Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GERBANG besi yang berat itu berderit terbuka. Kamis malam pekan lalu, dikawal dua sipir, mantan Kepala Bulog Rahardi Ramelan melangkahkan kakinya menyusuri lorong Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta. Rambut putihnya awut-awutan. Cuma bersandal, mengenakan kaus oblong dan jins belel, dia tampak lebih tua. Itulah malam pertama profesor berusia 63 tahun itu menghuni sel nomor 2 blok IVA?sebuah ruang 2,5 x 2,5 meter, tanpa kipas angin, yang terletak persis di tengah kamar dua penjahat kelas kakap: Agiono, pembunuh Nyoo Beng Seng, dan Harnoko "Oki" Dewantono, sang penjagal Los Angeles 1992.
"Eksekusi" ke penjara Cipinang itu demikian cepat. Padahal, Kamis sorenya, Rahardi baru usai menjadi pembicara di sebuah seminar. Memakai jas warna hijau, ia buru-buru me-menuhi panggilan Kejaksaan Tinggi Jakarta. Ternyata, begitu berkas perkara Rahardi dalam kasus korupsi dana nonbujeter Bulog dari Kejaksaan Agung selaku penyidik dianggap lengkap, Kejaksaan Tinggi Jakarta sebagai penuntut segera menahan Rahardi.
Kontan Rahardi terkejut dengan keputusan penahanannya. Apalagi penahanan itu terjadi hanya sehari sebelum Akbar Tandjung, penerima dana nonbujeter Bulog Rp 40 miliar dan satu-satunya tersangka kasus korupsi itu yang tak dicekal, kembali dari Mekah seusai me-nunaikan ibadah haji.
Kenapa Rahardi mendadak ditahan? Memang, seorang tersangka kasus korupsi yang ancaman hukumannya lebih dari lima tahun penjara bisa ditahan. Tapi apa alasan subyektif pada penahanan Rahardi?
Tarwo Hadi Sajuri, Asisten Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Tinggi Jakarta, hanya mengutarakan alasan normatif. Katanya, Rahardi ditahan karena dikhawatirkan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, ataupun mengulangi tindak pidana. Tentu tiga alasan itu agak umum.
Argumentasi Tarwo dicoba diperkuat oleh koleganya, Kepala Hubungan Masyarakat Kejaksaan Tinggi Jakarta, Surung Aritonang. Menurut Surung, yang paling dikhawatirkan pada Rahardi adalah dugaan melarikan diri. Mungkin maksudnya ke luar negeri. Surung mengaitkan kekhawatiran itu pada proses persidangan perdana Rahardi kelak. "Kami tak bisa menjamin apakah terdakwa hadir atau tidak pada saat persidangan. Penahanan itu untuk kelancaran sidang nanti,'' kata Surung.
Tentu saja Yan Juanda Saputra, koordinator tim pengacara Rahardi, keberatan. "Rahardi tak akan melakukan tiga hal yang disebut jaksa. Kami siap menjamin," ujar Yan. Ia tetap mengaku tak habis mengerti dengan penahanan kliennya. Apalagi selama menjalani proses pemeriksaan, Rahardi selalu kooperatif. "Beliau kan selalu memenuhi panggilan jaksa. Bahkan dari jauh, dari Jerman dan Amerika, beliau datang juga," tutur Yan.
Jadi, penahanan Rahardi dianggap sewenang-wenang dan akan dipraperadilankan? Kalau begitu, cepat saja, sebelum perkara pokoknya disidangkan. Pada perkara pokok ini, Rahardi dituduh terlibat dalam kasus korupsi dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 54,6 miliar saat menjabat Kepala Bulog sekaligus Menteri Perindustrian dan Perdagangan semasa pemerintahan Presiden B.J. Habibie.
Sebesar Rp 40 miliar dari dana itu dikabarkan untuk program bantuan pangan yang diserahkan ke Menteri Sekretaris Negara waktu itu, Akbar Tandjung, yang kini menjadi Ketua Golkar dan Ketua DPR. Sebesar Rp 10 miliar lagi untuk dana keamanan dan diserahkan ke Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima TNI Jenderal Wiranto. Sisanya diberikan ke PT Goro Batara Sakti.
Dana yang diserahkan ke Wiranto ada laporannya. Tapi dana Rp 40 miliar yang diserahkan ke Akbar Tandjung jadi masalah, sehingga menimbulkan kasus dana nonbujeter Bulog. Selain Rahardi, ada empat lagi tersangka kasus ini, yakni Akbar Tandjung, Achmad Ruskandar, Dadang Sukandar, dan Winfried Simatupang. Tapi keempat tersangka itu tak ditahan. Bahkan Akbar Tanjung bisa ke luar negeri, lewat acara ibadah haji.
Kalau kesamaan di mata hukum benar diterapkan, mestinya tak cuma Rahardi yang ditahan. Surung Aritonang berpendapat bahwa posisi perkara Rahardi tak bisa dianalogkan dengan perkara Akbar. Namun, "Apakah penahanan Rahardi menjadi intro buat penahanan Akbar, saya nggak tahu. Tunggu saja perkembangan perkaranya," kata Surung.
Menanggapi kemungkinan negatif itu, pengacara Akbar Tandjung, Hotma Sitompoel, langsung memprotes. "Jangan hanya alasan yang ini ditahan, yang itu juga mesti ditahan. Cara berpikir begitu bukan bicara hukum," kata Hotma. Menurut dia, jangankan mencukupi alasan untuk ditahan, dianggap terlibat kasus korupsi itu pun Akbar tak cukup kuat buktinya. "Sekarang Akbar juga sudah membuktikan, setelah naik haji ia terus balik ke Tanah Air. Ia pun bukan lagi Menteri Sekretaris Negara, yang bisa main perintah mengeluarkan uang," ujar Hotma.
Ahmad Taufik, Dwi Arjanto, dan Rian Suryalibrata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo