Siapa sebenarnya Haji Thahir, orang terdekat Ibnu Sutowo di zaman emas Pertamina? Dan Kartika Ratna, musuh nomor wahid Pertamina di Pengadilan Singapura? DI mana Kartika Ratna sekarang? Inilah pertanyaan yang sulit dijawab, termasuk oleh tim pembela Pertamina, yang gigih berupaya menarik ke luar "harta karun" yang hampir 15 tahun bersemayam di Bank Sumitomo Cabang Singapura. Janda tersohor itu, yang kini berusia 57 tahun, lebih suka bersembunyi, sambil menikmati rekening bersama atau joint account yang dia sambar dari Chase Manhattan dan Hongkong & Shanghai Banking Corporation di Singapura. Itu terjadi, selang tiga hari setelah Haji Thahir meninggal pada 23 Juli 1976 di Jakarta. Syahdan, Kartika kini menghuni sebuah rumah di daerah mahal di Jenewa, Swiss. Wanita kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, ini sudah tinggal di Swiss, bahkan sebelum Haji Thahir meninggal. Barangkali, Kartika sudah mencium pertanda buruk, pada saat krisis utang besar Pertamina mulai menguak 1975. Maka, dia meninggalkan apartemennya di daerah elite Grange Road di Singapura. Lagi pula, Fay, putrinya dari suami yang pertama, ketika itu sekolah di Lausanne, Swiss. Bisa jadi janda kaya ini termasuk salah seorang dari cafe society Eropa, yang suka menghadiri pesta cocktails dan makan malam di restoran mahal. Namun, yang menarik untuk kembali diungkap adalah, bagaimana sampai Kartika bisa memasuki kehidupan H.A. Thahir, orang terdekat dengan bos Pertamina ketika itu? Sebelum menginjak ke babak baru kehidupan Kartika di Singapura, ada baiknya kita menengok masa mudanya. Alkisah, wanita kelahiran Nganjuk yang dulu bernama Tan Kim Giok ini bukan anak orang sembarangan. Ayahnya, Tan Tjing Bo, pernah dikenal sebagai pedagang palawija dan tembakau yang sukses. Ia mendidik putrinya di sekolah Belanda. Kartika, yang semasa remaja biasa dipanggil Elsje, pernah mengenyam pendidikan di Hogere Burger School (HBS), setingkat SMA, di Malang, yang tak mudah menerima murid Indonesia. Els, yang berparas cantik dan bertubuh sintal, konon populer di kalangan pemuda elite di Surabaya dan Malang. Ia juga kabarnya suka dansa, suatu privilese yang jarang dimiliki orang muda masa itu. Namun, pada usia 21 tahun, dengan restu sang ayah, Els menikah dengan Nio Kiauw Lam, pemuda yang juga pernah bersekolah di HBS, lalu menjadi pedagang. Pasangan Els dan Kiauw Lam, yang kemudian hari memakai nama Herlambang, membuah- kan sepasang anak. Konon, sejak awal, kehidupan suami istri itu tak sepi dari pertengkaran. Kiauw Lam, yang bekerja keras, dan tak begitu suka pesta, agaknya sulit untuk mendampingi Els. Namun, perkawinan itu tak sampai retak, dan keluarga Nio pun lalu pindah ke Surabaya. Kemudian, pada awal 1960-an, mereka memutuskan untuk bermukim di Singapura. Di Kota Singa itu pula mereka kemudian melepaskan kewarganegaraan ganda, yang ketika itu masih banyak dianut keturunan Cina di Indonesia. Dan, melalui Konsulat RI di Singapura, mereka memutuskan untuk menjadi WNI. Dalam waktu yang tak terlalu lama, Kartika mulai populer di antara orang-orang Indonesia di Singapura. Wanita ini, meskipun tidak cemerlang, punya kemampuan menarik simpati rupanya. Tingginya sedang, cukup langsing untuk usianya yang di atas 30 tahun ketika itu. Bahasa Inggrisnya tidak sempurna benar, dan mulutnya masih menyimpan logat Jawa Timur. Namun, wajahnya adalah wajah keturunan Tionghoa yang cantik. Seorang atase di Kedubes RI di Singapura, yang kini sudah pensiun dan menjadi swasta, kabarnya memperkenalkan Kartika dengan kalangan "dalam" Indonesia di Singapura. Banyak juga yang tergiur rupanya. Antara lain, disebut-sebut, Kartika pernah menjadi "teman dekat" seorang pejabat top perusahaan penerbangan Pelita, yang kini sudah tiada. Alhasil, kehidupan Kartika yang penuh gemerlap itulah yang akhirnya membuat rumah tangganya goyah. Itu terjadi pada 1966. Ketika itu pula ia dikabarkan sering terbang mondar-mandir antara Singapura dan Jakarta. Ia kabarnya punya sebuah rumah mewah di kompleks perumahan Pertamina di Simpruk, Jakarta Selatan, yang kemudian jadi perkara. Ia juga telah membeli tanah persawahan yang cukup luas di Malang, senilai Rp 200 juta waktu itu. Di atas tanah itulah ia mendirikan PT Ratna Malang Land. Itu pun kemudian jadi perkara pengadilan karena pembelian tanah tersebut rupanya dianggap telah melanggar Undang-Undang Agraria (lihat TEMPO, 13 September 1980). Bukan mustahil rumah Kartika di kawasan Simpruk adalah hasil pemberian Haji Thahir. Namun, bagaimana wanita itu mulai memasuki kehidupan tokoh yang pernah berkuasa di Pertamina, hingga sekarang masih teka-teki. Ada yang mengatakan bahwa pengusaha beken di Singapura, Robin Loh, yang memperkenalkan Kartika dengan Haji Thahir. Robin, yang namanya tenar pada awal 1970-an, memang banyak mengurusi proyek-proyek besar Pertamina, antara lain di Pulau Batam. Bagi Thahir, perkenalannya dengan Kartika merupakan lembaran tersendiri dalam sisa hidupnya. Pak Haji, begitu ia biasa dipanggil di kalangan Pertamina, mulai tampil bersama Kartika di berbagai pesta di Singapura. Ia, sebelum kemudian resmi menikah dengan Kartika, dikabarkan sudah "hidup bersama" dengan wanita itu. Pada awal tahun 1970-an Kartika kabarnya mulai tampak di gelanggang Organisasi Wanita Indonesia di Singapura. Kartika pulalah yang sering tampil sebagai penerjemah Asisten Utama Dirut Pertamina, dalam berhubungan dengan orang asing. Orang penting di Pertamina itu, sekalipun sudah sering keliling dunia, kabarnya masih merasa kerepotan kalau harus bicara Inggris. Di situlah tampil peran Kartika, yang, menurut sebuah sumber, bahkan mulai sering turut dalam berbagai negosiasi dengan pihak perusahaan asing. Terutama dengan tiga kontraktor Jerman yang sangat terlibat dalam pendirian proyek rugi PT Krakatau Steel di Cilegon, Banten: Klockner, Ferrostahl, dan Siemens AG. Dari tiga perusahaan Jerman itu pula timbul permainan komisi, yang bermuara ke dalam rekening bersama Thahir-Kartika di beberapa bank di Singapura. Peran Kartika dalam pentas kehidupan Haji Thahir yang akhirnya membuat dia bercerai dari suaminya. Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo, pengacara terkenal dan bekas menteri perdagangan dulu, adalah yang berkenan mengurus perceraian Kartika dengan Herlambang, pada 1974 di Jakarta. Herlambang, ketika ditemui wartawan TEMPO Fikri Jufri di Singapura, pada Maret 1980, mengaku hidupnya pas-pasan. Dia menghuni sebuah flat sederhana di daerah Ang Moo Kio, bersama temannya. Beberapa bulan setelah perceraian Kartika, pada Jumat 19 Juli, di kediaman Mr. Iskak di Jalan Diponegoro 6, Jakarta, diam-diam berlangsung pernikahan secara Islam antara H.A. Thahir, 61 tahun, dan Kartika Ratna yang ketika itu berusia 39 tahun. Emas kawinnya amat sederhana: satu ringgit emas. Hakim H.A. Karim Abuyazid adalah yang bertindak sebagai wali nikah, menggantikan ayah Kartika, yang menurut surat nikah tak bisa hadir, karena "tidak beragama". Bagaimana seorang tokoh lama seperti Mr. Iskak sampai terlibat dalam pernikahan Kartika-Thahir? Kepada TEMPO, sebelum beliau meninggal, Mr. Iskak tak bersedia bicara banyak. Namun, mungkin, selain mereka bertetangga -- rumah H.A. Thahir yang di Jalan Mangunsarkoro 13, bertolak belakang dengan rumah Iskak -- keduanya boleh dikatakan, teman seangkatan. Namun, bagaimana Thahir mendapat kepercayaan yang begitu besar dari Ibnu Sutowo, itu bermula dari sebuah riwayat yang panjang. Hatta, begitu Jepang menyerah, dan pecah perang kemerdekaan, Thahir, yang pernah menjadi kepala kampung (lurah) di 10 Ilir, Palembang, segera menggabungkan diri di dalam ketentaraan. Ia mendapat pangkat mayor tituler, dan bertugas di bagian Intendans. Kerjanya mencari dana dan logistik bagi keperluan perang. Waktu itu ia juga sering melakukan penyelundupan senjata dari Singapura, antara lain bersama John Lie, yang mengemudikan kapal. Pada zaman gerilya, mayor yang berjiwa dagang itu oleh teman- temannya di Sumatera Selatan dijuluki "Mayor Fordes", mengambil nama komandan tentara Belanda yang waktu itu menduduki Kota Palembang. Ketika itu pula dia bertemu dengan dr. Ibnu Sutowo, yang juga berpangkat mayor. Kerja sama keduanya berlanjut ketika Ibnu Sutowo, perwira kesehatan, yang kemudian menjabat Panglima Divisi Sumatera Selatan, mendapat tugas penting pada tahun 1958 dari Jenderal A.H. Nasution, Kepala Staf Angkatan Perang dan Penguasa Perang Pusat. Yakni, untuk menyehatkan kembali Permina dan mencari minyak di Sumatera Utara yang kacau akibat pecahnya pemberontakan PRRI. Ibnu menyukai Thahir, selain pengalamannya di Intendans, juga karena dia dikenal sebagai orang yang penurut. Selama bekerja dengan Ibnu Sutowo, Thahir, menurut teman-temannya, adalah satu-satunya orang yang tak pernah menjawab bila dimarahi, dan sanggup mengerjakan apa saja yang diperintahkan Ibnu. Kepatuhan Thahir -- yang mendapat Satya Lencana Kemerdekaan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata -- agaknya bukan hanya terhadap Ibnu Sutowo. Tapi juga, barangkali, terhadap Kartika Ratna. Misalnya almarhum bersedia membuka rekening bersama di beberapa bank di Singapura. Namun, tak berarti bahwa dia tak pernah berselisih pendapat dengan rekannya. Itu terjadi beberapa tahun setelah Achmad Thahir, bersama dua bersaudara Teuku Hamid Azwar dan Teuku Daud, mendirikan Central Trading Company (CTC) pada tahun 1947. Perusahaan perjuangan, yang antara lain bertugas menyelundupkan senjata dari Singapura, awalnya memang dari bagian Intendans Komando Sumatera, alias kepunyaan tentara. Ketika itu Thahir, selain sebagai presdir, juga menyelia keuangan. Pada 1953, di saat CTC mulai berkembang sebagai penggerak perusahaan nasional atas saran Wapres Moh. Hatta -- untuk mengimbangi kelompok perusahaan Belanda yang dikenal sebagai Big Five -- Thahir pun keluar. "Kami berbeda pandangan soal policy perusahaan," kata Teuku Hamid, kini 75 tahun, kepada Nunik Iswardhani dari TEMPO, akhir pekan lalu. Riwayat H.A. Thahir memang berbeda dengan di zaman Pertamina bergelimang dengan uang minyak. Dialah menurut Teuku Hamid, orang yang "suka menolong teman." Dia pula orang yang, menurut Wangsa Wijaya, 82 tahun, bekas Sekretaris Wapres RI pertama, "tak pernah meninggalkan salat lima waktu." Lalu, mengapa pada akhir-akhir hidupnya, H.A. Thahir sempat menyembunyikan komisi alias uang sogok yang puluhan juta dolar di tiga bank asing? Bukankah konon tak ada rahasia antara dia dan atasannya? Atau, itu memang maunya Kartika, wanita yang dicintainya. Wallahualam. Fikri Jufri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini