BISNIS selalu punya musuh. Bisnis juga selalu punya pleidoi. Seorang teman bercerita tentang Augsburg, sebuah kota di Bavaria, di barat daya Jerman. Pada awal abad ke-16, di sana hidup seorang kaya yang bernama Jakob Fugger. Dia cuma keturunan seorang pemintal. Tapi dari warisan ayahnya yang jadi saudagar, ia mengembangkan bisnisnya, hingga a bisa menggertak seorang kaisar. Jakob memang pekerja keras dan bisa bengis. Ia menuntut pengorbanan apa saja buat kemajuan usaha. Ia menghendaki tiap anggota keluarga tunduk kepada kepentingan seluruh Fugger. Ia membangun kartel untuk menguasai harga dan penjualan pelbagai produk. Dan uang yang dipinjamkannya kepada para bangsawan dan penguasa menghasilkan konsesi khusus di pelbagai pertambangan. Selama dua windu terus-menerus keuntungan bisnis Fugger mencapai 54% tiap tahun. Dan dalam sejarah, kita bisa membaca sepucuk surat Jakob yang lugas kepada Kaisar Karel V: "Paduka tak akan dapat memperoleh tahta kekaisaran seandainya tanpa saya." Ia menagih utang. Kita pun ingat akan lukisan Mattahus Schware di tahun 1516 tentang majikannya ini. Jakob Fugger berdiri di tepi meja. Tangan kirinya menyentuh buku besar yang sedang diisi oleh akuntannya. Tangan kanannya menunjuk ke sebuah almari yang bertuliskan nama tujuh kota besar. Di kota-kota itulah berdiri cabang bisnisnya dan wajah Jakob Fugger tegak, streng. Kita bisa membayangkan bagaimana ia dibenci. Orang-orang bisnis memang tengah mendesak para kesatria yang mulai pada jatuh miskin. Tanpa rikuh, mereka membeli kastil-kastil bangsawan dan memperoleh gelar yang dulu cuma didapat oleh para darah biru. Dan dengan hati yang enteng, mereka membuang uang di meja pesta dan judi. Mereka harus diusir seperti serigala, teriak seorang pengkhotbah. Para kesatria di pedalaman, yang terpepet dan jadi perampok, tak cuma mengusir serigala itu. Mereka biasa memperlakukan secara khusus para saudagar yang jadi korban: tangan kanan anggota kelas baru itu, dengan segala dendam, dipotong. Dan sidang-sidang dewan perwakilan pun beberapa kali menyeru, seperti yang diserukan oleh Reichstag di Cologne di tahun 1512: agar para pemegang kekuasaan "secara rajin dan keras" menindak "perusahaan kapitalistis yang makan riba" itu. Hanya Kota Augsburg agaknya yang tidak hendak menggunakan maki-makian yang berkumandang di seluruh Jerman itu. Di tahun 1522 di Nuremberg bersidang. Diet yang kesekian kali. Sebuah komisi dibentuk. Tugasnya mendengarkan keluhan orang ramai tentang tingkah laku kaum monopolis. Surat pun dikirim ke pelbagai kota besar di Jerman, menanyakan pendapat apakah para kapitalis itu tidak perlu diatur atau dihancurkan saja. Hanya dari Augsburg datang pembelaan yang terang -- dan yang isinya masih sering jadi pleidoi di hari ini. "Seluruh Dunia Kristen (bahkan kiranya seluruh dunia) jadi kaya karena bisnis," begitulah Augsburg berbicara. "Di mana ada banyak saudagar, di sana ada banyak kerja .... Mustahil untuk membatasi besarnya perusahaan-perusahaan .... Jika seorang saudagar tak sepenuhnya bebas melakukan bisnis di Jerman, ia akan pergi ke tempat lain, suatu kerugian bagi Jerman sendiri .... Jika ia tak bisa melakukan bisnis di atas suatu jumlah tertentu, lalu apa yang harus dilakukannya dengan kelebihan dananya?" Ya, apa yang harus dilakukan orang bisnis ? Diet di Nuremberg itu tidak menjawab -- atau menjaab bukan sebagaimana yang diharapkan oleh para pemilik modal. Sebab, dari sana hukum dikeluarkan, agar perusahaan tak boleh punya modal di atas 50 ribu gilder, agar uang tak boleh dipinjamkan dengan bunga yang tinggi, dan agar harga-harga ditetapkan oleh undang-undang. Kita tak tahu apa yang terjadi kemudian di Augsburg. Mungkin tak sepenuhnya berubah. Karel V toh melindungi kepentingan bisnis ia berutang budi dan 543.000 florin kepada keluarga Fugger. Juga para pejabat kota praja tahu betapa menguntungkannya para saudagar. Jakob Fugger sendiri membantu Kota Augsburg dengan membangun 106 rumah buat orang-orang miskin, yang kemudian termasyhur sebagai "Fuggerei", bangunan tertua dalam sejarah buat permukiman si melarat. Sampai kini bangunan itu masih berdiri, sementara keputusan Nuremberg telah lama mati. Pada akhirnya, pangeran dan saudagar pun bersatu dalam kepentingan bersama. Maka, ketika pemberontakan petani pecah meluas di tahun 1524, umurnya cuma dua tahun. Dan bila di tahun 1524 Bapak Protestantisme Martin Luther menyebut "para pangeran dan saudagar, maling yang satu dengan maling yang lain", setahun kemudian -- setelah revolusi sosial pecah -- ia menyerukan agar yang berwewenang ditaati. Bapa Abraham juga punya budak, kata Luther, dan kerajaan dunia tak akan bisa berdiri kalau semua orang sama rata sama rasa .... Di Augsburg ada kapela indah (dibangun Fugger), tapi di sana memang tak ada surga. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini