Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Meramal Nasib Sendiri

Nyawa Hans Philip berakhir di ujung timah panas. Ia pernah meramal nasibnya sendiri.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hans Philip jelas bukan seorang ahli nujum. Tapi ucapannya tiga tahun lalu tentang nasib dirinya sendiri seakan menjadi sebuah nubuat. Syahdan, dalam sebuah wawancara dengan majalah Forum, 14 Juli 2002, Hans blak-blakan mengatakan dirinya menjadi target operasi. "Tapi saya bukan dijadikan TO (target operasi) untuk ditangkap, melainkan untuk dibunuh."

Dia menyebut perburuan terhadap dirinya terkait dengan adanya sebuah parik ekstasi yang belum terbongkar. Kilang itu kabarnya lebih besar kapasitas produksinya ketimbang milik Ang Kim Soei di Tangerang, yang sudah digerebek polisi tiga bulan sebelumnya. "Dalam data polisi Indonesia yang dikirim ke DEA (Drugs Enforcement Administration, Amerika Serikat), dikatakan saya ini bersenjata. Itu alasan saja supaya saya bisa langsung ditembak. Mereka itu mengejar saya untuk dibunuh. Nanti dilaporkan sayalah yang punya pabrik obat itu, tapi orangnya sudah mati!"

Tiga pekan lalu, ramalan itu menjadi kenyataan. Pria warga negara Belanda yang memiliki nama alias Philip Wijayanto itu tewas diterjang timah panas polisi di kawasan Greenville, Tanjung Duren, Jakarta Barat. "Polisi menembak karena Hans mencoba melawan ketika hendak ditangkap," kata Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisaris Jenderal Polisi Sutanto.

Dua hari setelah Hans tewas, polisi menggerebek sebuah pabrik ekstasi di kawasan Jasinga, Bogor. Kilang itu mampu mencetak 840 butir ekstasi per menit atau 252 ribu per hari. Memang jauh lebih besar ketimbang kapasitas pabrik milik Kim Soei, yang hanya 12 ribu butir per hari. Benar saja, polisi pun mengumumkan Hans sebagai pemilik pabrik pil godek tersebut.

Tak ada yang tahu sudah berapa lama Hans berada di kawasan Greenville. Entah bagaimana pula pria keturunan Tionghoa yang lahir di Fakfak, Papua, itu bisa masuk kembali ke Indonesia. Soalnya, sejak empat tahun lalu, ia resmi menjadi buron polisi. Namanya masuk daftar pencarian orang (DPO) menyusul ditemukannya 285 ribu butir ekstasi dari sebuah perusahaan ekspedisi di kawasan Bandar Udara Soekarno-Hatta.

Barang haram milik Hans itu sedianya akan dikirim kepada seseorang bernama David Rose di California, Amerika. Pertengahan Juli 2001, Hans diketahui pula berhubungan dengan David Avilla dan Derick Stewart. Keduanya diduga anggota sindikat peredaran narkoba di Los Angeles, Amerika.

Ketiga pria itu acap bertemu di Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Di sana mereka sempat terlibat keributan karena masalah peredaran narkoba. Maka, berdasar pola jaringan, jajaran BNN maupun Polri menganggap Hans salah satu pentolan sindikat narkoba internasional. Ia memproduksi ekstasi yang dipasarkan sampai ke Amerika.

Setelah kilang ekstasi milik Kim Soei terbongkar, Indonesia agaknya menjadi tempat yang panas bagi Hans. Soalnya, saat diperiksa polisi, Kim Soei sempat menyinggung namanya. Ketika itu petugas bertanya: "Sepengetahuan Saudara, apakah ada orang lain selain Saudara yang membuat MDMA (methylenedioxy metamphetamine) atau ekstasi?"

Kim Soei menjawab: "...Yang saya dengar, Yap sering bersama orang yang bernama Hans. Yang mana saya kenal Hans sejak di Belanda dan saya kenal dengan orang tuanya. Dan seperti biasanya, orang yang dekat dengan Yap selalu memanfaatkan keahlian Yap sebagai pembuat ekstasi.…"

Yap yang dimaksudkan adalah Jaap Van Dick. Pria asal Utrecht, Belanda, itu dikenal sebagai ahli peracik ekstasi. Dia diduga menjadi perancang kilang pil godek di Tangerang maupun di Jasinga. Ada lagi kesamaan kedua pabrik itu, keduanya berada di tengah perkampungan warga.

Dalam wawancara dengan Forum, Hans membantah terlibat bisnis haram narkoba. Toh, ia memutuskan kabur ke Singapura. Konon ketika itu ia dikawal petugas dari kesatuan elite yang bertindak sebagai pengawal pribadinya. Mengapa harus kabur? Hans mengaku menerima informasi akan "didor" oleh satu kelompok di Indonesia.

Di negeri orang pun, menurut Hans, para pemburu masih mengejarnya. Kamar hotelnya di Singapura pernah dimasuki orang. "Untunglah saya masih diizinkan hidup oleh Tuhan," ujarnya.

Polisi tidak gampang menangkap Hans. Lelaki ini memiliki banyak alamat di Jakarta. Dia terkadang tinggal di Ruko Grogol Permai Blok C/51-52. Tapi Hans juga kerap menggunakan alamat di Jalan Latumenten X Blok C Nomor 51-52, Jelambar, Jakarta Barat. Alamat lainnya, di Jalan Kelapa Elok Raya Blok QE 13, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Semua alamat itu palsu karena penghuninya sama sekali tak berhubungan dengan Hans. Satu-satunya alamatnya yang tepat adalah Ruko Grogol, itu pun sudah tak ditempatinya lagi sejak 1999.

Ada analisis, Hans dan Kim Soei tadinya satu kongsi. Riwayat mereka yang sama-sama besar di Papua menguatkan analisis itu. Kim Soei malah mengaku kenal dekat dengan ayah Hans. Mereka juga pernah sama-sama menetap di Belanda. Hans bahkan menjadi warga negara itu, sedangkan Kim Soei hanya memegang paspor Belanda.

Menanggapi dugaan itu, Hans, seperti dikutip Forum, mengaku Kim Soei memang pernah mengajukan proposal membuat pabrik ekstasi. "Dia minta saya membayar di muka sebesar 500 ribu gulden dan minta saham kosong 20 persen," ujarnya.

Selain itu, kata Hans, Kim Soei meminta agar perusahaan ekspedisi milik Hans yang mendistribusikan barangnya. "Terus terang saya menolak. Dikasih saham gratis pun saya tidak mau, karena saya tahu Kim Soei ini bekas kriminal di Belanda. Dia pernah masuk penjara karena kasus kokain atau heroin." Jadi?

Menurut Hans, kerja samanya dengan Kim Soei tak pernah terjadi. Dia malah menuduh Tomy Winata yang terlibat dalam bisnis ekstasi. Dalam wawancara dengan Tempo pada September 2002, Tomy mengaku sempat diperiksa Polda Metro Jaya dan Mabes Polri. Polisi bahkan mencatat dan memfotokopi paspornya untuk pembuatan rekomendasi dicekal.

Tomy sempat bertanya apa dasar tindakan tersebut. Kata polisi, "Ini begini, Tom. Opini kan sudah membara. Jadi, kami minta Anda tak meninggalkan tempat. Kalau nanti diperlukan untuk diperiksa, Anda harus siap." Namun, karena tak ada bukti, pemeriksaan akhirnya dihentikan.

Dari balik jeruji besi Penjara Cipinang, Kim Soei juga membantah cerita Hans dan analisis polisi. Kendati saat di Papua mereka dekat, ketika di Jakarta ia mengaku tak pernah saling berhubungan. "Saya tak tahu persis sepak terjangnya."

Komisaris Jenderal Sutanto tampaknya tak ambil pusing dengan berbagai spekulasi. Ia cuma menduga Hans kembali karena ekstasi merupakan bisnis yang menggiurkan. Setelah Hans tertembak, polisi mulai mengejar pentolan lain yang terlibat. Kata Sutanto, "Kini kami sedang mencari Meneer Jaap."

Nugroho Dewanto, Nurlis E. Meuko, Ramidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus