MAD Sani dan istrinya kalang kabut. Sudah beberapa hari anak
gadis mereka, Nuriah, 22 tahun, tak pulang ke rumah. Padahal ia
satu-satunya pencari nafkah untuk lima adik dan kedua orang
tuanya itu. Perasaan Mad Sani kian tak menentu mendengar ada
sesosok mayat wanita muda ditemukan di Kali Jodo, 6 Desember
lalu. Hari itu, Nuriah sudah 10 hari menghilang. "Jangan, jangan
. . . ," katanya waswas. Sakit asma Mad Sani pun kambuh.
Ia ragu setelah mengetahui ciri-ciri si mayat. Dan ketika
kecemasan hampir mencapai puncaknya, Jumat pekan lalu Nuriah
muncul di rumahnya, Kampung Bandengan RT 015/RW 02, Ragunan,
Jakarta Selatan. "Kami bertangisan," tutur Mad Sani.
Nuriah yang dikira sudah jadi mayat, selama 15 hari menghilang
ternyata berada di Lembaga Pendidikan Khusus (LPK) Pondok Bambu,
Jakarta Timur. Pada 26 November sekitar pukul 22.00, ia kena
razia di bilangan Monas. Tim Operasi Gabungan Kamtib, Suku Dinas
Sosial dan Kosek 701-02, mengira Nuriah wanita tuna susila.
Apalagi KTP-nya sudah mati, Februari lalu.
Ketika di-screening, menurut Jakub Nasution, Kepala Suku Dinas
Sosial Jakarta Pusat, Nuriah mengaku sebagai WTS. Pekerjaan itu
dilakukan sejak enam bulan lalu, dengan bayaran Rp 5.000 - Rp
7.500 sekali main. Ia pun, bersama belasan wanita dan seorang
waria, diangkut ke LPK Pondok Bambu, yang khusus menampung
pelanggar Perda No. 3/1972 -- tentang ketertiban kota, seperti
gelandangan WTS, kaki lima.
Soal KTP, Nuriah mengaku salah. Tapi, "Saya bukan WTS,"
bantahnya. Mengaku berhenti bekerja di tempat main bilyard
sebulan sebelumnya, malam itu, 26 November, ia nonton film
Mandarin di bioskop Monas bersama seorang temannya (wanita).
Mampir sebentar di Jakarta Bowling seperti sering dilakukannya,
ia lalu nongkrong di pinggir jalan makan jagung rebus.
Tiba-tiba datang mobil razia, dan kedua wanita itu pun lari
ketakutan. Setelah jatuh dan sebelah sepatunya tercecer, Nur
tertangkap. Ia memang mengakui hampir tiap malam keluar rumah.
Nongkrong di bar Jakarta Bowling dan beberapa bar lain menemani
tamu. Terkadang ia juga diajak jalan-jalan. Dan untuk semua itu
ia mendapat tip hingga bisa memberi uang belanja Rp 3 ribu
sehari. Meski sering pulang pukul 07.00 pagi, "sungguh, saya tak
pernah menjual tubuh," kata cewek berperawakan kecil berkulit
kehitaman itu.
Meskipun kini sudah berada di tengah keluarga yang ia sesalkan
adalah tak ada petugas memberitahu keluarganya selama ia di LPK.
hal serupa itu dialami juga oleh Maruli Tumanggar, mahasiswa
Universitas Tujuhbelas Agustus yang kena razia medio Desember
lalu. Dengan sangat mengharap ia minta tolong kepada Agus Basri
dari TEM PO untuk memberitahukan keadaannya kepada pamannya.
Jadi, bila ada anggota keluarga anda hilang, selain ke
rumahsakit, cobalah cari di LPK Pondok Bambu. Sebab setelah
disidangkan, pelanggar Perda. No 3 / 1972, bisa divonis sampai
dua bulan-satu ketentuan yang dianggap sebagian warga Jakarta
terlalu kaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini