Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Investasi yang terjegal luar dalam

Bkpm akan berpromosi ke asia dan eropa untuk melancarkan investasi asing ke sini. juga ada deregulasi baru, dalam upaya meningkatkan daya saing indonesia terhadap rrc dan vietnam.

14 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK sederas dulu. Begitulah arus investasi di sini, baik PMDN maupun PMA. Kendati sudah tiga puluh paket deregulasi diluncurkan Pemerintah, kegiatan investasi dalam negeri maupun asing justru menyusut. Dan mengkhawatirkan. Hal itu terungkap saat Menteri Negara Penggerak Dana Investasi Sanyoto Sastrowardoyo menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha, Selasa pekan lalu. Di situ, Menteri Sanyoto yang juga Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini melaporkan, hingga Juli lalu, ada 225 proyek PMDN yang disetujuinya. Jumlah ini menciut sedikit ketimbang PMDN tahun lalu yang mencapai 230 proyek. Dari segi nilai juga melorot 18,6%, dari Rp 18,3 triliun tahun lalu, kini hanya Rp 14,9 triliun. PMA juga kurang bergairah. Sampai 15 Juli tahun lalu, PMA mencatat 162 proyek, sedangkan tahun ini hanya 144 proyek. Nilainya pun berkurang, dari sekitar Rp 14 triliun (1992-1993) menjadi sekitar Rp 10 triliun (1993-1994). Berarti, turun 30,4%. Penurunan ini memprihatinkan. Apalagi harus diakui, ''Di antara negara ASEAN, daya kita menarik modal asing hanya berada di atas Filipina,'' kata Halim Shahab, Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri. Di sisi lain, kebutuhan investasi nasional selama Repelita V telah ditargetkan Rp 239,1 triliun. Dari jumlah tersebut, diharapkan investasi dunia usaha menyumbangkan 55%-nya, yakni senilai Rp 131,5 triliun. Pencapaian ini penting untuk menerjang angka pertumbuhan eko- nomi nasional 5% per tahun. Tapi menghadapi angka-angka sulit ini, Sanyoto tidak gentar. ''Penurunan itu kan hanya terjadi tahun ini,'' tukasnya. ''Itu bukan perkara gede, dan saya optimistis sasaran investasi sebesar itu dapat tercapai.'' Bukan mustahil, Sanyoto bisa menggapai angka itu. Apalagi BKPM, seusai meneliti dengan BI selama lima bulan (September 1992 hingga Januari 1993) telah menemukan tujuh biang penghambat investasi. Dari suara para pengusaha PMDN dan PMA di 27 provinsi, tersingkap bahwa ganjalan utama adalah pada kredit investasi yang lama tersendat mungkin antara lain karena kebijaksanaan uang ketat. Hambatan lain ialah dalam urusan perizinan menyangkut tanah atau properti yang ruwet karena peraturan HGU dan IMB. Menyusul kemudian, mismanajemen dan pemasaran produksi, yang banyak dialami PMDN. Selain itu, penyediaan sarana dan prasarana yang kurang memadai. Adapun pungutan liar masih tetap mengganjal kendati porsinya, kata Sanyoto, paling kecil. Berbagai masalah ini, jika tak segera diatasi, bisa menjadi ancaman serius bagi investasi di sini. Apalagi tawaran negara pesaing seperti RRC, Thailand, Malaysia, bahkan Vietnam kian menarik. RRC, misalnya, walaupun dilanda inflasi yang mulai tinggi, toh masih diminati pihak asing. Minat itu terlihat, umpamanya, dari rencana produsen komputer NEC (Jepang), yang Desember depan siap memproduksi DRAM (dynamic random access memory) berskala empat megabit, di Beijing. Sejumlah sogo sosha lainnya juga siap beroperasi di berbagai kota di RRC. Grup Lippo dari Indonesia termasuk investor asing yang melakukan investasi di negeri Deng Xiao Ping itu. ''RRC memang bukan tandingan kita,'' kata Sugiharto Kadarisman, Deputi BKPM Bidang Promosi. Katakanlah asumsi ini benar, namun dalam hal apa saja RRC unggul dari Indonesia? ''Infrastruktur di sini yang terburuk di Asia,'' tuding Tomoyasu Nakamura, staf ahli Jetro (Japan External Trade Organisation) di Jakarta. Mungkin yang dimaksudnya adalah Asia Tenggara. Sekalipun begitu, Jepang tetaplah berada pada peringkat pertama investor asing di Indonesia. Sampai bulan ini, Jepang telah memasok 547 proyek, senilai US$ 13,35 juta terbesar di antara 44 negara asal PMA. Ini jauh meninggalkan Hong Kong (US$ 5,46 juta), Taiwan (US$ 3,97 juta), Kor-Sel (US$ 3,49 juta), dan AS (US$ 3,24 juta). Selain menyebut infrastruktur, Nakamura menyebutkan rumitnya perizinan hingga persyaratan transfer teknologi bagi tenaga kerja asing. Semua keluhan Jepang ini, kata Nakamura, telah dituangkan dalam dua jilid laporan tertulis yang telah diserahkannya kepada Menteri Perindustrian Tunky Ariwibowo, bulan lalu. Tapi keluhan Jepang itu disangsikan Menteri Sanyoto. Setahu Sanyoto, ''Mereka justru menganggap Indonesia sebagai the best destination. Bahkan, di antara PMA Jepang itu, hanya 1% yang merugi,'' sambung Sanyoto lagi. ''Masalahnya hanya soal pilihan, negara mana yang paling atraktif,'' kata Nakamura, berusaha mendudukkan masalahnya secara lebih proporsional. Kendati Jepang mungkin masih menilai investasi di sini ''atraktif'', mereka juga menoleh Cina Daratan dan Vietnam, yang tahun silam kecipratan ODA (official development assistance) dari Jepang. Jadi, ''Bukan karena Indonesia tak menarik, tapi RRC dan Vietnam mendadak punya daya tarik itu,'' kata Goro Fukushima dari Federasi Organisasi Ekonomi Jepang (Keidanren) Departemen Asia. Ketidakpuasan investor Jepang juga terlihat dalam angket yang dilakukan oleh Keidanren buat anggotanya, tahun silam. Selain tidak puas, Fukushima juga mencatat usul yang meminta agar infrastruktur ditingkatkan, hingga menekankan perlunya deregulasi lanjutan. Mendengar ini, Sanyoto spontan berkomentar. ''Mereka ingin menekan kita terus. No way-lah,'' ujarnya menandaskan. Tapi bukan berarti tak ada beleid yang tak patut dikoreksi. Ambil contoh paket perizinan investasi, yang dikenal dengan Pakjul 92. Akibat paket ini, Rapat Koordinasi BKPM-BKPMD Juli lalu menyimpulkan: prosedur perizinan makin panjang dan lamban. Koordinasi antarinstansi, misalnya BKPMD dan BPN, kurang seiring. ''Tentu saja investor jadi bingung,'' kata Ketua BKPMD Ja-Bar, Achmad Sobarna, kepada Asikin dari TEMPO. Nakamura tak lupa menyebutkan tenaga buruh murah sebagai daya tarik. Sebaliknya Menteri Sanyoto menunjuk ''rezim'' devisa bebas yang melebihi daya tarik mana saja dari negara pesaing lainnya. Toh semua itu belum cukup. Untuk mencapai laju pertumbuhan 6,2% pada Repelita VI nanti, dicanangkan investasi Rp 716,7 triliun, hampir tiga kali lipat Pelita sebelumnya. Memang, selama 1986-1991, angka investasi meningkat dengan pertumbuhan 9,5% per tahun. Rasionya terhadap produk domestik bruto mencapai 22%. Namun, pada masa datang, ''Jika ingin mencapai laju pertumbuhan rata-rata 8% setahun, rasio itu harus 28-30%,'' kata Menko Eku dan Wasbang Saleh Afiff. Rasio sebesar itu hanya bisa didapat jika ditunjang beleid baru. Tampaknya ucapan Afiff merupakan sinyal untuk deregulasi perizinan, akhir bulan ini. Itu berarti, keharusan PMA melakukan divestasi modal hingga 50% dalam waktu 20 tahun (kecuali di kawasan berikat) akan diteliti ulang manfaatnya. Pula, izin HGU yang diberikan kepada PMA selama 30 tahun dirasakan terlampau singkat. Bandingkan dengan RRC, yang menawarkan 50 tahun, Vietnam bahkan menerjang 100 tahun. Sementara itu, BKPM dan UNDP badan PBB untuk program pembangunan akan meluncurkan kerja besar, dengan dukungan dana senilai US$ 1,34 juta. Proyek ini khusus membantu Pemerintah dalam mengembangkan peraturan PMA. BKPM juga siap berkampanye dalam program trade-tourism and investment (TTI) ke sejumlah negara Asia dan Eropa. ''Kali ini caranya terpadu, antardepartemen, tak lagi jalan sendiri- sendiri,'' kata Sugiharto. Cara ini ditempuh dengan, misalnya, bikin seminar menjelaskan kebijaksanaan dan peluang bisnis di Indonesia. ''Tapi biar pengusaha mereka sendiri yang tampil,'' kata Sanyoto. Jadi, kalau ke London, pengusaha Inggrislah yang diminta berpromosi. Hanya begitu? ''Di mana-mana juga begitu,'' Sanyoto menegaskan. ''Promosi begini memang repot. Ibarat memancing ikan. Kalau terjaring 1% saja sudah bagus,'' kata Sugiharto, memasang target yang tak lebih tinggi dari satu. Wahyu Muryadi, Bina Bektiati (Jakarta), dan Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus