NYONYA Dewi Soekarno, janda Bung Karno, diam-diam terlibat sengketa serius. Sekarang ini ia tengah menuntut kembali harta bendanya yang dititipkan kepada orang kepercayaannya, Nyonya Sugiyo, ketika ia meninggalkan Indonesia pada 1966. Melalui pengacaranya, Rusdi Nurima, pekan lalu Dewi meminta polisi melanjutkan pengusutan terhadap Nyonya Sugiyo, yang dianggap menggelapkan harta miliknya. Janda presiden pertama RI berusia 46 tahun itu mengaku mengenal Nyonya Sugiyo alias Keiko, wanita Jepang juga, sejak 1960-an. Ketika itu, Ratna Sari Dewi menjabat Ketua Lembaga Indonesia-Jepang, Sekolah Bahasa Jepang, dan perkumpulan wanita-wanita Negeri Sakura yang menikah dengan lelaki Indonesia. Karena dekat hubungannya, Dewi mengangkat Nyonya Sugiyo menjadi stafnya. Bahkan, istri Presiden Direktur Gaya Motor itu diberi kepercayaan untuk mengurus kediaman resminya, Wisma Yaso, yang sekarang menjadi Museum Satria Mandala. Sekitar November 1966, menurut Dewi, saat tengah hamil enam bulan, ia diperintahkan oleh Bung Karno meninggalkan Indonesia. Sehari sebelum terbang ke Tokyo, 6 November, Dewi menitipkan semua harta bendanya kepada Nyonya Sugiyo. Barang-barang berharga yang dititipkannya itu, katanya, berupa mebel antik, lukisan, dan cermin antik dari Cina. Selain itu, Dewi juga menitipkan dua buah perusahaan, yaitu PT Tri Satria dan PT Marindo. Pada saat itu Dewi, selain memiliki sebagian saham memang Direktris PT Marindo, yang bergerak di bidang produksi marmar di Tulungagung. Juga Direktris PT Tri Satria, pemegang merk mobil Toyota dan yang memproduksi plastik. Untuk kedua perusahaan itu, tutur Dewi kepada pengacaranya, ia membuat surat kuasa penuh kepada Sugiyo dan istrinya untuk mengelolanya. Ketika itu, kata Dewi, ia diminta pula oleh kedua sahabatnya untuk menandatangani dua lembar kertas kosong agar dapat digunakan pada saat mendesak. Setelah itu, hubungan persahabatan hanya berlangsung melalui surat-surat. Tentang kedua perusahaannya hanya kabar rugi melulu yang diperoleh Dewi. Kabar serupa juga diterimanya waktu ia berkesempatan datang ke Indonesia, ketika Bung Karno meninggal pada 1970. Pada 1981, barulah Dewi mendengar kabar buruk itu di Paris: PT Marindo bangkrut sehingga tanahnya dibeli PT Gudang Garam dan ia diberi US$ 50.000. Sementara itu, PT Tri Satria, yang juga rugi, sahamnya sebanyak 35% dijual Nyonya Sugiyo ke PT Astra. Yang mengejutkan Dewi adalah surat kuasa kosongnya yang ternyata sudah diisi oleh sahabatnya itu untuk menjual saham-sahamnya di kedua perusahaan itu. Kapan? Kata Dewi kepada pengacaranya: hanya seminggu setelah ia meninggalkan Indonesia. Sebab itu, sekembalinya di Indonesia, 1981, Dewi, yang hidup dari uang pensiun sebagai janda presiden RI, dan mengaku mempunyai bisnis konstruksi, mencoba menuntut kembali hak miliknya dari bekas sahabatnya itu. Setelah berunding melalui surat-surat, 1983, Nyonya Sugiyo menyetujui akan membayar kompensasi terhadap harta titipan Dewi. Tapi persetujuan itu belakangan mentah lagi. Dewi rupanya tidak bisa menerima tawaran Nyonya Sugiyo untuk mengganti hanya sekitar 5% dari nilai-nilai sahamnya. "Saya mengerti, pada tahun-tahun pertama perusahaan itu rugi. Tapi kini tanah PT Tri Satria itu saja bernilai lebih dari US$ 8 juta," kata Dewi. Kecuali itu, Dewi mencurigai keadaan bekas sahabatnya, yang dianggapnya semakin makmur saja setelah ditinggalkannya. Selain memiliki rumah di perumahan mewah Permata Hijau, di Simpruk, menurut Dewi, mereka juga memiliki saham di lapangan golf Senayan dan di sebuah pabrik di Bekasi. Sementara itu, ia sendiri mengontrak sebuah rumah di Jalan Suwiryo di Jakarta Pusat. Akhir tahun lalu, Dewi mengadukan Nyonya Sugiyo ke Mabak, dengan tuduhan mencuri barang-barang antiknya. Setelah polisi turun tangan, Nyonya Sugiyo bersedia menyerahkan kembali barang-barang yang dituntut Dewi, dengan catatan diminta langsung oleh pemiliknya secara baik-baik. Pada 22 Januari, melalui Pengacara Iswin Siregar, Dewi menjemput barang-barang itu dengan sebuah truk. Ternyata, tuan rumah keberatan, karena Dewi menuliskan surat kuasa untuk "mengambil dan menerima" barang-barangnya. Nyonya Sugiyo meminta agar Dewi memakai istilah "meminta". Ternyata, setelah surat itu diubah, Iswin tetap ditolak oleh Nyonya Sugiyo. "Semula, di depan polisi, Nyonya Sugiyo membenarkan menyimpan barang-barang Dewi. Tapi ia tidak bersedia mengembalikannya. Karena itu, sangat beralasan bagi kami mengadukannya sebagai perkara penggelapan," ujar pengacara Dewi yang baru, Rusdi Nurima. Selain itu, akhir bulan lalu, Dewi juga melaporkan ke Mabak tentang penggelapan yang dilakukan bekas sahabatnya atas kedua perusahaan miliknya. "Meskipun semua orang sama di depan hukum, kita harusnya angkat topi atas kemauan janda seorang presiden menempuh jalan hukum untuk sengketanya," ujar Rusdi. Pihak Mabak membenarkan telah menerima pengaduan-pengaduan Dewi. Tapi sampai saat ini, kata sebuah sumber di situ, polisi masih meneliti apakah kasus-kasus itu termasuk pidana atau perdata. Sementara itu, Nyonya Sugiyo, sayangnya, tidak memberikan komentar banyak atas kasusnya itu. "Sebetulnya saya dan Ibu Dewi sudah sepakat untuk tidak menyebarluaskan kasus itu. Ternyata, ia memberitakannya. Saya tidak akan terpancing karena itu," kata Nyonya Sugiyo. Karni Ilyas Laporan Bunga S & Bambang H (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini