Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Korban PKI

Johan Gerung Waworuntu, Effendi Suparman, dan Mayon Sutrisno, masing-masing, eks karyawan BNI, karyawan bio farma & wartawan Sarinah, jadi korban tuduhan terlibat PKI. Mereka mengadu dan menuntut ganti rugi.

8 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH dua puluh tahun aksi pengganyangan PKI berlangsung. Tapi masih ada saja persoalan-persoalan yang tercecer. Johan Gerung Waworuntu misalnya. Bekas karyawan BNI (Bank Negara Indonesia) 1946 itu kini tengah menuntut ganti rugi Rp 1,2 milyar dari bekas kantornya, melalui Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Gara-garanya ia dituduh terlibat G-30-S dan dipecat dari pekerjaannya pada 1973. "Saya hanya difitnah," ujar bekas kepala cabang BNI 1946 di Manado itu. Sebelumnya, berbagai jalan sudah ditempuhnya untuk menyelamatkan kehormatannya. Ketika baru diskors, awal Februari 1972, ia langsung mengadu kepada Satuan Tugas Komando Operasi pemulihan Keamanan dan Ketertiban Pusat Satgas Kopkamtibpus). "Karena saya, sebelumnya, sudah mendapat pernyataan bebas G-30-S dari lembaga itu," ujar Waworuntu. Dan, ia juga minta untuk disaring sekali lagi. Hasilnya, memang bersih. Tapi pihak BNI 1946 tak menggubris hasil saringan ulang itu. Sehingga, tiga bulan kemudian, Mei 1972, komandan satuan tugas itu mengirim surat penegasan bernada keras kepada direksi BNI 1946, agar mencabut kembali skorsing terhadap Waworuntu. "Untuk menjaga terpeliharanya norma-norma hukum yang telah ada," demikian isi surat yang ditandatangani Brigjen Soegeng Djarot (almarhum), yang tak tergubris juga. Waworuntu memang pernah ambil bagian dalam Yayasan Perguruan Rakyat Bhakti yang memiliki dua buah SD, 10 buah SMP, dan dua buah SMA di Sul-Ut. Belakangan 'baru diketahui bahwa salah satu pendirinya, Karel Supit, berusaha menarik yayasan itu ke dalam garis PKI. Tapi usaha itu dipatahkan oleh para pendiri lainnya. Saat itu, tahun 1951, Waworuntu berstatus sebagai guru SMP untuk mata pelajaran bahasa Jepang. "Karel memang satu-satunya PKI di yayasan itu," ujar Waworuntu mengenang. Sadar akan makin ruwetnya persoalan yang dihadapi, Waworuntu segera melayangkan tiga pucuk surat kepada pimpinan lembaga pemerintah -- Pangkopkamtib, Gubernur Bank Indonesia, dan Team Screening Pusat -- agar ikut turun tangan menangani kasusnya. Tapi jawaban yang didapatnya dari BNI 1946 malah sebaliknya. Sejak akhir Februari 1973, ia dinyatakan diberhentikan dengan tidak hormat. "Saya juga tidak diberi kesempatan membela diri," ujar Waworuntu. Sedangkan untuk alasan yang dipakai guna memecat pegawai seniornya itu, pihak BNI 1946 bersandar pada dua surat pernyataan dari Kopkamtibda Jaya (1972) dan Team Screening Jaya (1973) yang memasukkan Waworuntu sebagai PKI Golongan C-1. "Aneh sekali, saya tidak pernah diperiksa oleh kedua lembaga itu," ujar Waworuntu. Lebih aneh lagi, di surat itu ada tanda tangannya. Jangan-jangan ada yang memalsu," ujarnya lagi. Karena itu, Waworuntu makin gencar melayangkan surat-suratnya kepada para pimpinan lembaga keamanan pemerintah, di samping kepada direksi BNI 1946. Hingga akhir 1981, Kepala Staf Kopkamtib mengeluarkan surat keputusan yang membebaskan dirinya dari G-30-S. Hanya saja, suratnya kepada BNI 1946 belum tersambut. Baru pertengahan 1984, keluar pernyataan resmi dari BNI 1946. Hak pensiunnya yang berstatus K/ O (satu istri dan satu anak) dipercepat, terhitung sejak Januari 1982. Sedangkan tunjangan hari tuanya berpadanan Rp 3,9 juta. "Ini berarti masa kerja saya dihilangkan 10 tahun," ujar ayah tiga anak itu. Baginya, tunjangan yang layak ia terima bisa mencapai Rp 50 juta. Karena itu, ia tak bersedia menandatangani keputusan itu. Dan, Waworuntu ternyata tidak sendiri. Di Bandung, ada 20 bekas karyawan Perum Bio Farma juga mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengan Waworuntu. Tahun 1967, mereka dipecat-karena dituduh terlibat G-30-S, dan belum pernah direhabilitasi sampai sekarang. Padahal, mereka sudah mengantungi surat bebas G-30-S dari Kopkamtibda Ja-Bar dan Pusat. Hanya saja, pada 1976, mereka kalah di pengadilan tinggi melawan pemecatnya. "Tapi kami akan terus berusaha," ujar Effendi Suparman, yang mengaku mewakili 20 orang itu. Usaha Effendi memang mengalami kemajuan. Setelah gagal menembus birokrasi, ia mengajukan persoalannya kepada DPRD Ja-Bar. Sukses. Direksi Bio Farma diminta mencabut tuduhannya. Sayangnya, permintaan itu tidak pernah dipenuhi. "Saya punya dasar lain," ujar M.S. Nasution, Direktur Utama Bio Farma, pekan lalu, tanpa berniat memberi perincian lebih lanjut. Borok lama pun sudah mulai dimanfaatkan Effendi untuk melakukan serangan balik terhadap bekas bosnya. Ia menganggap tuduhan PKI yang dilemparkan Nasution, tak lain, karena dendam pribadi. Beberapa waktu sebelum pemecatan, Effendi dan kawan-kawan berhasil mengumpulkan 70 tanda tangan dalam surat kepada Menteri Kesehatan, agar Nasution dicopot. "Dari situlah ia mulai melempar isu PKI," ujarnya. Yang mengesalkan, kata Effendi, kala itu Nasution sendiri selalu berusaha menjegal kawan-kawan yang bekerja untuk ABRI. Guna mencegah penyusupan komunis di perusahaannya. Namun, aksi pecat itu ternyata juga tidak dilaksanakan pada semua orang. Mayon Sutrisno, bekas koordinator reportase majalah keluarga Sarinah, hanya diminta mengundurkan diri karena cerita bersambungnya berjudul "Nyai Wonokromo". Deppen menduga, kisah itu sebenarnya dikarang oleh seorang bekas anggota PKI. "Padahal, tulisan itu lahir dari ide saya sendiri," ujar alumnus Sekolah Seni Rupa Yogyakarta itu. Kemungkinannya terlibat G-30S juga nihil. Ketika gerakan itu pecah, pada 1966, novelis itu baru berumur tujuh tahun. Ia juga tidak pernah kenal Pramudya Ananta Toer, tokoh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berkiblat pada PKI. Konon, karya-karya tulis tokoh itu mewarnai karya Mayon. "Kami memang hanya menduga," ujar Sukarno, Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Deppen. Praginanto Laporan Biro Jakarta & Biro Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus