Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sengketa Golf Rawamangun

Pengurus "Jakarta Golf Club" (JGC) Rawamangun, Jakarta, digugat 5 orang ahli waris dalam sengketa tanah lapangan golf Rawamangun. Koran yang memberitakan akan dituntut JGC. (hk)

30 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA? Karena pemberitaan Harian Sinar Pagi edisi 11 Juni lalu, menurut Laksamana Sudomo, tendensius dan mencemarkan nama baiknya. "Saya bukan penjahat atau perampas tanah orang lain," sangkalnya. "Sebagai Ketua Opstib Pusat mau merampas tanah? Pikir dua kali, dong!" Bahwa ia dan dua perwira tinggi lain, Mayjen R. Sukardi dan Mayjen Sumrahadi serta 13 orang rekannya -- termasuk H. Omar Abdalla (Dir-Ut Bank Bumi Daya) digugat perkara tanah di pengadilan, memang betul adanya. Tapi semuanya itu perlu penjelasan: para pejabat tersebut digugat bukan sebagai pribadi-pribadi atau dalam rangka kedinasan. Tapi sebagai pengurus orgamsasi Jakarta Golf Club (JGC) Rawamangun (Jakarta). Sudomo, misalnya, digugat sebagai Presiden JGC. Penggugatnya lima orang ahli waris Rd. Kadirun Mangunpurnomo. Yaitu R Budi Sotyaning Pranamoerti Djojoasmoro, Dr. R. Buddy Santoso Suryo Putro, Dr. ir. R. Ambyo S. Mangunwidjaja, R. Boedhijono Martohandhoko dan Nyonya Sukaesih Yogini Sotyawati Achmad Chon. Surat gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, sejak Mei lalu, oleh Pengacara Soemarjono, Herman & Rekan. Bulan muka ini pengadilan akan membuka kembali sidangnya. Satu dua bulan sebelum wafat, Maret 1969, Rd. Kadirun tengah 'berkelahi' melawan Pengurus JGC Rawamangun. Persoalan tanah sekitar 9000 mÿFD di perbatasan lapangan golf Rawamangun. Tanah tersebut, menurut surat gugatan, milik verponding yang dibeli Kadirun pada 1940. Terbukti dari akte jual-beli mutlak yang dibuat di hadapan Wedana Meester Cornelis (kini Jatinegara). Tanah masih berupa kebun buah-buahan ada mangga, jeruk sampai kelapa. Srobot Tiba-tiba, sekitar 1967, Kadirun menemukan pagar batas lapangan golf telah berada di atas kebunnya -- tanpa permisi! Pun, oleh petugas lapangan golf yang senantiasa berjaga-jaga di sana, anak dan cucu Kadirun dilarang bermain di kebun seperti biasa. Setelah pemagaran, berikutnya, pohon buah-buahan dibabat. Usaha perluasan lapanan golf dengan cara begitu, menurut ahli waris Kadirun, dilakukan Pengurus JGC (waktu itu, tentu saja) secara melawan hak dan semena-mena. Main serobot saja "tanpa sepengetahuan apalagi seijin" pemiliknya. Keluarga Kadirun baru tahu kebunnya telah dikuasai orang lain, "ketika petugas lapangan golf melarang kami memetik buah-buahan," kata putera sulung almarhum R. Budi. Semasa hidupnya almarhum Kadirun tak kurang-kurangnya berusaha memperoleh kembali kebun buahnya. Keberatan secara lisan maupun tertulis terhadap pemagaran dan pembabatan kebun buahnya telah cukup gencar diutarakan. Walikota Jakarta Utara Timur juga sudah dimintanya ikut campur tangan. Tak sampai dua bulan setelah surat laporannya kepada walikota, "karena adanya perasaan tertekan yang berat yang diderita almarhum ayah" menurut penggugat, Kadirun meninggal dunia. "Saya tidak bisa mengatakan, apakah ada hubungan langsung atau tidak antara sakitnya ayah dengan pemagaran kebun," kata R. Budi. Yang jelas, hingga saat-saat terakhir Kadirun masih tetap berharap memperoleh apa yang dianggap menjadi haknya. "Saya terpaksa mengatakan telah mendapat penggantian dan menyimpan uangnya di bank," tutur Budi. Sepeninggal Kadirun, tuntutan terhadap JGC dilanjutkan oleh ahli waris. Dalam pembicaraan Pebruari 1971, menurut penggugat, Pengurus JGC ada mengakui hak mereka dan menjanjikan pemberesan. Tapi, katanya, semuanya "hanya janji kosong belaka." Melalui pengadilan JGC dituntu~t membayar sewa Rp 100/mÿFD/bulan untuk 9000 mÿFD tanah warisan Kadirun yang sudah terpakai lapangan golf selama 12 tahun. Untuk pohon buah-buahan diminta ganti rugi Rp 1,4 juta. Sedangkan kerugian moril, berupa tekanan batin yang diderita Kadirun sampai meninggal, Rp 15 juta. Tuntutan semuanya Rp 146 juta -- belum termasuk bunga. Untuk penglepasan hak tanah, hakim diminta menetapkan Rp 60 ribu/mÿFD. Tapi mengapa Sudomo dkk, yang baru 1971 duduk sebagai Pengurus JGC dipilihnya sebagai tergugat? "Selaku para pengurus suatu perkumpulan," begitu penggugat, 15 orang tergugat (yang tergabung sebagai Tergugat II, sedang JGC sebagai Tergugat I), "menurut hukum bertanggungjawab, setidaknya ikut bertanggungj~awab atas segala tindakan yang dilakukan perkumpulan." Melalui pengacaranya, Letkol (Pur) Maryadi Jayawidagdo SH, baik Laksamana Sudomo dkk maupun JGC akan menangkis gugatan Juli nanti: JGC, menurut Maryadi, memperoleh tanah yang dipersengketakan tersebut secara sah. Menurut undang-undang (UUP Agraria 1961), katanya, pemilikan tanah harus didaftar kembali dalam tempo lima tahun setelah UU berjalan. Jika pemiliknya meninggal, dalam waktu enam bulan ahli warisnya sudah harus mengurus pendaftaran kembali. Dan semuanya itu, menurut Maryadi, tidak dilakukan oleh Kadirun maupun ahli warisnya. "Jadi," ujar Maryadi, "tanah yang tidak didaftarkan itu otomatis jadi milik negara."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus