HUKUM mati di bawah pisau guillotine di Perancis, setelah
hampir 200 tahun diperkenalkan sejak revolusi Perancis,
berangsur-angsur lenyap -- meskipun undang-undang tidak
menghapuskannya. Beberapa hal menarik menunjukkan hal itu. Sejak
1968 sampai peristiwa terakhir, seorang pembunuh anak dipenggal
September 1977, hanya terjadi 7 kali eksekusi hukuman mati.
Tahun ini saja juri telah 3 kali menolak eksekusi hukuman mati
bagi para pembunuh. Seorang imigran Tunisia yang didakwa
merampok dan membunuh suami isteri tukang roti, seorang pecandu
minuman keras yang menganiaya gadis kecil hingga tewas dan
seorang pria 70 tahun yang menembak mati seorang wanita dan
polisi.
Robert Badinter, pembela dari ketiga tertuduh tadi, malahan
menghimbau pengadilan untuk membatalkan saja keputusan hukuman
mati bagi kliennya atau sama sekali menghapuskannya. Sikap anti
hukuman mati muncul di benak Badinter sejak ia menyaksikan
eksekusi terhadap kliennya. Ia yakin meskipun pendapat umum di
Perancis menghendaki hukum guillotine itu tetap dipakai, para
juri akan enggan melaksanakan hukuman mati. "Di Perancis hukuman
mati artinya adalah sang maut," kata Badinter. "Dalam teorinya
memang setiap orang akan menentang usaha penghapusan itu. Tapi
mereka akan bereaksi lain apabila dihadapkan pada kenyataan:
pilih hidup atau mati." Begitu dikutip International Herald
Tribune.
Sebelum itu dalam pembelaannya terhadap tertuduh Patrick Henry,
penculik dan pembunuh anak-anak, Badinter berhasil menteror
pendirian para juri. Kepada para penentu keadilan itu ia
berkata: "Anda secara pribadi-pribadi pada hari ini
bertanggungjawab menentukan mati hidupnya tertuduh yang hanya 5
meter jauhnya dari tempat anda duduk." Pembelaannya yang
gemilang: leher Henry terhindar dari mata guillotine.
Tapi setiap kali menyelamatkan para pembunuh dari pisau
guillotine, Badinter menerima surat ancaman. Malahan
apartemennya di Paris pernah dibom. "Ini menunjukkan sesuatu
yang baru: pembela dianggap bersalah seperti tertuduhnya," kata
Badinter.
Sementara pengadilan cenderung enggan melaksanakan hukuman mati,
teror politik, penyergapan terhadap seseorang, kejahatan seks
dan penculikan akhir-akhir ini menjangkiti Perancis. Masyarakat
gelisah dan tentu saja mengharapkan tindakan keris terhadap para
pelaku kejahatan. Serba salah.
Setelah lama berdiam diri Gereja Katholik dan Protestan ikut
juga menentang hukuman mati. Untuk pertama kalinya, sejak 1908,
Parlemen juga akan membuka perdebatan tentang hal itu. Menteri
Kehakiman, Alain Peyrefitte, menjanjikan memasukkan acara itu
segera setelah masa reses musim panas bulan depan. Kini
pemerintah tidak hanya memancing prdebatan untuk menguji
pendapat umum. Tapi sesungguhnya mengundang Parlemen untuk
mencabut hukuman mati.
Tapi Badinter tidak yakin pemungutan suara di Parlemen dapat
mempensiunkan algojo guillotine -- meskipun diketahui Presiden
Giscard dan Perdana Menteri Raymond Barre membenci hukuman mati.
Di sini, sejak Indonesia merdeka menurut ahli kriminologi, Dr.
J.E. Sahetapi, baru ada 6 kasus hukuman mati. Namun bentuk
hukuman bagi pembunuhan berencana tersebut pada umumnya selalu
dirubah oleh mahkamah banding atau kasasi menjadi hukuman seumur
hidup. Hanya Oesin Batfari, yang didakwa membunuh 6 orang
temannya (1964) dan dijatuhi hukuman mati sejak 1967, tak dapat
diselamatkan. Ia berhadapan dengan regu tembak, 14 September
tahun lalu di pinggir kota Surabaya. tanpa perdebatan yang
berarti dari para ahli hukum di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini