MENGAPA? Karena pemberitaan Harian Sinar Pagi edisi 11 Juni
lalu, menurut Laksamana Sudomo, tendensius dan mencemarkan nama
baiknya. "Saya bukan penjahat atau perampas tanah orang lain,"
sangkalnya. "Sebagai Ketua Opstib Pusat mau merampas tanah?
Pikir dua kali, dong!"
Bahwa ia dan dua perwira tinggi lain, Mayjen R. Sukardi dan
Mayjen Sumrahadi serta 13 orang rekannya -- termasuk H. Omar
Abdalla (Dir-Ut Bank Bumi Daya) digugat perkara tanah di
pengadilan, memang betul adanya. Tapi semuanya itu perlu
penjelasan: para pejabat tersebut digugat bukan sebagai
pribadi-pribadi atau dalam rangka kedinasan. Tapi sebagai
pengurus orgamsasi Jakarta Golf Club (JGC) Rawamangun (Jakarta).
Sudomo, misalnya, digugat sebagai Presiden JGC.
Penggugatnya lima orang ahli waris Rd. Kadirun Mangunpurnomo.
Yaitu R Budi Sotyaning Pranamoerti Djojoasmoro, Dr. R. Buddy
Santoso Suryo Putro, Dr. ir. R. Ambyo S. Mangunwidjaja, R.
Boedhijono Martohandhoko dan Nyonya Sukaesih Yogini Sotyawati
Achmad Chon. Surat gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta
Utara-Timur, sejak Mei lalu, oleh Pengacara Soemarjono, Herman &
Rekan. Bulan muka ini pengadilan akan membuka kembali sidangnya.
Satu dua bulan sebelum wafat, Maret 1969, Rd. Kadirun tengah
'berkelahi' melawan Pengurus JGC Rawamangun. Persoalan tanah
sekitar 9000 mÿFD di perbatasan lapangan golf Rawamangun. Tanah
tersebut, menurut surat gugatan, milik verponding yang dibeli
Kadirun pada 1940. Terbukti dari akte jual-beli mutlak yang
dibuat di hadapan Wedana Meester Cornelis (kini Jatinegara). Tanah
masih berupa kebun buah-buahan ada mangga, jeruk sampai kelapa.
Srobot
Tiba-tiba, sekitar 1967, Kadirun menemukan pagar batas lapangan
golf telah berada di atas kebunnya -- tanpa permisi! Pun, oleh
petugas lapangan golf yang senantiasa berjaga-jaga di sana, anak
dan cucu Kadirun dilarang bermain di kebun seperti biasa.
Setelah pemagaran, berikutnya, pohon buah-buahan dibabat.
Usaha perluasan lapanan golf dengan cara begitu, menurut ahli
waris Kadirun, dilakukan Pengurus JGC (waktu itu, tentu saja)
secara melawan hak dan semena-mena. Main serobot saja "tanpa
sepengetahuan apalagi seijin" pemiliknya. Keluarga Kadirun
baru tahu kebunnya telah dikuasai orang lain, "ketika petugas
lapangan golf melarang kami memetik buah-buahan," kata putera
sulung almarhum R. Budi.
Semasa hidupnya almarhum Kadirun tak kurang-kurangnya berusaha
memperoleh kembali kebun buahnya. Keberatan secara lisan maupun
tertulis terhadap pemagaran dan pembabatan kebun buahnya telah
cukup gencar diutarakan. Walikota Jakarta Utara Timur juga sudah
dimintanya ikut campur tangan.
Tak sampai dua bulan setelah surat laporannya kepada walikota,
"karena adanya perasaan tertekan yang berat yang diderita
almarhum ayah" menurut penggugat, Kadirun meninggal dunia. "Saya
tidak bisa mengatakan, apakah ada hubungan langsung atau tidak
antara sakitnya ayah dengan pemagaran kebun," kata R. Budi. Yang
jelas, hingga saat-saat terakhir Kadirun masih tetap berharap
memperoleh apa yang dianggap menjadi haknya. "Saya terpaksa
mengatakan telah mendapat penggantian dan menyimpan uangnya di
bank," tutur Budi.
Sepeninggal Kadirun, tuntutan terhadap JGC dilanjutkan oleh ahli
waris. Dalam pembicaraan Pebruari 1971, menurut penggugat,
Pengurus JGC ada mengakui hak mereka dan menjanjikan pemberesan.
Tapi, katanya, semuanya "hanya janji kosong belaka."
Melalui pengadilan JGC dituntu~t membayar sewa Rp 100/mÿFD/bulan
untuk 9000 mÿFD tanah warisan Kadirun yang sudah terpakai lapangan
golf selama 12 tahun. Untuk pohon buah-buahan diminta ganti rugi
Rp 1,4 juta. Sedangkan kerugian moril, berupa tekanan batin yang
diderita Kadirun sampai meninggal, Rp 15 juta. Tuntutan semuanya
Rp 146 juta -- belum termasuk bunga.
Untuk penglepasan hak tanah, hakim diminta menetapkan Rp 60 ribu/mÿFD.
Tapi mengapa Sudomo dkk, yang baru 1971 duduk sebagai Pengurus JGC
dipilihnya sebagai tergugat? "Selaku para pengurus suatu
perkumpulan," begitu penggugat, 15 orang tergugat (yang tergabung
sebagai Tergugat II, sedang JGC sebagai Tergugat I), "menurut
hukum bertanggungjawab, setidaknya ikut bertanggungj~awab atas segala
tindakan yang dilakukan perkumpulan."
Melalui pengacaranya, Letkol (Pur) Maryadi Jayawidagdo SH, baik
Laksamana Sudomo dkk maupun JGC akan menangkis gugatan Juli
nanti: JGC, menurut Maryadi, memperoleh tanah yang
dipersengketakan tersebut secara sah.
Menurut undang-undang (UUP Agraria 1961), katanya, pemilikan
tanah harus didaftar kembali dalam tempo lima tahun setelah UU
berjalan. Jika pemiliknya meninggal, dalam waktu enam bulan ahli
warisnya sudah harus mengurus pendaftaran kembali. Dan semuanya
itu, menurut Maryadi, tidak dilakukan oleh Kadirun maupun ahli
warisnya. "Jadi," ujar Maryadi, "tanah yang tidak didaftarkan
itu otomatis jadi milik negara."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini