Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Satu Keluarga Jatuh dari Apartemen, Psikolog Forensik: Kedua Anak Bisa Disebut Korban Pembunuhan

Reza mengatakan, anak-anak dalam peristiwa satu keluarga tewas jatuh dari apartemen ini harus tetap diposisikan sebagai orang yang tidak setuju.

12 Maret 2024 | 01.59 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog Forensik Reza Indragiri angkat bicara soal satu keluarga jatuh dari apartemen Teluk Intan Tower Topas, Panjaringan, Jakarta Utara pada Sabtu lalu.Polisi mengatakan, keempat orang, yang terdiri dari ayah berinisial EA (50), ibu inisial AEL(52) dan dua anak berinisial JWA (13) serta JL (16), tewas usai jatuh dari rooftop apartemen.

Reza Indragiri tidak sepakat soal istilah bunuh diri sekeluarga dalam peristiwa tersebut. Ia menjelaskan, pernyataan bunuh diri sekeluarga bisa dipakai ketika masing-masing anggota keluarga itu sepakat untuk melakukannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, peristiwa ini tak hanya melibatkan orang tua atau dewasa. “Ingat, pada kejadian yang menyedihkan dan mengerikan itu ada dua orang anak-anak,” kata Reza lewat keterangan tertulis pada Senin, 11 Maret 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia meragukan keputusan anak-anak untuk melakukan bunuh diri. Menurut dia, dalam situasi apa pun, anak-anak tidak memiliki kehendak dan kesepakatan untuk melakukan tindakan semacam itu.

Reza menjelaskan, analogi yang melibatkan anak dalam kasus bunuh diri sama dengan kasus aktivitas seksual. Dari segi hukum, anak-anak yang terlibat dalam aktivitas seksual harus selalu didudukkan sebagai individu yang tidak ingin dan tidak bersepakat melakukan aktivitas itu. Sehingga, anak-anak dalam peristiwa kejahatan seksual adalah korban.

Anak-anak dalam peristiwa satu keluarga tewas jatuh dari apartemen ini harus tetap diposisikan sebagai orang yang tidak mau atau tidak setuju. Mereka, kata dia, dipaksa untuk melakukan tindakan ekstrem yang menghilangkan nyawa.

Kedua anak itu tidak bisa dikatakan bunuh diri, sebab mereka dipaksa untuk melompat dari apartemen. Oleh karena itu, kedua anak itu bisa disebut sebagai korban pembunuhan. “Pelaku pembunuhannya adalah pihak yang harus diasumsikan, telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat sedemikian rupa,” ucap Reza.

Ahli psikologi forensik itu memahami polisi tetap tidak bisa memproses lebih lanjut kejadian ini meski kasus berubah menjadi bunuh diri dan pembunuhan, sebab terduga pelaku, yaitu orang tua anak tersebut juga tewas.

Namun, seluruh pihak seharusnya mencatat bahwa kasus semacam ini bisa menjadi pidana. “Baik dalam pendataan polisi maupun keinsafan bagi seluruh pihak,” kata dia. Sayangnya, Indonesia memang belum mengenal posthumous trial atau proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati.

Pilihan Editor: Penjelasan Otorita IKN Soal Ultimatum 200 Warga Kaltim untuk Robohkan Rumah

Jangan remehkan depresi. Untuk bantuan krisis kejiwaan atau tindak pencegahan bunuh diri:

Dinas Kesehatan Jakarta menyediakan psikolog GRATIS bagi warga yang ingin melakukan konsultasi kesehatan jiwa.

Terdapat 23 lokasi konsultasi gratis di 23 Puskesmas Jakarta dengan BPJS. Bisa konsultasi online melalui laman https://sahabatjiwa-dinkes.jakarta.go.id dan bisa dijadwalkan konsultasi lanjutan dengan psikolog di Puskesmas apabila diperlukan.

Selain Dinkes DKI, Anda juga dapat menghubungi lembaga berikut untuk berkonsultasi:
Yayasan Pulih: (021) 78842580.
Hotline Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan: (021) 500454
LSM Jangan Bunuh Diri: (021) 9696 9293



Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus