SEORANG gadis tampil membawakan judul pantomim: Jatuh Cinta.
Masuk panggung tersenyum-senyum, jalan-jalan, berlenggang. Ah,
ya, dia tampil tanpa rias muka, memakai rok yang dipakainya
sebelum naik panggung. Lalu berlari-lari, rupanya menuju ke
telepon. Putar nomor. Nggak jadi. Telepon diletakkan lagi. Ini
satu contoh, bagaimana tidak komunikatifnya pantomim yang
dibawakan sebagian besar peserta -- meskipun bisa ditebak apa
maksudnya. Gerak-gerik yang dibawakan sama sekali tidak
membentuk kesan. Dan sebagai keseluruhan -- dari masuk panggung
sampai keluar lagi -- tidak memberi gambaran satu peristiwa atau
suasana.
Meski hampir semua mencoba meniru Marcel Marceau, toh ada satu
dua yang menampilkan entah gaya dari mana, tapi menarik.
Misalnya satu grup dari tiga orang pemuda. Mereka memerankan
cewek-cewek, dan judul pantomimnya Mari Bermain. Ada adegan
lompat tali, ada main sembunyi-dapat. Sementara musik gembira
mengiring sampai habis. Di situ rupanya tak ada maksud
menirukan, tapi bermain di panggung itu sendiri.
Ada lagi yang tampil dengan rias wajah putih, dengan kaos putih
dan sebuah kotak panjang -- tapi hanya satu sisi yang tertutup.
Mula-mula kotak itu berfungsi sebagai box telepon. Lalu menjadi
perahu. Akhirnya menjadi tribun seolah kita melihat satu
pertandingan olah raga dan si aktor barusan memenangkan
pertandingan. Ini termasuk yang berhasil.
Raja Buan Hajat
Dalam Mencuci, seorang tampil dengan kaos dan celana hitam.
Pertunjukan berjalan santai, sekali-sekali ada adegan lucu.
Misalnya, si aktor ketika menimba air hampir tercemplung ke
sumur. Atau pakaian yang dicuci ternyata berbau amat tidak enak:
dia pencet hidung sambil satu tangannya seolah menjinjing
pakaian yang tentu saja abstrak itu.
Yang unik ketika tampil peserta kelompok terdiri dari dua orang
-- Matador. Ajaib, pemuda yang berjalan membungkuk berkaos
kuning benar-benar memberikan imaji seekor kerbau. Dan enaknya,
sekali-sekali "kerbau" ini unjuk kesantaian juga menghadap ke
belakang panggung, angkat sebelah kaki, lantas penonton pun ger
karena tahu dia lagi kencing.
Walhasil apakah yang ditampilkan sekitar 80 peserta ini
benar-benar pantomim atau bukan, sebenarnya tidak penting. Toh
istilah itu datang bukan dari kita. Yang penting: ini
pertunjukan, tontonan seni dengan bahasa gerak tubuh, yang boleh
dibantu dengan sedikit rias, kostum atau properti atau
musik/suara.
Karena itu menjadi sangat menarik ketika satu kelompok peserta
tampil dengan tiga pemain dan membawakan judul Mengantar Raja
Buang Hajat. Dengan ditandu lengan dua pengawal, raja turun dari
tahta, entah menuju ke (mungkin) kamar kecil. Raja pun berak,
sementara dua pengawal menutup hidung. Kemudian buru-buru
seorang pengawal mengambil air dengan ember, disodorkan ke depan
raja. Selesai, kembali dibawa dengan tandu lengan dua pengawal.
Ini terasa lebih segar, bebas, dan pretensinya -- kalau toh
memang mereka rasakan -- hanya sekedar bermain, tak lebih tak
kurang. Dan bukankah kreativitas muncul dari semangat bermain?
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini