BANK Jabar di Bandung dikabarkan ibarat menderita bisul yang sewaktu-waktu bisa meleleh pecah. Di bank yang dahulu bernama Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Barat itu diduga ada korupsi Rp 27 miliar lebih. Sekitar 15 orang di bank itu diperiksa kejaksaan. ''Pemeriksaan intensif baru dua bulan ini,'' kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Soegeng S. Marsigit. Akhir 1992, pihak Itwilprop (Inspektorat Wilayah Provinsi) dan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) Jawa Barat juga sudah menyidiknya. Tapi tidak berlanjut. Pemeriksaan muncul lagi setelah karyawan bank itu melayangkan surat pengaduan ke PO Box 5000 di Jakarta, Februari lalu. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat juga dikirimi surat, yang tembusannya antara lain ke Mahkamah Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan. Isinya tentang borok di bank itu kongkalikong beli tanah, pemberian kredit tak wajar, dan penghapusan kredit macet (jatuh tempo 1990-1992) lebih dari Rp 24,5 miliar. Bahkan, akhir Maret lalu, 9 jenis kredit macet (KIK dan KMKP) senilai Rp 2,5 miliar juga dihapus. ''Menghapus secara administratif kredit macet itu sama saja mengeluarkan nilai aset dari bank ini,'' kata sumber di Bank Jabar. Dan tentang permainan pembelian tanah, begini: harga yang disepakati Rp 100.000/meter dinaikkan menjadi Rp 170.000/meter, sehingga negara dirugikan hampir Rp 2,5 miliar. Dalam pemberian kredit disinyalir juga ada penyimpangan. Misalnya, menerima agunan bersertifikat palsu. ''Anehnya, ada perusahaan yang kreditnya macet, tapi diberi kredit lagi untuk membayar bunga di Bank Jabar,'' kata sumber di bank ini. Buntutnya, pantas banyak kredit yang macet. Setelah penyelidikan awal oleh Kejaksaan Tinggi, ternyata belum ditemukan penyimpangan. Soal pembelian tanah, misalnya, menurut seorang bupati, harganya masih wajar. ''Bupati sebagai ketua panitia sembilan di kabupaten memang tidak diikutkan,'' kata Soegeng. Seharusnya, sesuai dengan SK Gubernur, Bupati dilibatkan untuk menghindari permainan harga. Begitu juga tentang dana representasi dana direksi antara lain untuk menjamu tamu dari plafon Rp 500 juta dibengkakkan menjadi Rp 1,5 miliar. ''Kalau benar jumlahnya luar biasa, tentu pagi-pagi sudah ditegur. Wong itu lembaga keuangan, ada dewan pengawas, rapat umum pemegang saham, dan sebagainya,'' kata Soegeng. Mengenai penghapusan kredit, menurut Soegeng, bisa saja itu dilimpahkan atau sedang diburu oleh BUPLN (Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara). Tapi penghapusan kredit itu tidak bisa dialihkan tanggung jawabnya kepada BUPLN karena sudah dihapus administrasi Non- BUPLN. ''Artinya, aset itu telah menguap tidak tentu rimbanya,'' kata sumber tadi. Menurut dia, di sinilah letak manipulasinya. Sayang, Dirut Soeparman Wijaya, S.H. tidak bisa ditemui. Satpam dan sekretarisnya bilang, ''Bapak tak ada di tempat.'' Sementara itu, menurut Gubernur Jawa Barat, R. Nuriana, dugaan ada korupsi di Bank Jabar belum jelas. Laporan Bank Indonesia (BI) mengatakan bahwa bank itu sehat, sehingga layak menjadi bank devisa. BPKP pun memberi predikat wajar tanpa syarat. Makanya, ia masih tetap yakin pada hasil pemeriksaan BI dan BPKP. Namun, selaku komisaris utama Bank Jabar, Nuriana sempat mempertanyakan penghapusan kredit macet apa benar sampai Rp 27 miliar. ''Walau begitu, saya tetap menghormati penyelidikan kejaksaan,'' katanya kepada Happy Sulistyadi dari TEMPO. Widi Yarmanto dan Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini