Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Segala Cara Menjadi Agung

Calon hakim agung yang disodorkan MA ke DPR banyak yang tak layak. Untuk menutup pintu MA bagi calon bukan dari hakim?

3 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HASRAT membersihkan Mahkamah Agung ternyata bukan hanya alot, tapi juga bisa pudar. Buktinya, dari 72 nama calon hakim agung baru yang disodorkan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung (MA) ke DPR pekan-pekan lalu, semuanya berasal dari kalangan dalam alias dari jalur hakim karir. Para calon itu diajukan untuk mengisi kekosongan kursi 22 orang hakim agung. Kini, dari formasi 51 orang hakim agung, tinggal 28 hakim agung karena 22 orang lainnya akan pensiun dan seorang hakim agung, yakni Syafiuddin Kartasasmita, meninggal. Untuk mengisi kekosongan itu, Undang-Undang MA Tahun 1985 memberikan dua jalan. Pertama, jalan bagi hakim karir, asalkan sudah lima tahun menjadi ketua pengadilan tinggi atau 10 tahun menjadi hakim tinggi. Adapun jalan kedua diperuntukkan bagi kalangan bukan hakim alias jalur non-karir, dengan syarat sang calon punya pengalaman 15 tahun di bidang hukum. Jalan kedua, yang dua tahun lalu sudah menghasilkan beberapa hakim agung dari jalur non-karir ini, pernah pula diharapkan bisa membersihkan MA dari ke-bobrokan hakim. Ternyata, dalam rencana gelombang kedua pengisian hakim agung, lewat 72 nama calon tadi, MA menyodorkan calon-calon dari jalur karir. Sudah begitu, sebanyak 19 dari 72 calon itu pernah dinyatakan tidak lulus uji kelayakan (fit and proper test) sebagai hakim agung di DPR, dua tahun lalu. Menurut Ketua Ikatan Hakim Indonesia, Toton Suprapto, usul agar 19 calon itu dites kembali sebagai calon hakim agung di DPR cukup wajar. Alasannya, uji kelayakan dulu pertama kalinya dilakukan DPR. Lagi pula calon hakim agung yang kebanyakan berasal dari hakim daerah tersebut waktu itu belum siap. Hal ini tentu berbeda dengan calon hakim agung dari jalur non-karir, apalagi dari kalangan lembaga swadaya masyarakat, yang tentu pandai beretorika. Jadi, "Tak ada salahnya kalau mereka berhak memperoleh kesempatan kedua," ujar Toton, yang juga hakim agung. Sekretaris Jenderal MA, Gunanto Suryono, malah mengaku khawatir bila para hakim karir itu tak diperkenankan mengikuti ujian menjadi hakim agung lagi di DPR. "Setiap hakim karir bercita-cita jadi hakim agung. Kalau jalur itu dipotong, kasihan, dong. Karir mereka mati. Itu bisa menimbulkan masalah baru," kata Gunanto. Menanggapi usulan itu, Dwi Ria Latifa, anggota DPR dari PDIP, menyatakan boleh-boleh saja. Masalahnya, tidak masuk akal bila orang yang tak lulus lantas harus diuji lagi. Namun, yang lebih penting, esensi pada proses fit and proper test di DPR waktu lalu adalah soal kredibilitas dan moral. Kalau sudah tak lulus dalam soal ini, mestinya tak bisa ditawar-tawar. Yang jelas, lewat 72 nama calon tadi, MA juga mencoba menerobos jalur non-karir untuk hakim karir. Dengan cara ini, pensiunan hakim atau hakim tinggi yang sudah punya masa kerja 30 tahun?berarti berpengalaman lebih dari 15 tahun?diharapkan bisa menjadi hakim agung. Tak aneh, ada empat orang pensiunan hakim yang pernah diusulkan sebagai calon hakim agung dari jalur karir tapi dianggap tak lulus fit and proper test oleh DPR diajukan lagi lewat jalur non-karir. Keempat orang itu adalah Sorta Edwin Simanjuntak, Sakir Ardiwinata, Wiryawan, dan Abdul Kadir. Tapi Sorta, bekas Sekretaris Jenderal MA, mengaku tak berhasrat lagi dengan bursa calon hakim agung. "Saya mau istirahat," ujar Sorta, yang juga mengaku tak pernah menyodorkan namanya untuk diusulkan kembali. Hebatnya lagi, MA pun berharap agar DPR memperlonggar syarat bagi hakim karir. Soalnya, hingga kini tak ada kalangan hakim yang memenuhi syarat telah lima tahun menjadi ketua pengadilan tinggi atau 10 tahun menjadi hakim tinggi. Karena itu, "Kami mengajukan hakim karir dari wakil ketua pengadilan tinggi," ujar Gunanto. Memang, anggota DPR dari PPP, Aisyah Amini, mengakui bahwa persyaratan dalam Undang-Undang MA Tahun 1986 terlalu kaku. "Masa, untuk jadi hakim agung harus jadi hakim tinggi 10 tahun dulu? Itu susah," kata Aisyah. Lantas apa DPR mau "mengakali" undang-undang, tanpa mengamandemennya, agar keinginan kalangan hakim terakomodasi? Tentu itu tidak benar. Lagi pula itu semua baru menyangkut syarat formal, belum mencakup kualitas dan integritas sang calon hakim agung. Ahmad Taufik, Rommy Fibri, Levianer Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus