Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

'Kiamat' bagi Koruptor (di Aceh)

Pengadilan Negeri Singkil di Aceh memvonis koruptor dengan hukuman seumur hidup. Tapi masih banyak hakim dan jaksa yang takut menghukum berat koruptor.

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA ini bisa jadi vitamin buat hakim dan jaksa. Misalnya untuk para hakim dan jaksa yang sedang menangani kasus korupsi dana nonbujeter Bulog senilai Rp 40 miliar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sabtu dua pekan lalu, Pengadilan Negeri Singkil di ujung Nanggroe Aceh Darussalam yang berbatasan dengan Sumatera Utara memecahkan rekor. Majelis hakim yang diketuai Syamsul Qamar memvonis dua terdakwa korupsi, yakni Edy Penawarta Sembiring dan Azhari Tinambunan, dengan hukuman seumur hidup. Padahal, dibandingkan dengan kasus korupsi dana nonbujeter Bulog di pusat yang hingga sekarang masih mengharu-birukan kancah politik, kasus korupsi di Singkil itu tergolong tak besar: hanya menyangkut manipulasi dana alokasi usaha senilai Rp 4 miliar di tingkat pemerintahan Kabupaten Singkil. Tak aneh, begitu palu vonis seumur hidup diketuk hakim, wajah kedua terdakwa langsung memucat. Keduanya hanya bisa terduduk lunglai di kursi terdakwa. Tak sedikit pun mereka menduga akan memanen vonis seram, apalagi bila mengingat kasus mereka, yang sepertinya remeh. Kasusnya berawal dari perkenalan Deddy S. Bancin, 23 tahun, pegawai negeri pemegang kas daerah Singkil, dengan Edy, 29 tahun, pengusaha perdagangan valuta asing PT Monex Investindo asal Medan. Pertemuan itu difasilitasi oleh Azhari, 35 tahun, Wakil Ketua DPRD Singkil dari PDI Perjuangan. Azhari mengenal Edy sejak 12 tahun silam. Pertemuan di Hotel Darma Deli, Medan, awal Maret 2001 itu berlanjut dan membuahkan hasil bisnis valuta asing. Caranya, Deddy memasok dana dan Edy yang memutar. Keuntungan sebesar lima persen akan dibagi dua. Deddy lantas mengirim uang Rp 4 miliar lewat Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh dengan menggunakan nama rekannya, Fachrudin, ke rekening Edy di BPD Sumatera Utara. Pengiriman pertama pada 3 Mei 2001 sebesar Rp 1 miliar, dan Rp 3 miliar pada 11 Juni 2001. Belakangan, Edy mengaku kepada polisi hanya menggunakan Rp 1,53 miliar untuk bisnis valas. Uang selebihnya, yakni Rp 180 juta, diberikan kepada Azhari dan Rp 150 juta diberikan kepada Deddy. Edy juga mengaku membelanjakan uang itu untuk membeli tiga mobil Mercy, satu jip Cherokee, dan sebuah rumah mewah. Deddy bisa nekat dan gampang menggunakan uang kas daerah tak lain lantaran dibantu Kepala Bagian Keuangan Kabupaten Singkil, Bicar Sinaga. Bicar memberikan begitu saja cek pemerintah daerah kepada Deddy, tanpa menuliskan nilai rupiahnya. Alasan Bicar, supaya tak terjadi kemacetan pencairan keuangan daerah bila ia dinas ke luar kota. Ternyata, Deddy yang cucu Bupati Singkil, Makmur Syahputra, itu menyalahgunakan dana kas daerah tersebut. Manipulasi tersebut terbongkar setelah ada pemeriksaan dari tim inspektorat Provinsi Aceh pada September 2001. Tim ini menemukan kejanggalan berupa hilangnya dana Rp 4 miliar tanpa pertanggungjawaban. Deddy sebagai pemegang kas daerah kalang-kabut. Ia lantas menghubungi Edy. Namun, Edy tak bisa segera menyediakan uang sebanyak itu. Demikian pula Azhari sebagai penjamin bisnis valas tersebut. Buntutnya, DPRD Singkil membentuk panitia khusus untuk mengungkap kasus itu. Alhasil, kasus korupsi itu pun diusut polisi dan kemudian sampai ke meja hijau. Selama proses persidangan, gelombang demonstrasi tak henti-hentinya menerpa. Para pengunjuk rasa mengaku merasa khawatir kalau-kalau kasus itu menguap atau para pelaku dihukum ringan. Sebab, kasusnya menyangkut cucu bupati dan Wakil Ketua DPRD Singkil. Tak dinyana, majelis hakim menghukum para terdakwa jauh melampaui tuntutan Jaksa S. Tarigan. Jaksa hanya menuntut Edy dan Azhari masing-masing dengan hukuman 10 tahun penjara, sementara Deddy dituntut hukuman empat tahun penjara. Namun, majelis hakim memutuskan hukuman seumur hidup untuk Edy dan Azhari. Keduanya juga didenda masing-masing Rp 200 juta dan Rp 150 juta. Sedangkan Deddy diganjar 10 tahun penjara plus denda Rp 50 juta. Ketiga terdakwa diharuskan pula mengembalikan uang yang dikorupsi. Menurut majelis hakim, korupsi tiga terdakwa amat meresahkan masyarakat sekaligus mengganggu aktivitas pemerintahan. Apalagi, kata Ketua Pengadilan Negeri Singkil, M. Sabir, Aceh merupakan daerah konflik dan panas. "Kasus ini menimbulkan aksi unjuk rasa setiap hari. Gara-gara manipulasi Rp 4 miliar ini pula, pembangunan di wilayah miskin ini jadi terhambat," tutur Sabir. Dana yang dikorupsi itu memang hampir dua kali lipat dari pendapatan Singkil yang sebesar Rp 2,4 miliar. Kontan, dua terdakwa tak menerima vonis tersebut. "Hukuman itu terlalu berat," ujar Edy. Ia kini ditahan di ruang tahanan Kepolisian Sektor Singkil setelah satu-satunya lembaga pemasyarakatan di Singkil dibobol oleh narapidana dan tahanan. Toh, Hakim Sabir menganggap vonis di atas sudah setimpal dengan perbuatan terdakwa dan sesuai dengan ancaman hukuman maksimal dalam Undang-Undang Antikorupsi. Sabir juga berharap agar ada semacam standar pemidanaan yang tegas. "Misalnya, berapa hukuman untuk kasus mencuri ayam dan berapa hukuman untuk kasus korupsi, supaya jangan ada perbedaan mencolok," ujarnya. Ahmad Taufik, Bambang Soedjiartono (Singkil, Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus