action merupakan hal yang lumrah.

Lantas, Gempita mewakili masyarakat yang mana dan adakah surat kuasanya? "Tak usah mendapatkan surat kuasa. Tuntutan agar Presiden Habibie membentuk komisi independen itu sudah merupakan aspirasi masyarakat Indonesia," tambah Hasibuan.

Menanggapi tuntutan Gempita, Menteri Sekretaris Negara Akbar Tanjung tak lantas menilai bahwa gugatan itu kurang tepat. Namun, "Sebaiknya upaya Kejaksaan Agung yang sedang meneliti kekayaan mantan presiden Soeharto, ya, dihormati," ujar Akbar yang juga ketua umum Golkar. Ia mengaku telah menugaskan Wakil Sekretaris Kabinet Prof. Erman Rajagukguk untuk meneliti sejumlah keppres warisan pemerintahan Soeharto. "Kalau unsur kolusinya terbukti, Presiden Habibie akan menempuh langkah konkret," Tanjung menjelaskan.

Sementara itu, Ketua PTUN Jakarta Sudarto Radyosuwarno menyatakan bahwa gugatan Gempita pada masa keterbukaan begini, ya, bisa-bisa saja. Tapi, "Dikabulkan atau tidak, wewenangnya tetap pada penguasa," ucapnya seraya tertawa.

Akhirnya, semuanya tentu terpulang bukan pada penguasa--seperti dikatakan oleh Sudarto--melainkan pada pengadilan badan yudikatif yang kurang berwibawa selama Orde Baru dan kini mendapat kesempatan untuk menegakkan kembali wibawa itu. Juli silam, Tim Pembela Demokrasi Indonesia menggugat Presiden Habibie dan mantan presiden Soeharto serta Ketua DPR/MPR Harmoko. Dan, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Persatuan Pengacara Era Reformasi Indonesia telah pula menyerahkan berkas perkara gugatan terhadap MPR dan Soeharto. ICW dan Gempita boleh menggugat, tapi "gong"-nya ada di tangan pengadilan.

Happy Sulistiyadi, Hendriko L. Wiremmer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus