JAM malam sudah sebulan diberlakukan di kawasan Tegalalang dan Payangan, Bali. Bahkan, 40 personel polisi disiagakan di dua daerah ini. Warga di sana sedang mengobarkan perang terhadap maling yang mencuri pratima benda-benda ritual yang ada di dalam pura. Kini, di pos keamanan lingkungan atau di pura (tempat beribadah penganut Hindu) tiap malam dijumpai 1015 orang siaga menggenggam pentung, bambu runcing, linggis, dan senjata tajam lainnya. Ada pula yang membawa radio CB. Dan jika kulkul (kentong) ditabuh bertalu-talu, itu isyarat bahwa ada orang yang dicurigai untuk diburu. Kalau nasib apes, tanpa ba-bi-bu, yang diburu itu bisa tinggal nama. Di Desa Pujung, Kecamatan Tegalalang, dua pratima dan 75 uang kepeng raib dari Pura Dalem, 9 Juni silam. ''Kami sudah membuat upacara kecil untuk penyucian,'' kata Wayan Kecol, pengurus adat di Desa Pujung. Dua hari kemudian, di pura itu maling menyikat 3.500 uang kepeng, kotak karas, dan emas berlian di Rangda Pura Dalem. Isi Pura Balebang, Pura Puseh, dan Pura Sayang Kelakah juga dijarah sehingga menyulut kemarahan warga. Tambahan lagi, ada maling mencukur rambut Barong di sebuah pura di Desa Payangan sambil meninggalkan tulisan, ''Inilah cukuran rambut masa kini.'' Kemudian, terbetik kabar tentang 400 maling yang sudah menyebar ke pelosok Bali. Masyarakat juga percaya, si maling berilmu tinggi, bisa menghilang. Tapi berita burung itu dibantah Kapolres Gianyar, Letnan Kolonel Zainoorrosyidin. ''Silakan Anda lihat langsung ke desa-desa itu,'' katanya kepada Putu Wirata dari TEMPO. Kabar itu seperti memutar ulang kisah lama. Tiga tahun silam, di Pura Dalem Desa Tegalalang, maling berhasil mencukil emas dan mirah yang menempel di dahi dan sela alis Ratumas Dalem topeng Rangda sakral di pura itu. ''Harga emas yang hilang itu sebenarnya tidak seberapa, tapi kami merasa terhina,'' kata Wayan Sirig, pengurus adat di Desa Tegalalang. Selain terhina, warga Hindu terpaksa mengadakan upacara Rsigana, yaitu penyucian Pura Dalem lantaran dianggap sudah tercemar. Biayanya tak sedikit. Waktu itu dana yang dikeluarkan Rp 28 juta. Mereka terpaksa mengambil kredit di Bank Rakyat Indonesia. ''Tiap bulan warga urunan Rp 10.000 untuk membayar kredit itu,'' kata Wayan Sepi, pemuka adat di Tegalalang. Berkat siaga penuh itu, pada siang bolong 23 Juni lalu seorang wanita muda kepergok ketika memasuki Pura Dalem. Begitu ditangkap, ia tiba-tiba berubah kayak orang gila. Warga marah, dan dia hampir dihajar. Atas anjuran Wayan Kecol, pengurus adat di Desa Pujung, wanita itu kemudian diserahkan kepada polisi. Setelah itu, ia dikirim ke rumah sakit jiwa. Karena emosi penduduk sedang meninggi, Wayan Kecol mengimbau agar sementara ini sebaiknya mereka yang bukan orang Bali jangan berkunjung ke Desa Pujung pada malam hari. Dan untuk warga luar Bali yang berdomisili di desa itu, dibuatkan kartu tanda pengenal khusus. ''Warga kami sedang marah,'' kata Wayan Kecol, yang sudah 30 tahun jadi pengurus adat. Suatu malam, keluarga Tjokorda Ubud, yang mengendarai mobil berpelat nomor Jakarta, melintasi Desa Pujung. Mobil itu dihentikan oleh warga yang sedang melakukan siskamling. Selagi ia diinterogasi, mobilnya dikencingi peserta siskamling. Lantas, saat ia menjelaskan dalam bahasa Bali halus bahwa dirinya adalah orang asli Bali, para pemuda itu tidak percaya. ''Ah, dia pura-pura berbahasa Bali,'' kata mereka. Tapi salah paham itu tidak berlanjut karena ada warga yang mengenalnya sebagai anak Tjokorda Ubud. Karena itu, Dandim Gianyar, Letnan Kolonel I Ketut Gerudug, mengingatkan, ''Hati boleh panas, kepala harus tetap dingin.'' Ia juga berharap agar saat melakukan siskamling tidak membawa senjata tajam atau memukul kulkul sembarangan. Namun, imbauan ini tak selalu digubris. ''Anda boleh melarang membawa senjata, tapi apa Anda berani menghadapi maling dengan tangan kosong?'' ujar seorang warga di Desa Pujung. Korban main hakim sendiri sudah jatuh. Akhir Juni lalu, seorang tersangka pencuri tewas dihajar massa di Desa Kedewatan. Pada 18 Juli lalu, warga Desa Tegalalang malah menggebuk Salman, 27 tahun, dan Musrid, 26 tahun. Mereka mengaku sedang mencari sarang burung. Begitu tubuh mereka digeledah, didapati jimat bertulisan: ''Bidadari menghilang dan ilmu rajawali''. Setelah itu, bogem mentah pun melayang ke tubuh mereka. Gara-gara ditemukan jimat itulah, warga di Desa Toro, Bonjoka, Sebatu, Tegalalang, Pujung, Lodtunduh, dan Payangan percaya pada kisah bahwa si maling bisa menghilang. Katanya, warga di beberapa desa itu sering melihat ada orang yang mencurigakan di sekitar pura. Begitu dikepung rapat, orang itu lenyap. ''Maling itu mungkin punya ilmu tinggi,'' kata Wayan Lenyad, pengurus adat di Desa Taro. Perang terhadap maling yang menggarong pratima rupanya juga melebar. Contohnya ini: tiga orang pencuri yang hendak menjarah toko emas di Pasar Ubud, 12 Juli lalu, begitu tertangkap, tak diberi ampun. Tersangka Mohamad Amir, 40 tahun, dihajar massa. Ia meninggal dua minggu kemudian. Sementara itu, dua tersangka wanita berwajah manis, Suminah dan Mainah, terpaksa diamankan polisi ke Rumah Tahanan Gianyar. Warga protes. ''Polisi melindungi penjahat. Serahkan pencuri itu kepada kami,'' begitu ucapan yang terlontar di depan Markas Kepolisian Sektor Ubud. Polisi tentu tidak dapat memenuhi tuntutan itu. Lalu warga melampiaskan amuknya ke mobil Carry berpelat nomor Surabaya, L 1655 BG. Prak. Mobil yang diduga milik tersangka itu dihancurkan. Widi Yarmanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini