PROF. Dr. Baharuddin Lopa, S.H. benar-benar tidak kenal kompromi dalam menangani perkara korupsi. Sejak dilantik menjadi jaksa tinggi di Sulawesi Selatan, 1982, Lopa tidak henti-hentinya menggebrak sana-sini. Ia jaksa pertama yang membongkar kasus "korupsi reboasasi", sehingga polanya dijadikan model operasi jaksa-jaksa tinggi di seluruh Indonesia. Ia pula yang menyeret "orang kuat" Ujungpandang, Tony Gozal, yang sebelumnya sulit diusut, ke pengadilan. Sikapnya yang keras - sehingga kadang-kadang terasa kaku - juga di terapkan kepada anak buahnya sendiri. Tanpa ragu-ragu ia memperkarakan seorang pejabat Kejaksaan Tinggi Sul-Sel, R. Radipi Sastrawidjaja, karena diduganya menerima suap Rp 7,5 juta dari seorang tertuduh korupsi yang diusutnya. Kamis pekan lalu, tuduhan itu terbukti di pengadilan, dan Radipi dihukum 2 bulan penjara dalam masa percobaan 6 bulan. Tapi, sebelumnya, hukuman yang lebih berat sudah diterima Radipi: Lopa menskorsnya dari jabatannya selaku kepala Seksi Penuntutan di daerah itu. Tindakan Lopa itu bukan tanpa peringatan. Sehari setelah ia dilantik menjadi jaksa tinggi di daerah itu, 18 Oktober 1982, ia membuat pengumuman di koran-koran: agar masyarakat tidak memberi sesuatu kepada anak buahnya. Dan para jaksa diharapkannya tidak menerima sesuatu pun tanpa hak. Salah satu kasus yang digarapnya adalah korupsi pajak CV Angin Timur, dengan Hieng Tungadi sebagai salah seorang tertuduhnya. Untuk itu, Lopa mempercayai seorang jaksa senior, Radipi, 51, menanganinya. Tapi, celakanya, Lopa menenma laporan tldak enak mengenai jaksanya itu: Radipi sering bertamu ke rumah pesakitannya. Apalagi, saat itu terlihat kehidupan Radipi tiba-tiba berubah. Jaksa itu membeli sebuah mobil Toyota Hardtop seharga Rp 6 juta. Lopa segera bertindak. Ia memerintahkan pengusutan terhadap bawahannya itu. Setelah menemukan berbagai ketidakberesan, Lopa menskors Jaksa Radipi, dan memerintahkan perkaranya disidangkan. "Biar anak buah sendiri, kalau salah harus ditindak, walaupun kesalahannya kecil saja, korupsi: Rp 7,5 juta," ujar Lopa. Ternyata, tidak mudah membuktikan kesalahan Radipi. Di pengadilan, memang, jaksa senior itu mengaku menerima uang Rp 7,5 juta dari Hicng Tungadi. Tapi, katanya, uang itu merupakan pinjaman dari Notaris Sistke Limowa dengan perantaraan Hieng. Walaupun Radipi mengaku tidak kenal Sistke, ia mengantungi kuitansi pijam-meminjam dengan notaris itu. Di kuitansi itu juga tercatat bahwa Radipi menjaminkan mobil yang baru dibelinya. Bahkan di sidang terbukti pula bahwa Radipi telah membayar kembali utangnya itu. Berdasarkan bukti-bukti itu, tim pembela, Prof. Teng Tjin Leng, O.C. Kaligis, dan Denny Kailimang, berkeyakinan bahwa Radipi tidak menerima suap. "Itu perkara utang-piutang. Karena itu, secara hukum, kesalahan Radipi tidak bisa dibuktikan," ujar Denny Kailimang. Tapi Jaksa Andi Amir, bekas bawahan Radipi yang membawa perkara itu ke pengadilan, berkeyakinan bahwa Radipi menerima suap dari Hieng. Andi Amir tidak percaya bahwa uang yang diterima Radipi itu merupakan pinjaman dari Sistke. "Bagaimana mungkin terjadi pinjam-meminjam - orangnya saja tidak saling kenal," ujar Andi Amir, yang sebelumnya menuntut hukuman 5 bulan penjara. Majelis Hakim yang diketuai Nyonya Hafni Zahara lebih mempercayai Andi Amir. Menurut Majelis, kuitansi pinjammeminjam antara Radipi dan Sistke itu hanyalah upaya.para pelaku untuk mengaburkan kasus penyuapan. Sebab itu, Majelis berkeyakinan bahwa Radipi menerima suap dari Hieng dengan dalih pinjam-meminjam. Keberhasilan Lopa menuntut Radipi agaknya akan memperlancar usaha kejaksaan mengadili Hieng, kepala pembukuan CV Angin Timur, dengan tuduhan melakukan penyuapan. Hanya saja, sayangnya, dalam kasus korupsi pajak CV Angin Timur, "sapu" Lopa "tersandung" sesuatu. Perkara korupsi -yang pernah gagal diusut dua jaksa tinggi sebelum Lopa - konon ditarik ke Kejaksaan Agung. Setidaknya, sampai kini belum ada kabar perkara itu akan disidangkan atau tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini