JURAGAN Wijaya, 30 tahun, tewas tiga tahun silam. Bekas bandar karet yang bangkrut itu, menurut polisi, korban pembunuh bayaran. Ada dendam? ''Ini perkara rumit. Sampai tiga tahun kami menyidiknya. Kini biar pengadilan yang memutuskannya,'' kata Letnan Kolonel Syafriadi, Kapolres Lahat. Sejak tiga pekan lalu, perkaranya disidangkan di Pengadilan Negeri Lahat, Sumatera Selatan. Tersebutlah Toto, pengusaha beras. Menurut polisi, ia mengupah dua keponakan korban, Yon Haryono dan Mat Juhri, untuk membunuh Juragan. Pada malam 7 Juni 1990, Yon, Mat, Jalu, dan Zainal sepakat bertemu di ujung jembatan Tebingtinggi. Pukul 20.00 Yon muncul bersama Juragan. Saat itulah Jalu memukul kepala Juragan dengan kayu hingga tewas. Kemudian, Zainal mengangkut mayatnya dengan Toyota Hardtop, untuk dibuang ke kali. Besoknya, mayat Juragan ditemukan di tepi Sungai Musi. Hasil visum Dokter Tri Sutowo menyimpulkan: ''Mayat laki-laki itu dengan tanda-tanda lama terendam di air. Ada trauma tumpul pada kepala, lutut kanan, kiri serta punggung kanan. Sebab kematian belum dapat dipastikan.'' Mereka baru ditahan polisi sejak Januari 1993. Menurut BAP (berita acara pemeriksaan), otak pembunuhan itu adalah Fendi, Lurah Desa Tebingtinggi. Ia pernah diancam Juragan di depan umum sehingga membuatnya malu. ''Aparat kok diancam,'' katanya. Dan gayung pun bersambut. Menurut BAP, Toto yang mengaku sering diperas korban menyediakan dana Rp 500.000 buat siapa yang dapat membunuh Juragan. Yon dan Mat menyanggupinya. Uang itu diberikan melalui Fendi. Tapi di Pengadilan Negeri Lahat, pekan lampau, keenam tersangka mencabut BAP yang mereka tanda tangani itu. ''Karena sudah tidak tahan disiksa, kami terpaksa mengiyakan apa kata polisi,'' kata Fendi di persidangan. Ia mengaku saat disiksa berseragam dinas lurah. Toto juga mengaku serupa. ''Saya kenal Juragan Wijaya di pasar, tapi tidak pernah berurusan dengannya. Jadi, saya kaget dituduh mengupah Yon dan Mat untuk membunuhnya,'' katanya. Apa kata Yon? ''Masa saya tega membunuh paman sendiri,'' ujarnya. Menurut Yon, malam itu, pamannya bersama Mat Juhri mengajaknya mencuri. Sasarannya di Desa Sungai Bayu, sekitar 2 kilometer dari rumah Juragan. Perjalanan ke sana dengan perahu. Tapi perahu mereka tenggelam, dan Juragan, menurut Yon, yang tidak bisa berenang itu tewas. Namun, Yon enggan melapor ke polisi. ''Kalau melapor, pasti saya ditangkap. Mau mencuri, kok lapor,'' katanya. Selain itu, yang aneh adalah barang bukti mobil Toyota Hardtop yang mengangkut mayat Juragan. Toyota Hardtop BG 1415 AF, yang diganti nomornya menjadi BG 1000 EA agar cocok dengan mobil yang disebut-sebut dalam BAP sebagai pengangkut mayat korban ternyata mobil pinjaman dari ruang pamer Maju Motor. ''Mobil itu dipinjam polisi. Janjinya tiga hari, tapi sudah tiga bulan belum dikembalikan,'' kata A Fat, pemiliknya, kepada Iwan BKL dari TEMPO. Belakangan, Toyota Hardtop BG 1000 EA asli muncul di persidangan pada 13 Juli lalu. Ternyata, mobil itu milik Aljufri Ahmad. Kini sudah dijual. Pada malam Jumat 7 Juni 1990, sampai pukul 01.00 mobil itu justru masih dipakai mengantar jemput pengurus AMPI Tebingtinggi. ''Saya sendiri yang mengendarainya,'' kata Aljufri. Dalam BAP disebutkan bahwa Zainal membawa mayat korban dengan memakai Hardtop tersebut. Sementara itu, Hardtop bernomor BG 1000 EA itu kini ada dua. ''Ini pemalsuan yang harus diusut,'' kata Ansyari Shabuan, pengacara terdakwa. Siapa yang memalsukannya? Hasan Syukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini